Maulana Syamsuddin Tabriz: Sufi Misterius, Berwajah Mirip Isa Al-Masih

Maulana Syamsuddin Tabriz, teman seperjalanan Maulana Rumi. Wajahnya dilukiskan sangat mirip dengan wajah Isa Al-Masih.
Berikut ini catatan sekilas tentang soosk Maulana Syamsuddin Tabriz. Saya mengharapkan berkahnya di hari yang agung ini. Semoga menjadi perantara saya mendapatkan ampunan dan pertolongan Allah SWT. Amien ya Rabbal ‘Alamien.
Maulana Syamsuddin Tabriz (selanjutanya kita sebut dengan “Syam” saja), teman seperjalanan Maulana Rumi, lahir di Tabriz pada 582 Hijriyah atau 1186 Masehi. Nama lengkapnya adalah Syamsuddin bin Muhammad bin Ali bin Malikdad. Dalam catatan yang dhaif disebutkan oleh Davlatshah di dalam “Tadzkira” bahwa Syam adalah putra dari Havend Jalaluddin Nur Musleman, Gubernur Alamut (pusat gerakakan asasin Hasan Sabah), tetapi Badiuszaman Furuznafer dan Abdul Baqi Golpinarli (dua otoritas sejarah Maulawiyah) menolak keterangan “lemah” Davlatshah tersebut.
Syam (biasanya ditulis “Sams”) adalah nur’i Muhammad-i atau “the Sun of Muhammeden Light”. Dalam salah satu karya tulisnya mengaku sebagai “yang terdekat dalam mengikuti Kanjeng Nabi SAW”.
“Risala Sipehsalar” dan “Ibtidanama”, dua sumber otoriratif tentang Maulawiyah, menyebutkan bahwa tidak banyak cerita tentang Syam yang ditulis. Hanya disebutkan bahwa Syam memiliki kapasitas ruhani yang sangat luar biasa. Hal ini menguatkan bahwa Syam memiliki kelekatan dengan Malamatiyah, terutama kaidah sufiyah “begitu ada yang mengetahui status ruhaninya, maka ia akan menghilang ke suatu tempat di mana ia dikenal sebagai orang biasa seperti orang pada umumnya di tempat tersebut”.
Karakter “malamati” sangat kentara dalam “karakter” kesufian Syam dan kelompoknya.
Dalam kitab “Maqalat” (karya tulis yang dinisbahkan kepada Syam sendiri) dan “Manaqibul ‘Arifien“ (karya Aflaki yang sering dirujuk orang walau banyak mengatakan riwayat di dalamnya lemah) disebutkan bahwa guru spiritual Syam adalah Syaikh Abu Bakr-I Salabaf, seorang guru di sebuah “tekke” (tempat berkumpul para sufi) di Baghdad, dan seorang pengrajin keranjang (tanda malamati lainnya).
Syam datang kepada Salabaf saat berumur 22 tahun, dan mengabdi kepadanya selama 14 tahun. Salabaf melarang murid-muridnya menggunakan “khirqah-shufiyah”, menekankan “futuwah” (sikap mendahulukan orang lain), memiliki karakter Malamatiya, dan tidak tertarik dengan segala yang terkait dengan karamah. Dan paling penting, mereka anti formalitas.
Kebanyakan dari kelompok ini bergabung dengan caravan daripada bergabung dengan kelompok sufiyah tertentu. Mereka mengambil mata pencaharian rendahan seperti penjahit, tukang kebun, dan pengrajin keranjang.
Futuwah adalah salah satu ajaran terpenting Malamatiya. Syaikhul Akbar Ibn Arabi dalam kitabnya “Risalah Ruhul Qudus fi Munasabatin Nafs” di bab tentang Sayyidina Uwais al-Qarni (kepadanya prototype Malamatiya disandarkan), menyebutkan doa Sayyidina Uwais, “Ya Allah janganlah Engkau hukum aku karena masih ada orang kelaparan, kehausan, dan kekurangan pangan di negeri atau wilayah ini.”
Sayyidina Uwais makan, minum dan berpakaian sekedarnya, selalu menyedekahkan makanan dan minuman miliknya kepada orang lain. Menurut Syaikhul Akbar dalam hal Futuwah, Syaikh Mansur al-Hallaj memiliki derajat lebih tinggi dari Sayyidina Uwais karena Syaikh Mansur al Hallaj pernah mengatakan, “seorang lelaki (beliau Al-Hallaj) duduk selama dua puluh hari tanpa makan dan minum karena mendahulukan orang lain yang belum makan dan minum.”
Futuwah adalah bentuk ittiba’un Nabi SAW yang paling sulit digapai seorang mukmin-muslim, apalagi oleh para pendakwah muslim anyaran yang mengikuti Kanjeng Nabi SAW dari aspek zahirnya saja.
Menurut Mulla Abdurrahman Jami’, di Baghdad Syam berkhidmah kepada Qamal-I Jandi, seorang tokoh tarekat Kubrawiyah, penerus matarantai Mulla Najmuddin Kubro dan Baba Faraj-I Tabrizi, dan Muhammad Ruknaddini-I Sujasi, seorang penerus Qutubuddin Abahari (guru dari guru sufi besar Qutubuddin Awhahuddin Qirmani). Diperkirakan, Syam bertemu dengan Syaikh Ahmad al-Ghazali (adik Imam Ghazali) dan Abu Hafz Suhrawardi (pendiri tarekat Suhrawadiyah) melalui perantara Muhammad Ruknaddin Sujasi. Dan memiliki hubungan spiritual dengan Mulla Najmuddin Kubro melalui Mulla Qamal-I Jandi, seperti juga diperkirakan oleh Mulla Abdurrahman Jami’.
Syam ditaksir melakukan perjalanan panjang dari Salabaf ke Baghdad, ke Damasqus, ke Allepo, ke Caesarea, Aksaray, Sivas, Erzurum, dan Erizikan. Sosoknya dihubungkan pula dengan sufi Qalandar, walaupun para peneliti lebih meyakini ikatan spiritual Syam dengan Malamatiya.
Syam juga dalam tulisannya di “Maqalatnya” memuji Syaikhul Akbar sebagai salah satu tokoh dan guru sufi terpenting yang pernah ditemuinya. Syam juga mengkritik Sang Belerang Merah karena keterikatannya dengan aspek zahir (syariah) Islam. William C. Chittick dalam pengantar terjemahannya “Me and Rumi“ (sebuah naskah yang juga dinisbahkan kepada Syam), meragukan kalau Ibn Arabi dalam “Maqalat” adalah Syaikhul Akbar, tetapi beberapa catatatn di kalangan sufi menghilangkan keraguan Chittick tersebut.
Dari keterangan Maulana Rumi sendiri, bahwa Syam menguasai hampir semua cabang-cabang ilmu-ilmu, dari tasawuf, filsafat, logika, kimia dan astronomi. Rumi memujinya sebagai orang yang berbicara dengan inspirasi langsung dari Gusti Allah SWT.
Syam mendaku telah mencapai sohbat (percakapan langsung) dengan Kanjeng Nabi SAW. Banyak perjalanan yang dilakukannya adalah untuk bertemu dengan para abdal dan quthub zamannya. Rumi pada bagian lainnya memujinya “memiliki kemampuan bernafas (dalam pengertian istilah teknis sufisme) seperti Nabiyullah Isa AS. Rumi bahkan mengatakan bahwa wajah Syam sangat mirip dengan wajah Al-Masih. Syam disebut sebagai bagian dari golongan Rijalullah.
Sebelum bertemu Rumi, Syam diperkirakan sudah dibimbing seorang Ghaus bernama Khawja Ali. Rumi dalam banyak syairnya seringkali menyebut sosok Khawja Ali ini.
Di sini sengaja tidak ditulis masa pertemuan Syam dengan Rumi karena sudah banyak yang membahasnya. Hanya saja, setelah Syam menghilang keduakalinya dari Rumi, dispekulasikan kalau Syam dibunuh dan dimakamkan di salah satu tembok dari tempat di mana tubuhnya dilemparkan.
Banyak yang berspekulasi makam Syam di Turki, tetapi mayoritas para ahli meyakini bahwa makam Syam di kota Hoi, Iran. Wallahu’alam bis shawab. (*)
Hasan Basri, Alumnus TMI Al-Amien Prenduan, Sumenep. Kini, tinggal di Yogyakarta