Kandidat Ketua Umum PB PMII
Jaelani: Spirit Lahirkan Sinergi Gerak PMII untuk Indonesia
M Jaelani SF, Kandidat Ketua Umum PB PMII (dok/santrinews.com)
Jambi – M Jaelani SF menyatakan bahwa di fase baru 54 tahun PMII secara organisasi sedang melewati ujian yang sangat berat. Mesti mengkonsolidasi dan mengorganisir kembali PMII yang “berantakan”.
Pernyataan kandidat ketua umum Pengurus Besar PMII ini bukan tanpa alasan. Diakui dia, faktanya PMII telah ketinggalan jauh dengan organisasi lain, yang telah mampu menata sistem organisasi yang lebih profesional dan sistematis mulai dari bawah sampai pada level alumninya.
Karena itu, PMII mesti melakukan sebuah terobosan, dengan mendorong pengetahuan sekaligus mengakumulasi gagasan pada setiap cabang. “Yakni dengan spirit melahirkan sinergi gerak PMII untuk kejayaan Indonesia,” kata pria kelahiran Sulawesi Tenggara, 23 Desember 1983 lalu. Jaelani menyatakan siap bersaing dengan sejumlah kandidat lainnya di Kongres PMII XVIII yang tengah berlangsung di Jambi.
Menurut mantan sekretaris umum PKC PMII Sulawesi Tenggara ini, setidaknya ada beberapa hal yang mesti direfleksikan bersama. Pertama, kaderisasi. Kaderisasi ditujukan untuk membangun kapasitas kader serta mendidik individu agar memiliki komitmen yang tinggi bagi tercapainya kejayaan Indonesia. Sementara organisasi, bagi seorang kader adalah ruang pendidikan, ruang belajar, dan ruang berlatih agar masing-masing telah siap ketika memasuki arena nyata.
Selama ini, betapa mudah terjadi gesekan sesama yang berujung gesekan yang cukup serius dan mengurangi soliditas serta nilai kebersamaan; baik gesekan yang terjadi di dalam tubuh organisasi maupun pergesekan yang diakibatkan oleh perbedaan sikap dan posisi di luar organisasi. Padahal mestinya PMII dapat menjadi ruang bertemu (cross-sectional affiliation) segenap potensi kader. “Organisasi ini adalah pangkalan hulu kita, atau tempat bermula gerakan kita,” ujarnya.
Kedua, keorganisasian dan administrasi. PMII saat ini memiliki 230 cabang dan 22 pengurus koordinator cabang di seluruh Indonesia. Dengan jumlah tersebut, PMII menjadi organisasi pemuda-mahasiswa terbesar di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Kelebihan dari banyaknya jumlah tersebut, secara logis adalah besarnya potensi massa dan potensi kader yang dimiliki. Andai saja dari jumlah tersebut, kaderisasi PMII telah mampu membentuk individu yang memiliki loyalitas kepada organisasi, pengetahuan dan ketrampilan atau keahlian, tidak diragukan lagi, dalam jangka 15 atau 20 tahun kedepan, kader-kader PMII akan membawa perubahan signifikan bagi bangsa Indonesia.
“Kader PMII dapat diharapkan menjadi ruling elite yang bukan sekedar memimpin masyarakat di masing-masing levelnya, namun dapat diharapkan membawa Indonesia ke arah yang lebih sejahtera dan bermartabat,” tegasnya.
Pada sisi lain, sambungnya, banyaknya jumlah cabang tersebut juga menjadi tantangan tersendiri dalam soal rentang kendali. Diakui, bahwa rentang kendali Pengurus Besar sampai saat ini belum mampu menyentuh dan menjangkau ke seluruh cabang di seluruh Indonesia. Sosialisasi dan instruksi tidak dapat berjalan secara lancar karena besarnya jumlah cabang kita tersebut.
Ketiga, Islam Indonesia dan konsolidasi Islam moderat. Islam Indonesia sebagai ekspresi lokal-Nusantara bukan saja menjadi penghayatan politik dan ekonomi. Melainkan, Islam telah menjadi kekuatan kultural yang juga memiliki efek politik dan ekonomi.
Berbeda dengan di Timur Tengah atau benua lain, Islam di Nusantara telah menjadi warna kultur dari satuan geografis Asia Tenggara. “Kita memiliki argumentasi yang kompatibel untuk mengatakan bahwa Islam telah mejadi identitas geokultural Indonesia,” ujarnya.
Jaelani menjelaskan, Indonesia merupakan negeri perlintasan peradaban. Salah satu peradaban Islam. Sebagai identitas geokultural, Islam diserap dan bertemu dengan peradaban lain: Hindu, Budha, peradaban asli Nusantara, dan peradaban modern.
Islam di Indonesia potensial bangkit sebagai peradaban yang sama besarnya dengan peradaban Timur Tengah, Eropa, Amerika dan Asia Daratan. “Kami menyebutnya sebagai Islam Indonesia,” tandasnya.
Islam Indonesia menghayati pluralitas dan peka terhadap kepentingan kolektif-bangsa. Di situlah, tanpa dibebani dengan embel-embel simbolisme penerapan syari’ah Islam, dan dengan penghayatan dan pengamalan Islam sebagaimana kita mulai lakukan sekarang ini, Islam menjadi sistem perilaku dalam kehidupan berbangsa.
Keempat, kampus dan mahasiswa. Dunia mahasiswa kita pada dasarnya adalah jendela penting bagi merasuknya pemikiran dan nilai-nilai budaya global. Jaelani menyadari bahwa aktivis mahasiswa dengan berbagai citra yang disandangnya sebagai kelompok pemuda idealis, kini mulai pudar.
Kondisi kampus dan mahasiswa tersebut sesungguhnya merupakan peluang bagi PMII untuk membangun sebuah gerakan strategis dengan mengkader seserius mungkin mahasiswa di dalam PMII. “Sebuah gerakan yang memproyeksikan keberhasilan dalam jangka panjang, secara logis harus mengelola mahasiswa,” kata pria yang kini menjabat Ketua Bidang Jaringan Profesi Akademik PB PMII mengakhiri penjelasannya. (jaz/saif)