Ketua DPD Siap Perjuangkan Penambahan Kuota PPPK Guru Madrasah
Jakarta – Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti mendorong agar Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PERGUNU) memperjuangkan penambahan kuota pengangkatan guru dengan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) untuk guru madrasah.
Demikian disampaikan La Nyalla saat menjadi pembicara utama di peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-69 PERGUNU, Sabtu, 27 Maret 2021. Peringatan ini dihelat PERGUNU Provinsi Lampung dan PWNU Lampung dengan diikuti para tokoh dan para kiai yang memiliki madrasah di sejumlah pesantren di Lampung.
La Nyalla yang hadir secara virtual itu mengatakan, DPD RI, melalui Komite III yang merupakan mitra Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan berupaya membantu penambahan Kuota PPPK untuk guru madrasah. “Insya Allah kami di DPD RI siap membantu,” tandas Senator dari dapil Jawa Timur itu.
La Nyalla mengatakan dari 1 juta Kuota nasional untuk program PPPK tersebut, guru madrasah di bawah Kemenag hanya mendapat jatah sekitar 9.400. Padahal berdasarkan catatan Kemenag terdapat sekitar 290 ribu guru madrasah. Bahkan menurut catatan PERGUNU, terdapat sekitar 580 ribu guru madrasah non-PNS.
“Kuota yang diberikan melalui Kemenag sangat kecil, kurang dari 1 persen dari 1 juta Kuota nasional. Ini harus diperjuangkan oleh PERGUNU sebagai wadah para guru Nahdlatul Ulama, yang notabene mayoritas mengajar di madrasah,” ujarnya.
Selain soal Kuota PPPK, mantan ketua umum Kadin Jatim itu juga menyinggung kebijakan penetapan standar minimal honor untuk guru yang disetarakan dengan PNS Golongan III A masa kerja nol tahun, dengan besaran honorarium sekitar Rp 2,5 juta per bulan.
“Ini juga berkaitan dengan topik yang pertama tadi. Karena kalau pun guru-guru belum mendapat kuota PPPK, tetapi mendapat payung regulasi yang menjamin bahwa honorarium yang diterima telah ditetapkan batas minimumnya,” ujarnya.
Namun program yang dicanangkan di era Menteri Pendidikan Muhajir Effendi itu belum terlaksana. Di lapangan masih dengan mudah bisa ditemukan guru-guru yang mendapat honor sangat tidak memadai.
“Faktanya masih ada guru dengan honor 250 ribu rupiah sebulan. Jauh di bawah standar pemenuhan kebutuhan hidup. Sehingga masih banyak guru terpaksa mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup,” tandasnya.
Masih jauh di bawah UMR buruh pabrik, imbuhnya. Buruh pabrik menghadapi mesin dengan output produk barang. Sedangkan guru harus mendidik manusia dengan output produknya moral dan akhlak atau budi pekerti para penerus tongkat estafet bangsa dan negara ini.
“Memang beberapa Pemerintah Daerah sudah mengambil kebijakan melalui terobosan pemberian insentif dari APBD untuk para guru ngaji dan tenaga pengajar di TPA-TPA. Tetapi tentu kebijakan tersebut masih bersifat parsial. Karena belum memiliki perintah dari regulasi yang bersifat nasional,” paparnya.
“Padahal guru adalah peletak pondasi bangsa, sekaligus penentu kemajuan sebuah bangsa. Karena kunci kemajuan dan kemakmuran negara, adalah suksesnya pendidikan dalam kualitas dan kuantitas. Ini bukan teori di dalam buku. Tetapi sudah dibuktikan oleh banyak negara yang lebih maju dari Indonesia,” urainya.
Ia pun memberi contoh bagaimana Jepang yang hancur setelah peristiwa bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada 6 Agutus 1945, dapat cepat bangkit dan menjadi negara maju.
“Karena yang dilakukan pemerintah Jepang saat itu adalah mengumpulkan para guru dan segera membuka sekolah darurat. Artinya, pendidikan menjadi bagian penting dari percepatan kebangkitan Jepang setelah mengalami kehancuran,” tegasnya. (red)