Mbah Wahab, Guru Politik Bung Karno

Jombang – Kemampuan Presiden RI pertama, Ir Soekarno dalam memecahkan sejumlah persoalan pelik di awal kemerdekaan tidak lepas dari saran yang disampaikan KH Abdul Wahab Chasbullah. Peran itu semakin dominan dalam perjalanan bangsa selanjutnya.
Hal ini disampaikan Abdul Mun’im DZ yang menjadi pembicara pada acara “˜Sarasehan Nasional: Almaghfurlah KH Abd Wahab Chasbullah, perintis, pendiri dan penggerak NU: Dari Pesantren untuk Indonesia’ yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang Jawa Timur, Rabu 3 September 2014.
Dalam pandangan Mun’im DZ, ketika situasi nasional semakin genting terutama pada masa transisi dari pemerintahan penjajahan Belanda ke penjajahan Jepang dan masa kemerdekaan nasional yang penuh dengan konflik dan ketegangan, NU sudah bisa tampil tidak hanya terbatas bagi warganya. “NU juga bisa memberikan panduan dan solusi bagi bangsa dan negara,” kata Mun’im.
Hal ini terlihat nyata ketika NU bergabung dengan Masyumi yang menjadi sebuah kekuatan politik Islam yang dominan. “Terlebih lagi ketika NU mulai menjadi partai politik tersendiri yang mampu meraih kekuasaan,” kata Wakil Sekretaris PBNU ini.
“Keterlibatan NU dalam dunia politik menjadi semakin mendalam. Dan semua prestasi ini terjadi berkat kepemimpinan Kiai Wahab yang piawai, tegas tapi luwes,” lanjutnya.
Ketika zaman PKI masyarakat dihadapkan pada dua pilihan ikut Muso-Amir Syarifuddin (PKI) atau ikut Soekarno Hatta (pemerintah yang sah), rakyat terpandu oleh NU untuk memilih Soekarno Hatta.
Demikian juga ketika Kartosuwiryo melakukan pemberontakan Darul Islam (DI), dengan mengklaim sebagai amirul mukminin sebagai tandingan pemerintah RI pimpinan Soekarno, maka NU di bawah Kiai Wahab menugaskan Kiai Masykur selaku Menteri Agama kala itu untuk mengkoordinasikan para ulama Indonesia mengatasi dualisme ini.
Akhirnya ulama NU menegaskan memilih Bung Karno sebagai pemerintah yang sah, sebagai waliyul amri tahun 1954.
Dengan sejumlah fakta ini, sangat beralasan kalau kemudian Mun’im mengatakan bahwa Mbah Wahab sebagai guru politik Bung Karno. Karena itu, sejumlah pemikiran dan gagasan Mbah Wahab akan digali secara serius bagi upaya mengungkap strategi yang dilakukan dalam perjalanan bangsa dan negara ini.
“Paling tidak akan ada empat buku yang kami terbitkan dalam rangka menyingkap ide dan gagasan Mbah Wahab ini,” tandas Mun’im.
Bahkan bukan tidak mungkin akan muncul akademi politik Mbah Wahab yang merupakan intisari dari sejumlah pemikiran dan ide beliau, lanjutnya.
Lewat kepiawaian yang dilakukan Mbah Wahab, hingga kini NU tetap disegani sejumlah kalangan. Ketika banyak negara masih gamang membincang Islam dan nasionalisme, pembahasan ini telah tuntas pada Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin.
“Sekarang, negara Timur Tengah banyak belajar kepada Indonesia dalam membicarakan Islam dan nasionalime,” terang Mun’im.
Karena ketika melihat negara-negara Islam tersebut, yang mengemuka adalah sejumlah gejolak dan konflik. Dan lewat kepiawaian Mbah Wahab, persoalan Islam dan nasionalime di Indonesia menjadi tuntas.
Sarasehan ini juga menjadi ajang peluncuran buku karya Abdul Mun’im DZ: KH Abd Wahab Chasbullah, Kaidah Berpolitik dan Bernegara yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. (saif/ahay)