Penyerang Polsek Wonokromo Anggap Polisi Kafir Harbi

Markas Polsek Wonokromo, Surabaya (santrinews.com/nashir)
Jakarta – Polisi dan Detasemen Khusus (Densus) 88 antiteror terus mendalami motif Imam Musthofa (30 tahun) yang menyerang petugas Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Wonokromo, Surabaya.
Berdasarkan hasil penyelidikan sementara, aksi itu dilakukan Imam Musthofa sebagai bentuk amaliah ajaran tertentu, yang dipelajarinya melalui media sosial.
“Sementara ini, itu mengaplikasikan apa yang dipelajari di Medsos dengan mengamaliahkannya. Itu nanti porsi Densus 88 ya. Kuat dugaan ke arah sana,” kata Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Frans Barung Mangera.
Aksi itu bermula pada Sabtu sore, 17 Agustus 2019, saat petugas Polsek Wonokromo, Surabaya, Aiptu Agus menerima seseorang yang hendak melapor di SPKT. Namun tiba-tiba orang tak dikenal itu melancarkan serangan ke arah petugas.
Pelaku tersebut menggunakan senjata tajam untuk menyerang. Akibatnya Aiptu Agus pun menderita luka bacok di tangan, pipi sebelah kanan, dan kepala sebelah belakang.
Saat dilumpuhkan usai penyerangan, polisi menemukan kertas yang diduga bergambar lambang jaringan kelompok ekstrimis ISIS di dalam tas pelaku. Selain itu ada pula sejumlah senjata tajam hingga air soft gun.
Pasca kejadian tersebut kini polisi pun meningkatkan penjagaan di Surabaya, utamanya di wilayah Polsek Wonokromo. Kendati demikian, Barung memastikan pelayanan untuk warga tetap tak akan terganggu.
Densus 88 Antiteror Polri lalu melakukan penggeledahan di sebuah kamar kos, tempat tinggal Imam Musthofa. Kos tersebut terletak di perkampungan padat kawasan Sidosermo, Wonocolo, Surabaya.
Berdasarkan keterangan warga setempat, Imam Musthofa bersama istri dan tiga anaknya telah menetap di sana selama lima tahun terakhir. Imam Musthofa dan istrinya adalah pendatang dari Sumenep, Madura.
Ketua RT setempat, Ainun Arif (43) mengatakan sebagai pendatang, Imam Musthofa dan keluarganya tak terlihat aneh dalam bersosialisasi dengan lingkungannya lima tahun lalu. Ia, kata Ainun, tak jarang menyapa warga bahkan ikut bercengkerama di warung kopi setempat.
Namun hal itu berubah sekitar dua tahun belakangan. Ainun menyebut perubahan itu nampak dari cara berpakaian Imam Musthofa.
Tak hanya itu, sikap Imam Musthofa dan keluarganya juga menjadi tertutup dengan warga. Mereka enggan membaur.
Ainun menilai warga menyadari perubahan itu setelah anak pertama Imam Musthofa bersekolah di salah satu lembaga pendidikan yang terletak di kawasan Jagir, Wonokromo.
“Tinggal di sini sudah lima tahun terakhir, awalnya ya biasa sering jalan-jalan ke warung kopi, komunikasi dengan warga juga baik. Tapi semenjak anaknya sekolah di situ, istrinya bercadar. Ya jadi berubah, tertutup jarang keliatan, kira-kira satu dua tahun terakhir,” kata Ainun.
Sehari-hari Imam Musthofa berprofesi sebagai pembuat snack makaroni dan sempol. Jajanan itu saban hari diantarkan ke sekolah anaknya. Usai mengantar dagangan itu, IM dan istrinya lalu masuk ke dalam kosan dan tak bersosialisasi.
“Kesehariannya cuma nganterin sempol sama makaroni itu, setelah itu terus masuk [ke kos], terus keluar cuma kulaan, jualan, ngantarin anaknya [sekolah], masuk lagi [ke kos],” ujarnya.
Menurut Kepla Polri Jenderal Pol Tito Karnavian, Imam Musthofa menganggap polisi sebagai thoghut atau kafir. Jenis kafir yang disangka Imam adalah kafir harbi.
“Polisi dianggap thoghut atau kafir harbi karena sering melakukan penegakan hukum kepada mereka (pelaku teroris), sehingga bagi pelaku melakukan serangan kepada polisi dianggap mendapat pahala,” kata Tito di Jakarta, Ahad, 18 Agustus 2019.
Tito mengatakan pelaku penyerangan terhadap anggota Polsek Wonokromo, Surabaya melakukan self radicalism atau radikalisasi diri sendiri, setelah belajar di internet.
“Sementara info yang saya dapat dari Densus 88 maupun Polda Jatim, tersangka ini self radicalism, radikalisasi diri sendiri karena mempelajari secara online dari gadget,” kata Tito.
Berbekal pelajaran di internet, lanjut Tito, pelaku kemudian meyakini pemahaman interpretasi jihad versinya, dengan mendatangi Polsek Wonokromo dan menyerang petugas.
“Kalau memang ada jaringan, maka semua jaringannya harus ditangkap. Undang-undang baru Nomor 5 tahun 2008 memberikan kekuatan cukup besar kepada penegak hukum,” ujarnya. (us/ant)