Rektor UIN Yogyakarta: Perlu Reinterpretasi Konten Khilafah Sesuai Konstitusi

Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Yudian Wahyudi (santrinews.com/istimewa)
Sleman – Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Yudian Wahyudi mendukung kebijakan Kementerian Agama (Kemenag) yang akan menghapus meteri soal khilafah dan perang atau jihad dari kurikulum dan ujian di madrasah.
“Saya setuju, cuma diperhalus, diganti penafsirannya,” kata Yudian di UIN Yogyakarta, Selasa, 10 Desember 2019.
Menurut dia, materi tersebut harus disesuaikan dengan perkembangan zaman atau kondisi saat ini. Karena itu, kata dia, perlu ada penafsiran ulang terhadap istilah khilafah.
“Alquran tidak pernah menyebut ada khilafah. Yang ada orangnya khalifah. Jadi dijelaskan kata khalifah itu apa,” tegasnya.
Yudian menilai, kebijakan tersebut bukan sebagai upaya untuk menghapus sejarah Islam, melainkan sebagai langkah reinterpretasi dari istilah khilafah dan perang atau jihad tersebut yang disesuaikan dengan kondisi saat ini.
“Harus sesuai dengan zaman. Paling tidak nanti diterjemahkan kata ‘Aku akan mengangkat khalifah di muka bumi’ itu di Al-Baqarah:30 diterjemahkan dengan bahasa konstitusi,” paparnya.
Sebelumnya, Kemenag memerintahkan untuk menarik dan mengganti seluruh materi ujian di madrasah yang mengandung konten khilafah dan perang atau jihad.
Hal itu sesuai ketentuan regulasi penilaian yang diatur pada SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 3751, Nomor 5162 dan Nomor 5161 Tahun 2018 tentang Juknis Penilaian Hasil Belajar pada MA, MTs, dan MI.
Kebijakan tersebut menuai pro-kontra. Menteri Agama Fachrul Razi mengaku telah mendengar penolakan dari berbagai kalangan tersebut.
Menurut Fachrul, revisi konten terkait khilafah dan jihad dalam kurikulum di madrasah dilakukan agar pemikiran siswa tidak rancu. Dia mengatakan khilafah ialah bagian dari sejarah, bukan syariah.
Revisi ditegaskan dalam Surat Edaran B-4339.4/DJ.I/Dt.I.I/PP.00/12/2019 tertanggal 4 Desember 2019.
Selama ini khilafah dan jihad, kata Fachrul, diajarkan dalam mata pelajaran fikih yang membahas syariat dan hukum Islam. Padahal menurutnya khilafah sudah tidak kontekstual dengan kondisi Indonesia sebagai negara bangsa.
Ia menegaskan, khilafah adalah fakta dalam sejarah Islam. Maka konten khilafah sebagai bagian dari sejarah Islam tidak akan dihilangkan.
“Maksudnya kan masalah itu kan enggak hilang ya, memang itu sejarah Islam yang enggak boleh dihilangkan,” ujarnya.
Ia mengindikasikan, persoalan khilafah dan perang yang diajarkan di kurikulum terdahulu sebenarnya tak bermasalah. Kendati demikian, ada pengajar yang menyimpangkan materi tersebut.
“(Soal khilafah) di sejarah Islam itu ada. Pengalaman lalu, ndak tahu kesalahannya di mana, yang pengajarnya justru yang menyimpang ke mana-mana, mengampanyekan khilafah. Kalau di sejarah Islam, pasti ada,” kata Fachrul di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin, 9 Desember 2019. (us/hay)