Santri Cendekia Tumbuh Subur Akibat Depolitisasi Islam

Jakarta – Munculnya puak santri (muslim) dalam jumlah banyak ditengarai karena adanya perubahan-perubahan sikap politik umat Islam di satu sisi, dan di sisi lain akibat membaiknya ekonomi umat serta akses terhadap pendidikan yang relatif terbuka.
“Pada saat depolitisasi umat Islam semakin kuat berkah yang diperoleh adalah terbukanya saluran dan ruang mobilitas baru berupa akses-akses jangka panjang di bidang media, dakwah, birokrasi, seni, budaya, ekonomi, dan lain-lain,” kata Dr Mastuki HS mencuplik substansi buku “Kebangkitan Santri Cendekia, Jejak Historis, Basis Sosial dan Persebarannya” yang diluncurkan di Museum Kebangkitan Nasional, Jalan Abdul Rahman Saleh, Jakarta Pusat, Sabtu, 6 Agustus 2016.
Penggerak semua itu, ia melanjutkan, adalah kelas menengah santri yang telah mengalami intelektualisasi di lembaga-lembaga pendidikan modern (umum dan Islam, di dalam dan luar negeri). “Mereka inilah yang saya namakan santri cendekia,” ia menegaskan.
Faktor lain yang mendorong birokrat di Kementerian Agama ini menerbitkan buku tersebut adalah ditetapkannya Hari Santri Nasional yang kelahirannya membelah varian santri di Indonesia.
Di dalam buku ini Mastuki menyebut santri di Indonesia amat jamak dan majemuk. Ketegangan antar varian santri sejak dulu sudah muncul dan akan selalu menunjukkan kecenderungan yang sama.
Karena santri bukan komunitas tunggal itulah, kata dia, bisa dimengerti kalau santri yang berada di lingkungan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah selalu berbeda menyikapi persoalan umat.
“Hal yang sama saat isu Islam Nusantara muncul, varian-varian santri yang well educated (cendekia) ini pun terbelah,” ujarnya mencontohkan.
Buku setebal 438 halaman yang diterbitkan Pustaka Compass ini merupakan modifikasi dari disertasi doktoral Mastuki di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada 2008.
Ia mengaku tertarik mengangkat isu tersebut karena tema mobilitas dan kebangkitan kelas menengah santri termasuk isu krusial dalam peta politik Orde Baru dan setelahnya, Orde Reformasi.
Bagi Pustaka Compass, penerbitan buku ini melengkapi buku sejenis yang diterbitkan sebelumnya yakni “Santri dan Resolusi Jihad” karya Dr Zainul Milal Bizawie, dan “Pahlawan Santri” karya Munawir Aziz.
Meski kajian dalam buku ini terbatas pada era Orde Baru, menurut Ketua Lakpesdam NU Dr Rumadi Ahmad menilai Mastuki sebagai penulis berhasil menelusurinya dalam konteks historis dan cukup rinci merekam peristiwa-peristiwa penting bagi kemunculan santri cendekia.
Buku ini, kata Rumadi yang juga dosen UIN Syarif Hidayatullah, tidak hanya mengungkap seperti apa ‘sosok’ santri cendekian sebagai kelas menengah santri, tapi bagaimana basis sosial dan mobilitas sosial yang mereka lakukan, sehingga memunculkan para pemikir dan aktivis yang menggerakkan sejarah bangsa ini. Dengan tetap berpegang teguh pada tradisinya, mereka berinteraksi dengan persoalan kebangsaan.
Sementara Ketua Umum SARBUMUSI NU Syaiful Bahri Anshori mencatat, periode yang dipaparkan dalam buku ini adalah masa yang cukup panting dalam bangkitnya politik Islam. Ditandai dengan menguatnya identitas santri cendekia santri yang bukan hanya ‘alim’ tapi juga peka terhadap persoalan-persoalan yang ada di masyarakat dalam peta perkembangan politik di Indonesia yang diwarnai dengan muncuInya para santri yang cukup brilian mengawal jalannya demokrasi.
Tersebarnya kalangan santri ini justru menjadi keunggulannya dan mampu memberikan wajah baru Islam di Indonesia. “Buku ini cukup naratif dan layak dijadikan rujukan untuk mengetahui kiprah santri era sekarang,” tulis Syaiful. (us/detik)