Ganjar Pranowo dan Sosok Independen yang Bukan Petugas Partai
Saya bukan orang yang anti partai politik. Parpol mutlak diperlukan dalam demokrasi. Tapi saya bisa memahami ketika banyak kalangan menilai parpol justru jauh dari merepresentasikan kepentingan masyarakat. Juga, saya bisa maklum manakala politisi parpol dipandang lebih mewakili tuntutan partainya ketimbang memperjuangkan kepentingan masyarakat yang memberikan suaranya langsung di kotak suara.
Dalam konteks itulah, selaku senator yang berarti merupakan representasi langsung masyarakat di daerah-daerah di seluruh Indonesia, saya berempati pada Ganjar Pranowo. Dia memang tokoh senior parpol. Tapi dari waktu ke waktu, semakin nyata bahwa dia menyelami denyut kehidupan warga yang dipimpinnya, dan trade off-nya adalah dia menjadi kian berjarak dari partai yang menaunginya. Tampaknya ada keinsafan bulat pada diri Ganjar bahwa, dalam situasi harus memilih, dia pilih untuk mendahulukan warganya betapa pun itu menepikan partainya.
Dan ketika parpol menjadi berang akibat polah Ganjar itu, maka pada detik itu pula sah bagi Ganjar untuk menyandang status sebagai anggota parpol yang menolak menjadi petugas parpol.
Idealisme semacam itu sesungguhnya bukan barang baru. Justru Ganjar sedang memeragakan Soekarnoisme sejati. Bahwa, meskipun Soekarno adalah pendiri dan tokoh sentral PNI, namun sebagai pemimpin nasional Bung Karno justru tidak memosisikan PNI sebagai partainya. Bung Karno bahkan kemudian malah berjarak dari partai yang dibentuknya. Begitu pula relasi Ganjar terhadap partainya, PDI Perjuangan.
Bedanya, PNI tidak pernah merasa kehilangan Soekarno, sementara PDIP justru seolah memandang Ganjar sebagai anak durhaka. Sebagai petugas yang membangkang terhadap titah panglimanya, tepatnya.
Apa sumber gesekan itu? Barangkali kita, sekali lagi, bisa bercermin pada PNI. PNI tidak mempersiapkan putra mahkota sama sekali. Apalagi pewaris PNI itu harus memiliki silsilah dari garis Bung Karno. Bahkan Bung Karno, dari bacaan yang saya punya, justru berharap tidak ada keturunannya yang menjadi pemimpin politik apalagi pemimpin negara. Kontras dengan itu, Ganjar disebut-sebut menjadi penghalang bagi rencana regenerasi kepemimpinan yang diinginkan partainya.
Ringkasnya, Ganjar memang tidak mewarisi DNA Soekarno. Tapi sangat mungkin idealisme Bung Karno menetes ke dalam dirinya.
Dengan predikat selaku anggota parpol yang menolak menjadi petugas parpol itulah, Ganjar patut dikedepankan sebagai salah satu nama di barisan depan pemimpin Indonesia masa depan. Sekaligus, dia berpotensi kuat menjadi figur pendobrak kejumudan parpol dan pemecah kepengapan iklim berpartai yang kian dahsyat belakangan ini.
Lalu, dengan siapa Ganjar pantas berduet? Gudangnya tokoh kepercayaan daerah yang bebas dari ikatan parpol, tak lain, adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Secara normatif, di situlah berhimpun individu-individu yang memurnikan kembali sila keempat Pancasila. Bahwa, amanat rakyat harus dipikul langsung oleh wakil-wakil yang rakyat pilih, tanpa diperantarai parpol.
Dengan dasar berpikir seperti itu, satu dari sejumlah nama dari DPD yang layak untuk mendapat sorotan adalah La Nyalla Mahmud Mattaliti. Plus minus, La Nyalla akan komplementer dengan Ganjar Pranowo.
Termasuk, La Nyalla adalah sosok murni independen, sementara Ganjar hingga kini masih merupakan sosok parpol betapa pun ia menolak menjadi petugas parpol. Ketika mereka berdua disandingkan, misalnya Presiden La Nyalla Mataliti, dan Wakil Presiden Ganjar Pranowo, atau sebaliknya, tercerminlah sekian banyak kebhinekaan Indonesia.
Tinggal lagi tantangannya adalah bagaimana kita bisa membuka ruang bagi calon presiden independen. Amandemen UUD adalah pembuka jalan untuk itu. Dan, kuncinya ada pada kesadaran rakyat: sampai berapa lama mereka sudi sepenuhnya dikerdilkan eksistensinya oleh orang-orang yang boleh jadi lebih loyal pada partainya ketimbang menyayangi masyarakatnya?
Presiden adalah petugas rakyat. Namun ironisnya, ketentuan yang ada justru presidential threshold terus menjadi mainan parpol. Inikah kedaulatan rakyat? Atau justru kedaulatan parpol? (*)
Abdul Rachman Thaha, Anggota Komite I DPD RI.