PC PMII Surabaya Terkooptasi Partai Politik?

Belum lama berhelat, Pelatihan Kader Lanjut (PKL) 2020 oleh PC PMII Surabaya pada 6-11 Maret 2020 lalu menuai banyak kritik. Penyebabnya, PKL yang harusnya mendidik para kadernya untuk berpegang teguh pada idealisme pilar-pilar Ahlussunnah Wal Jama’ah dan Nilai Dasar Pergerakan, malah dijadikan ajang untuk mendulang profit politik.
PKL yang diikuti oleh 33 orang dari beberapa komisariat serta 2 cabang luar Surabaya ini, ditutup dengan ajang seremonial yang sekaligus mendatangkan Machfud Arifin menyampaikan sambutan. Machfud kini tercatat sebagai Bakal Calon Wali Kota Surabaya yang akan diusung oleh beberapa partai politik.
Baca juga: Untuk Apa PMII Didirikan?
Gerak-gerik mencurigakan telah tercium pada saat persiapan penutupan acara. Panitia enggan menyebutkan bagaimana konsep acara penutupan dengan jelas. Secara tiba-tiba, peserta diminta untuk membersihkan tempat acara serta menata bangku dan kursi untuk persiapan penutupan.
Setengah jam berlalu, terlihat MC membawakan pembukaan dan Machfud Arifin beserta tim segera hadir duduk di panggung, didampingi Ketua Umum PC PMII Surabaya Nurul Haqqi, dan salah satu Ketua PB PMII Davida Ruston Khusen.
Lebih parah lagi dalam sambutannya, Machfud Arifin sempat ‘keseleo lidah’ dengan salah menyebut PMII dengan sebutan “Partai PMII”.
Anggap saja kebetulan, apabila terdapat dua pemateri dari alumni PMII yang juga sedang menjabat di DPRD Surabaya. Tetapi, bagaimana jika acara penutupan yang harusnya menjadi ajang untuk penyampaian pesan-kesan selama mengikuti kegiatan tersebut, malah dijadikan ajang untuk kampanye politik praktis.
Lantas apa hubungannya Machfud Arifin dengan PMII? Ia bahkan bukanlah tokoh yang memiliki latar belakang ke-NU-an yang jelas. Apakah benar, mumpung ada acara yang melibatkan kader PMII se-Surabaya, panitia memutuskan untuk sekaligus menyematkan kepentingan praktisnya di PKL tahun ini?
Tentu PC PMII Surabaya perlu melakukan klarifikasi terkait hal tersebut. Yang jelas, PKL merupakan kaderisasi formal yang harus dijaga marwahnya dari kepentingan politik praktis mana pun.
Bukan Politik Rendahan
Politik memang netral. Politik bisa dilakukan oleh siapa pun dan kapan pun. NU pun juga berpolitik, namun politik yang disandarkan pada nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dalam kaitan ini, Rais Aam PBNU 1999-2014 KH Sahal Mahfudz menegaskan bahwa politik yang dibawa oleh NU merupakan politik tingkat tinggi atau high politics, politik yang bersandar pada nilai-nilai kebangsaan, kerakyatan, serta etika.
Politik kebangsaan yakni politik yang memiliki orientasi pada sikap proaktif dalam mempertahankan NKRI dan Pancasila. Sedangkan politik kerakyatan memiliki makna bahwa sudah menjadi keharusan jika NU memberikan penyadaran tentang hak dan kewajiban rakyat, melindungi segenap kehidupan bangsa dari kesewenang-wenangan pihak manapun. Serta etika politik yang mengedepankan kesantunan dan moralitas sehingga tidak menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan kekuasaan.
Jika menilik pada sejarahnya, masa-masa awal pendirian PMII sebagai underbow NU, PMII tidak bisa bergerak dengan leluasa karena dibatasi oleh kepentingan politik praktis NU. Hingga pada 1972 PMII menentukan sikap independensinya terhadap NU yang ditandai dengan Deklarasi Murnajati.
Baca juga: KH Nuril Huda: Tahun 1972 PMII Independen Hanya Pura-pura
Setelahnya, pada Kongres ke-10 PMII pada 1991, PMII menegaskan kembali bahwa PMII memiliki sikap interdependensi dengan NU. Hal tersebut disebabkan oleh kembalinya NU pada khittahnya, menjadi organisasi kemasyarakatan. NU menyatakan tak terikat dengan partai politik manapun.
Meski posisi PMII masih menjadi perdebatan hingga saat ini, PC PMII Surabaya pada Muspimcab tahun 2019 lalu menegaskan untuk kembali menjadi badan otonom NU sesuai hasil keputusan Muktamar NU di Jombang pada 2015.
Kembali atau tidaknya PMII sebagai badan otonom NU, tidaklah bisa dijadikan alasan untuk ikut terlibat secara kelembagaan dalam kontestasi politik praktis manapun. PMII secara kelembagaan harus tetap dikawal menjadi organisasi yang mandiri, menjaga idealismenya sesuai dengan tujuan yang termaktub dalam AD/ART.
Yakni, terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertakwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya serta komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Karena itu, sebagai organisasi kaderisasi intelektual, PMII harus tetap berfokus pada pengembangan potensi para kadernya secara maksimal, bukan malah menjadi organisasi yang melaksanakan “politik rendahan” dengan cara melibatkan dirinya secara kelembagaan dalam kontestasi politik praktis mana pun.
Baca juga: Menyoal Kembali Independensi PMII
Setelah adanya kejadian ini, diharapkan PC PMII Surabaya dapat memberikan klarifikasi serta mempertanggungjawabkan perilakunya terhadap seluruh anggota dan kader PMII se-Surabaya. Dan semoga kejadian serupa tidak terulang kembali pada PMII di level mana pun.
Inilah kami wahai Indonesia, satu angkatan dan satu jiwa, putra bangsa bebas merdeka, tangan terkepal dan maju kemuka. Salam Pergerakan! (*)
Syaifullah Azizi, peserta Pelatihan Kader Lanjut 2020 PC PMII Surabaya dari Komisariat Airlangga.