Hari Santri, Refleksi Perjuangan Kaum Pesantren

Ide tentang penetapan hari santri sebagai Hari Nasional telah lama menjadi agenda besar Nahdlatul Ulama dalam upaya menampilkan kembali sejarah perjuangan kaum santri dan pesantren dalam mempertahankan kemerdekaan RI.
Perjuangan yang dilakukan oleh para ulama dan santri merupkan bentuk reaksi atas aksi pasukan sekutu (baca; NICA) yang berkeinginan kuat untuk menguasai kembali Tanah Air pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.
Kedatangan sekutu tersebut cukup mengagetkan bangsa Indonesia, di mana secara de jure dan de facto Indonesia sudah menabalkan diri sebagai sebuah Negara yang bedaulat dan merdeka tanpa ada intervensi oleh dan dalam bentuk apapun yang berasal dari Negara manapun juga.
Semangat juang rakyat Indonesia yang pada waktu sedang dalam kondisi on fire untuk mempertahankan kemerdekaan tentu tidak rela jika negara yang baru berusia saja berusia belia kembali jatuh dalam penjajahan yang sudah merenggut kebebasan rakyatnya selama kurang lebih setengah abad. Demikian juga di pihak lain, tentara sekutu pun tidak akan rela jika bekas wilayah jajahannya itu menikmati kedulatan sebagai bangsa yang merdeka.
Walhasil, ultimatum pun dilakukan oleh pihak sekutu agar supaya rakyat Indonesia, terlebih warga Surabaya (Karena titik pijak dari resolusi jihad ini adalah pertempuran yang terjadi di Surabaya dan sekitarnya) menyerah tanpa syarat kepada mereka.
Akan tetapi, ultimatum yang mereka sebarkan dalam bentuk selebaran-selebaran tidak digubris oleh para pemuda, bahkan dijawab dengan tantangan lebih baik mati daripada harus menyerah dan tunduk kepada para sekutu. Inilah kemudian yang menurut para ahli sejarah dianggap sebagai awal mula dari kisah heroik para santri yang tergabung dalam beberapa laskar di bawah pimpinan seorang kiai dan ulama.
Pesantren Dalam Bingkai Historis
Jika kita menarik ulur kisah heroik para santri sebagaimana penulis kemukakan di atas, hal itu bermuara pada resolusi jihad yang dicetuskan atau dalam istilah fiqih-nya difatwakan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Dari sini kemudian ada keterkaitan bahwa obor yang menjadi penyemangat juang para santri tidak lepas dari peran KH. Hasyim Asy’ari dan para kiai lainnya.
Oleh karena itu, berangkat dari latar belakang inilah kemudian hari di mana resolusi jihad itu diteken dan disetuskan ditabal sebagai Hari Santri Nasional, yaitu 22 Oktober.
Sebagaimana sub judul yang telah penulis tulis di atas, ada keterkaitan yang sangat erat atar pesantren, kyai/ulama, dan santri. Karena secara historis, pesantren merupakan indigenous culture bagi Indonesia dalam konteks pendidikan, dan media syiar Islam pada sisi yang lain.
Oleh karena itu, membahas sejarah pondok pesantren yang ada di Indonesia, kiranya kita perlu mengadakan Flashback terhadap teori masuknya Islam di Indonesia.
Mengutip pendapat alm. KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfud dalam “Nuansa Fiqih Sosial”, ia berpendapat bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, walaupun dalam hal ini, penulis sendiri tak memungkiri adanya banyak teori yang masih diperdebatkan oleh para ahli mengenai kapan pesantren tersebut lahir dan muncul untuk pertama kalinya di Indonesia.
Namun, paling tidak lembaga pendidikan yang disebut pesantren ini telah ada sejak masa Walisongo, yaitu sekitar abad ke empat belas masehi. Salah satunya adalah pesantren yang didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim di Gresik.
Walaupun sejarah lahirnya pondok pesantren ini masih menjadi polemik, dan teorinya juga masih diperdebatkan di kalangan pakar. Namun penulis sendiri lebih condong pada pendapat yang dikemukakan oleh KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfud. Mengingat dalam sejarahnya, Maulana Malik Ibrahim adalah penghulu para wali songo, yang selanjutnya usaha perjuangannya dilanjutkan oleh Sunan Ampel yang mendirikan Pesantren di Ampel Dento, dengan santri-santri semisal, Maulana Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Raden Qasim Syarifuddin atau Sunan Drajat, dan lain sebagainya.
Lalu timbul pertanyaan, mengapa harus pesantren? Dari pertanyaan di muka penting kiranya kita memahami pengertian dari pesantren itu sendiri. Tujuannya tidak lain untuk mengenal lebih jauh apa dan bagaimana pesantren menurut pengertian etimologis dan terminologis-nya.
Jika kita membaca buku “Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia”, Zamakhsyari Dhofir memberikan pengertian yang cukup komprehensif. Di mana pesantren bentuk derivasi yang berasal dari kata “Santri”.
Kata tersebut mendapat awalan “pe” dan akhiran “an”, yang berarti tempat tinggal para santri. Dalam perkembangannya, pengertian santri tidak lagi bermakna pure sebagai murid sebagaimana dipahami oleh sebagian besar masyarakat.
Jika merujuk pada buku “Religion of Java” Cliffort Gertz memberikan ulasan yang menurut penulis cukup integral dan holistik mengenai pengertian santri itu sendiri. Menurutnya, santri, di samping mempunyai arti yang luas, juga mempunya arti yang sempit. Jikalau kata santri diartikan secara sempit, maka maknanya adalah seorang murid sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren.
Sedangkan makna santri secara luas adalah masyarakat yang memeluk agama Islam secara benar dan Istiqomah. Hal ini yang kemudian menurut anggapan penulis menjadi inspirasi bagi Gus Mus dalam pernyataan: “Santri itu tidak hanya mereka yang pernah belajar di pesantren, orang yang berakhlak seperti santri juga disebut santri”.
Secara defenitif, pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam sekaligus lembaga pendidikan yang murni milik bangsa Indonesia dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam (Tafaqquh fi ad-Din) dengan menekankan pada pentingnya moral dan spritualitas sebagai pedoman hidup sehari-hari.
Dalam proses pendidikan, pesantren sendiri menurut Zamakhsyari Dhafir mempunyai beberapa unsur di dalamnya. Di antara unsur- unsur tersebut adalah asrama yang berfungsi sebagai sebagai tempat beristirahat para santri, sekaligus menjadi tempat tinggal mereka selama berada di pesantren.
Kemudian ada unsur yang tidak kalah penting dari pesantren itu sendiri, yaitu sosok yang menjadi publik figure atau role model bagi santri-santri. Sosok tersebut adalah Kiai menurut orang Jawa dan Madura, Ajengan menurut orang sunda, Tuan Guru menurut orang NTB dan lain sebagainya.
Dalam kesehariannya, sosok kyai dibantu oleh beberapa orang ustadz/guru, yang hidup bersama-sama di tengah-tengah para santri. Unsur selanjutnya adalah fasilitas seperti gedung- gedung sekolah atau tempat-tempat belajar sebagai pusat kegiatan belajar para santri, baik ilmu agama atapun ilmu-ilmu umum.
Dari sekian unsur-unsur yang ada di dalam pesantren, ada satu unsur yang tidak kalah penting dari beberapa unsur tersebut di atas, yaitu masjid dan surau atau musholla. Ia merupakan pusat kegiatan peribadatan, terlebih ibadah yang bersifat vertikal.
Fungsi unsur yang satu ini menurut pengamatan serta pengalaman empiris penulis bukan hanya sebagai tempat ibadah vertikal semata, tapi juga sebagai pusat keilmuan dan tradisi intelektual para santri. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan adanya halaqah-halaqah ilmiah yang biasa dilaksanakan sebelum dan sesudah subuh atau pada waktu-waktu tertentu.
Peluang dan Tantangan Kaum Santri
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang multifungsi. sebagaimana penulis kutip dari tulisan AM Fatwa tentang masa depan pesantren. Bahwasanya, pesantren di samping sebagai Indigenous culture bagi bangsa Indonesia, ia juga sebagai pusat penyiaran agama Islam yang berlangsung sejak ratusan tahun silam.
Namun dalam perkembangannya, pesantren yang dulunya hanya berbasis pada penyiaran Islam secara tradisional, lambat laun mengalami proses perkembangan yang signifikan, baik dari segi kurikulum maupun dari segi metoda pembelajaran yang kesemuanya dikemas secara modern sehingga mampu menjawab tantangan zaman.
Walhasil, dari proses transformasi dan pembaharuan inilah, banyak kita temukan para santri mampu berbahasa Inggris secara aktif maupun pasif, piawai dalam mengolah kata lewat karya sastranya, pandai bermain musik, serta mampu mengoperasikan alat komunikasi yang kian hari kian canggih.
Lebih dari itu, peran santri dalam bidang politik misalnya, tidak bisa dipandang sebelah mata, mengingat saat ini kiprah dan sepak terjang santri sudah terbukti, sehingga sebagian besar dari mereka yang sudah berhasil menjadi tokoh nasional, bahkan internasional sesuai dengan disiplin ilmu dan profesi yang digelutinya.
Pasca ditetapkan hari santri sebagai Hari Nasional, setidaknya ini membuka peluang bagi para santri atau mahasantri di berbagai sektor untuk mengembangkan segala kreatifitas, aspirasi, dan inspirasinya. Sebagai generasi penerus bangsa yang identitasnya sudah mendapat legalitas standing dari pemerintah, kiranya para santri atau mahasantri tidak hanya mampu bermain dan berkiprah pada satu dimensi saja.
Yang lebih penting adalah bagaimana santri mampu mewarnai bangsa ini dengan ideologi kesantriannya. Artinya adalah sikap kritis harus tetap dipertahankan tanpa menghilangkan nilai-nilai ketawadhuan dan andep asor yang melekat pada dirinya.
Penutup
Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis akan mengutip sebuah pesan atau ungkapan menarik dari Prof. H. Kacung Marijan, Ph.D. dalam sebuah makalah, bahwa sepanjang masa perjuangan revolusi kemerdekaan, para ulama dan santri telah meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya. Ia juga menegaskan, bahwa dalam pejalanannya, ulama dan santri telah berhasil mensinergikan antara nilai-nilai ukhuwah Islamiyah dengan Ukhuwah Wathaniyah.
Oleh karena itu, mari kita jaga kemerdekaan yang telah diwariskan ini sebagai bentuk anugerah terindah dengan cara menjaga persatuan dan kesatuan demi terwujudnya Indonesia yang berkembang dan maju baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Wallahu A’lam bis Shawab.
Jakarta, 18 Oktober 2016
Mohammad Khoiron, Alumni TMI Al-Amien Prenduan, kini Wakil Sekretaris LDNU DKI Jakarta.