Menyambut Hari Santri (1): Mendelegitimasi Kiai dan Pesantren

Konon, Hari Santri adalah “hadiah politik” Jokowi untuk menghibur orang Islam “rural” yang merupakan mayoritas utama pendukungnya. Benar atau tidaknya hal itu yang jelas pada tanggal 22 Oktober 2020 nanti para santri sudah akan merayakannya untuk kelima kalinya.

Bagi orang “rural” ucapan terimakasih akan selalu terus ditradisikan dalam setiap momentum besar yang dialaminya. Tak peduli dengan apa yang terjadi sekarang atau di masa depan, mereka yang berjasa bagi orang “rural” akan selalu dikenang. Padahal dalam tradisi politik di negri ini “hadiah” itu bisa memiliki banyak arti. Kita tentu bisa berkhusnudon dan melihat hadiah politik itu muncul dari ketulusan hati para “penguasa”. Tapi kita juga sadar istilah “tidak ada makan siang gratis”, semua ada harganya.

Nampaknya inilah yang sedang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini. Harga itu akan diminta. “Pesantren dan kiai harus tunduk pada kebijakan UU “Melly Goeslaw” eh maksudnya Omnibus Law. UU yang sarat kepentingan politik karena merangkum semua UU yang ada sebelumnya. Termasuk di dalamnya tentang pasal-pasal “usaha pendidikan” yang “digalaukan” PBNU dan PP Muhammadiyah, sehingga keduanya bersikap “keras” terhadap pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja ini.

Banyak pihak terutama dari pihak pendukung UU dan rezim penguasa (influencer) di media sosial, yang kemudian “menuduh” para kiai dan terutama ormas Islam (NU dan Muhammadiyah) takut kehilangan pengaruh. Bahkan lebih menyakitkan lagi mereka menuduh kedua ormas ini adalah “pemeras” yang menjadi “broker proyek” bagi pengusaha yang ingin investasi di negeri ini.

Tuduhan ini bahkan nampaknya semakin “dikencangkan” oleh para buzzer dan juga sudah “mempengaruhi” sebagian kaum santri yang masih “lugu” dalam berpolitik. Hanya dengan “permen lollipop”, mereka lupa dan tega “mengorban” nalar kritis santri yang sudah mendarah daging dalam tradisi Islam.

Meskipun demikian bukan berarti para santri yang “kritis” akan diam saja jika didhalimi secara halus apalagi secara kasar. Para santri dengan gaya santunnya akan selalu menghadapi dengan jalan “konstitusional”.

Walhasil, “konon” pasal-pasal “usaha pendidikan” yang mengancam kiai dan pesantren sudah dikeluarkan dari UU “kapal induk” ini. Meskipun terasa aneh (karena kabar ini didapat konon setelah si UU disahkan) tapi para santri tetap “khusnudhan” bahwa itu benar-benar dilakukan secara resmi.

Perilaku politik kaum santri “rural” yang biasanya nyantai dan selalu mendukung rezim penguasa, sekarang terlihat mulai berbeda. Tetiba muncul suara dari para elit kaum santri; “Kita hanya setia pada Pancasila, NKRI, serta UUD 1945, bukan pada rezim penguasa yang setiap pemilu bisa berganti-ganti”.

Suara semacam ini dulu banyak terdengar ketika rezim Orba sudah mulai menindas kaum santri karena dorongan ingin menjadi “penguasa” tunggal lewat “Golkar”. Maka pada saat itu tidak perlu heran jika muncul banyak anekdot tentang kepanjangan dari Golkar, yang semestinya “Golongan Karya”, diplesetkan menjadi “disengGol nyaKar”. Bahkan dimasa puncaknya banyak sekali kiai yang disiksa dan diintimidasi dengan sangat keji, karena tidak mau tunduk pada perintah untuk mendukung Golkar.

Anehnya, saat itu tidak ada yang teriak-teriak bahwa yang melakukan adalah “PKI”, meskipun teknik yang dilakukan sama dengan yang “digambarkan” dalam cerita-cerita kekejaman PKI dalam peristiwa G.30 S. Kaum santri “rural” pun tetap bertahan dalam himpitan politik hingga “lepas” setelah rezim Orba tumbang.

Di era reformasi kaum “santri rural” mengalami eforia politik yang luar biasa dan puncaknya adalah saat “terpilihnya” Gus Dur jadi presiden. Seorang kiai “Langitan” yang saya temui sesaat sebelum Gus Dur jadi presiden berpesan; “NU akan mengalami fitnah atau ujian berat setelah ini, kalian jangan ikut dalam arus “politik”. Kalian harus menjaga NU dari jalur yang lain (pendidikan/pesantren, budaya, sosial dan ekonominya)”.

Saat itu saya belum bisa menangkap maksud kiai “khos” tersebut, sampai akhirnya “Gus Dur” dilengserkan dan NU jadi “mainan” dan “dagangan” para politisi yang hanya cari kekayaan dengan cara “menjual” NU. Sedihnya lagi proses ini justru terus berlanjut sampai sekarang. Bahkan bukan hanya lewat jalur politik semata, tetapi juga hampir di semua jalur NU bisa dijual.

Puncaknya tiba-tiba kiai dan pesantren secara sistematis akan didelegitimasi dalam kultur dan struktur budaya masyarakat Islam rural. Di antaranya dengan dimasukkannya kiai dan pesantren dalam pasal-pasal “usaha pendidikan”. Inilah yang membuat saya “terkejut” dan begitu sedih serta teringat pesan KH Hasan Abdul Wafi tersebut.

Ternyata akan ada gelombang fitnah yang lebih besar lagi dari sekedar fitnah jatuhnya Gus Dur. Yaitu ketika pesantren yang dikelola para kiai dianggap sebagai lembaga bisnis yang hanya berorientasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi semata. Dimana konsekwensi hukumnya bisa membuat para kiai dijerat pasal-pasal hukum dan dipenjara jika tidak bisa memenuhi kriteria yang disyaratkan dalam UU tersebut.

Meskipun demikian konsekwensi hukum ini tidak begitu “menakutkan” dibandingkan dengan konsekwensi “kultural” dimana kiai dan pesantren akan hilang dari hati para santri dan umat. Karena para santri dan masyarakat hanya akan menganggap kiai dan pesantren tak lebih dari seorang “guru bayaran” dan lembaga sekolah yang bisa “dicaci maki” oleh murid dan orang tuanya.

Kadang terbersit dalam benak saya apakah karena akan datangnya fitnah ini sehingga pada tahun ini banyak kiai yang dipanggil Allah agar terjaga dari “perangkap” fitnah duniawi ini. Wallahu alam. (*)

Tawangsari, 19 Oktober 2020

Muhammad Khodafi, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network