Menyelami Anak Zaman

Acara tadarus budaya bersama Paddhang Bulan, di Ma

Banyak keluhan, betapa sulitnya mendidik anak saat ini. Menghadapi liberalisme kebudayaan dimana penghormatan terhadap hak individual demikian diagungkan, menjadikan anak ngeyel, susah diatur, dan mau menang sendiri.

Belum lagi anak-anak kita dikepung permainan modern yang cenderung asyik sendiri, misal game. Bahkan permainan itu terkadang mengandung pesan kekerasan dan tak senonoh. Pokoknya jadi orang mumet. Begitu keluhan sebagian orang tua.

Tapi, pernahkah orang tua membalik perspektifnya. Seandainya orang tua hidup sebagai anak pada saat ini, bedakah kira-kira karakternya dengan anak sekarang? Dengan pertanyaan seperti ini saya hanya ingin menyampaikan, dari persoektif anak, tak mudah menjadi anak pada saat ini. Mereka korban. Lingkungan sosial mereka telah memojokkan mereka seperti “no way out” dengan segala macam gempuran dari seluruh penjuru mata angin sehingga karakter baik mereka kian redup.

Jika begini masalahnya, terus orang tua apa? Diam? Tidak peduli? Atau mengambil sikap ekstrem, melarang sepenuhnya anak untuk hidup sesuai zamannya? Pilihan jawaban atas pertanyaan di atas sama-sama tidak arifnya.

Satu sisi seolah ortu mengatakan, zaman dengan segenap pernak-perniknya, seluruhnya bagus untuk anak. Sementara di sisi lain, ada ortu yang mau merampas anak dari konteks zamannya.

Lalu, mau ngapain kita? Anak tak bisa dibiarkan bertarung sendirian menghadapi zamannya. Tugas orang tua adalah mendampingi. Dengan begitu, orang tua berikhtiar untuk mendidik anak arif melihat zamannya, tanpa larut tapi juga tidak lari. Jika kita setuju sama tesis ini berarti anak yang kita damba adalah anak yang memiliki karakter kuat, anak-anak yang bisa “survive” menghadapi zamannya.

Maka, pintar tidak cukup. Butuh pendidikan karakter yang menyusup hingga tulang sumsum anak. Di sini pentingnya akhlak yang bisa memberikan wawasan bagi anak bagaimana anak membangun relasi dengan Allah, sesama, dan alam. Anak tahu menempatkan diri. Adil, bijak, dan arif. Anak-anak seperti ini dalam kearifan lokal Madura disebut “tarbuka”, perpaduan kecerdasan otak dan hati (spiritual).

Lalu bagaimana caranya? Nah, cara harus dilakukan orang atau lembaga. Tanpa ada yang menjalankan, cara itu jadi “omong kosong”. Maka orang tua (keluarga) dan para guru (pesantren, madrasah, sekolah, dll) harus hadir mendampingi anak. Namanya mendampingi tentu harus bisa menyelami dunia anak, menemukan kebutuhannya, membimbing dan mengarahkan dengan cara-cara yang arif sesuai dunia anak.

Ketika bicara kebutuhan jangan selalu merujuk pada ketersediaan mainan atau apapun yang bersifat lahir. Yang paling penting adalah kebutuhan kasih sayang. Usapan, belain, dekapan, bicara dengan hati, sapaan akrab, sambutan hangat, support ketika kondisi paikologisnya lelah dsb.

Tapi ingat, tegas sangat penting terutama dalam soal kesalahan-kesalahan prinsip yang dilakukan anak. Tegas menandakan bahwa otoritas orang tua ada, meski jangan sampai memandulkan kreativitas anak.

Sejatinya, keluarga dan madrasah atau sekolah senafas. Nilai-nilai karakter jika berbeda di dua lembaga itu hanya akan menjadikan anak pecah keperibadiannya. Dan tak ada metode ampuh untuk mengajarkan karakter baik bagi anak kecuali keteladanan.

Tak kalah pentingnya, mendidik anak juga butuh mendekat kepada Sang Maha Pendidik. Doa orang tua atau “tirakat” sebagaimana dilakukan orang dulu tetap perlu dilestarikan. Dalam tradisi orang Madura, ada kebiasaan dulu selalu berpuasa di hari “katerbi’anna” (hari kelahiran anak). Kebiasaan lain, membawa anak “nyabis” (sowan) kepada orang-orang shaleh sambil anak kita minta didoakan.

Jika karakter dianggap penting, maka ukuran rangking atau hanya cerdas otak jauh dari cukup. Jika mau membanding-bandingkan, mending anak memiliki karakter suka membantu temannya meski otak biasa, ketimbang otaknya pinter tapi tak peduli. Tentu harapan kita, dua-duanya tercapai. Otak bagus, karakter oke.

Lalu, jika karakter penting, apa karakter anak bisa menjadikan mereka sukses? Bukankah selama ini hanya otak yang jadi ukuran? Meski saya banyak pertanyaan soal makna sukses, tapi sebaiknya lihat saja di sekeliling Anda, apa orang dengan karakter kuat, sebagaimana yang saya gambarkan di atas, menderita? (*)

A Dardiri Zubairi, Khadim Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin, Gapura, Sumenep.

*Tulisan hasil refleksi tadarus budaya “Anak Zaman, Hakikat Menyelami Hakikat Pendidikan di Era Milenial” bersama Paddhang Bulan, di Ma’had Tatbiyatus Shalihin Kowel Pamekasan, 4 Juli 2019.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network