Tasawuf dan Fakta Kehidupan Dunia
Kalangan tasawuf selalu berpendapat, orang yang jualan di pasar itu mutasawif terbesar. Jadi bukan orang yang khusyuk di tempat tertenntu bertasawuf. Kalau dia di pasar bertasawuf dalam arti melaksanakan pekerjaan dengan sungguh-sungguh dan selalu ingat Tuhan. Ya itu sudah tasawuf yang benar itu. (KH Abdurrahman Wahid/Gus Dur).
SEORANG ulama fiqih kenamaan Syaikh Zakaria Al-Anshari mengemukakan pendapatnya tentang definisi tasawuf, tasawuf ialah, suatu sikap memurnikan hati dihadapan Allah dan memandang remeh atau rendah terhadap selain Allah. Definisi ini sejalan dengan tujuan tasawuf dan pokok-pokok ajarannya.
Syaikh Yusuf Khattar Muhammad dalam al-mausu’ah al-Yusufiyyah Fi Bayani -Adillatis Shufiyyah. Membagi pokok-pokok ajaran tasawuf pada lima bagian :
1. Shafa’ul Qalb wa Muhasabatuha (kebeningan hati dan muhasabah)
2. Qashdu wajhillah (tujuannya hanya Allah SWT)
3. At-tamasuk bil faqri wal iftiqar (hidup zuhud dan selalu merasa butuh kepada Allah SWT)
4. Tauthinul qolbi alar rahman wal mahabah (memantapkan hati terhadap belas kasih dan cinta)
5. At-tajamul bil akhlaq (menghiasi diri dengan akhlakul karimah).
Hal-hal yang berkaitan dengan dunia namun di niatkan untuk perbuatan akhirat maka hasilnya pun untuk kepentingan nya di akhirat. Tasawuf merupakan sebuah media atau ajaran yang urgent bagi manusia dewasa ini.
Dimana nilai-nilai kemanusian dan keTuhanan perlahan mulai memudar, akibat dari pergeseran nilai kehidupan yang kian hari kian ketat, usaha kita untuk mendapatkan, mempertahankan, bahkan merebut kebudayaan dunia dengan cara-cara yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan dan ke-Tuhan-an.
Maka perlu sekali ajaran tasawuf sebagai kendaraan sosial, kendaraan berdagang, dan kendaraan dalam menjalani berbagai bidang sisi kehidupan yang membawa manusia kepada sebuah jalan spiritual keTuhanan.
Guna mendapatkan tujuan pengembaraan di dunia ini sebagai mahluk yang mendapatkan ridha Allah SWT. Bagaimana seorang menghiasi dirinya dengan akhlakul karimah di tengah pergumulan kehidupan sosialnya bersama masyarakat sebagai manifestasi dari pokok-pokok ajaran tasawuf dan menerapkan rasa belas kasih dan cinta, terhadap manusia sebagai rasa ikatan persaudaraan tanpa melihat suku, etnis, budaya, Negara dan agama. Serta membiasakan diri berdagang dengan jujur, bekerja sungguh-sungguh merupakan perwujudan sikap kebutuhan nya kepada Allah SWT dengan bekerja sungguh-sungguh sebagai alat mencapai kehidupan zuhud terhadap urusan keduniawian.
Tasawuf dapat dikatakan sebagai sebuah “Revolusi spiritual” (tsaurah ruhiyah). Tasawuf selalu memberikan kendali untuk melakukan sebuah pembaharuan jiwa manusia. Kelimpahruwahan materi yang mewarnai kehidupan dunia ini bukanlah sesuatu yang penting.
Dalam artian, meskipun mempunyai harta yang banyak tapi harta tersebut tidak membuatnya mencintai harta tersebut. Justru, kelimpahruwahan hatilah yang menjadi penopang kehidupannya. Seorang yang bertasawuf memiliki kekayaan hati yang menjadikan dirinya tidak pasif terhadap kenyataan hidup, kehidupan merupakan fakta yang tak bisa diingkari.
Para mutasawif (orang yang bertasawuf) menghadapi kehidupan dengan realistis. Dengan kedekatan kepada Allah, orang yang bertasawuf akan senantiasa merasakan percaya diri dan optimis. Aktivisme mereka selalu akan menyala sebab semua yang dilakukan tujuannya mencari ridha Allah SWT.
Dari rekam jejak sejarah para mutasawif kita dapat mengambil banyak pelajaran, bahwa hidup di dunia ini bukan sebuah kenyataan yang harus di hindari dengan tidak berusaha dalam urusan keduniawian. Namun seharusnya realita kehidupan ini segalanya dijadikan sebagai sarana taqarrub kita kepada Allah.
Bagaimana seorang Umar bin Abdul Aziz, seorang raja yang bersifat asketis atau zuhud, dengan tetap memegang jabatan sebagai seorang Khalifah Islam yang tersohor. Beliau tetap memegang jabatan sebagai seorang raja namun, beliau tidak silau dengan kekuasaannya.
Lalu seorang fisikawan Muslim tersohor, yang merupakan seorang penemu teori al-jabar pertama beliau seorang pelaku tasawuf yakni Jabir bin Hayyan al-azdi meskipun sebagai seorang mutasawif beliau tetap mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang sains.
Belum lagi ulama-ulama tersohor para pencetus ajaran tasawuf, yangg dikenal sebagai salah seorang bintang sufi yang sangat gemilang yakni Imam Junaid Al-Baghdadi.
Beliau mendefinisikan tasawuf: “Tasawuf ialah membersihkan hati dari sifat-sifat kebinatangan dan menggantinya dengan akhlak yang fitri, menekankan sifat kemanusiaan (basyariyah), menjauhi hawa nafsu, berpegang teguh pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji pada Allah SWT, dan mengikuti ajaran Rasulullah SAW.” Nyatanya beliau seorang pengusaha sukses, namun beliau tidak sibuk dengan usahanya, tapi beliau menyibukan dirinya dengan Allah SWT.
Kemudian Abul Hasan “ali Asy-Syadzili belaiu salah seorang tokoh sufi terkenal dari Benua Afrika, beliau merupakan seorang petani sukses.
Dengan sedikit sekali uraian tentang beberapa tokoh sufi tadi menunjukan bahwa para sufi sesungguhya tidaklah berjarak total dari dunia, seorang sufi atau mutasawif memiliki sikap zuhud yang bisa berarti seorang mutasawif bisa saja mempunyai harta kekayaan yang melimpah, tetapi harta kekayaannya tidak nyantol di dalam hatinya.
Pelaku tasawuf hanya memagari dunia melalui medium pelatihan sehingga tercapai ketenangan dan keteduhan jiwa (an-nafsul muthma’innah).
Ajaran tasawuf (sufisme) dengan berbagai komponen ajarannya merupakan sebuah alat pengendali moral dan bekal bagi diri dalam menghadapi segala macam problematika urusan kehidupan dunia sebagai alat menuju kehidupan akhirat sebagai tujuan final manusia Muslim.
Kesufian seseorang tidak akan menghalangi aktivitas mereka sehari-hari sebagai manusia biasa yang butuh pemenuhan hidup dan perjuangan membangun cita-cita kemanusiaan. Sebagai penutup penulis sampaikan kembali sebuah pesan yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Qodir Jailani: “Semua harta benda (dunia) adalah batu ujian yang membuat banyak manusia gagal dan celaka, sehingga membuat mereka lupa kepada Allah SWT kecuali jika pengumpulannya dengan niat yang baik untuk akhirat Maka jika di dalam pen-tasharruf-annya telah memiliki tujuan yang baik, harta dunia itu pun akan menjadi harta akhirat.” (*)
Sumber tulisan
1. Prof Dr KH Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, SAS Foundation dan LTN PBNU.
2. KH MA Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, LKIS Yogyakarta
3. M Sulton Fatoni & Wildan Fr, The Wisdom of Gusdur, Imania.
4. Tim penulis batartama, Trilogi Ahlussunah, Pustaka Sidogiri.