Arikhah, Aktivis Fatayat NU Raih Doktor Tasawuf

Semarang – Fakultas Humaniora dan Ushuludin Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang memiliki doktor baru bidang tasawuf setelah Arikhah dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude. Arikhah merupakan doktor ke 73 lulusan S3 Studi Islam UIN Walisongo yang sehari-hari menjadi dosen Prodi Tafsir Hadis.
Istri Wakil Rektor II UIN Walisongo ini lahir di Kudus 29 November 1969. Disertasi dengan topik “Reaktualisasi Pemikiran Ibn Qayyim Al Jauziyyah dalam Pengembangan Tasawuf” diuji oleh delapan penguji yang dipimpin oleh Rektor UIN Walisongo Prof Dr Muhibbin MAg dan Prof Dr Ahmad Rofiq MAg.
Dunia Islam di era Ibn Qayyim pernah mengalami masalah kehidupan agama. Maka oleh Ibn Qayyim sebagai murid Ibn Taimiyyah mencoba meluruskan inti agama Islam dengan model tasawuf shahih, yaitu tasawuf dengan tiga dimensi: Tuhan, manusia dan alam.
Arikhah menegaskan bahwa tasawuf merupakan usaha manusia dalam membersihkan diri dalam pengembangan iman, Islam dan ihsan. Jadi tasawuf bukan pola hidup yang individualistik belaka yang pada akhirnya sering disalahpahami. “Oleh sebab itu tasawuf menjadi mutiara Islam, iman dan ihsan yang mampu membentuk kesalehan individual dan sosial,” tegas mantan Sekretaris PW Fatayat NU Jawa Tengah ini.
Tokoh Ibnu Qayyim yang lahir pada akhir abad tujuh hijriyah ini yang mengajak umat Islam membentuk orang menegaskan tauhid dan menghindari Islam yang mencurigai bid’ah. Caranya adalah dengan jalan menuju Tuhan dengan mengedepankan teologi dan keilmuan. “Jadi tasawuf itu butuh keilmuan,” tegas pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang.
Pola tasawuf shahih yang dikembangkan adalah intisari dari ayat Surat Al Fatihah “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” yang berarti prinsip ibadah dengan cinta dan penyembahan diri. Termasuk ayat ini menunjukkan pentingnya istianah dengan penuh kepercayaan dan penyadaran.
Dalam meyakinkan model tasawuf ini dijelaskan oleh Arikhah bahwa Ibn Qayyim menjelaskan ada tiga respon tasawuf: ahl bathin (bersifat batin), ahl al-dzawahir (hanya fisik) dan respon dengan check and recheck. Disinilah tasawuf perlu diaktualisasikan dengan tasawuf kreatif dan tasawuf yang didedikasikan pada masyarakat.
“Para sufi itu mesti bergumul dengan masyarakat, tidak hanya untuk individu,” kata Arikhah yang juga Wakil Sekretaris MUI Kota Semarang. Tasawuf yang diterapkan dengan bermasyarakat akan mewujudkan kesalehan individual, spiritual dan individual.
Ketika Arikhah menjawab pertanyaan dari penguji In’amuzzahidin ditegaskan bahwa tasawuf mengenal dzikir. Dan shalawat kepada Nabi juga bagian dari dzikir dalam mengekspresikan cinta secara verbalistik. Jadi bacaan shalawat yang menjadi bagian dari dzikir bisa berbeda-beda sesuai dengan ungkapan rasa cintanya.
Prof Dr Amin Syukur MAg selaku promotor merasakan rasa syukur dan ucapan selamat atas diraihnya gelar doktor. “Saudari Arikhah sudah jadi doktor, ilmunya harus dimanfaatkan dengan baik. Potensi pintar bicara ini bisa menjadi doktor sekaligus mubalighat yang memiliki pemikiran ilmiah,” tegas guru besar tasawuf ini. (*)