Teliti Barongsai Antarkan Dosen UIN Surabaya Raih Gelar Doktor
Moch Choirul Arif, S.Ag., M.Fil.I, usai mempertahankan disertasi di UGM. (santrinews.com/ugm)
Yogyakarta – Maraknya pertunjukan barongsai di sejumlah kota di Indonesia pasca keruntuhan Soeharto merupakan fenomena menarik. Lebih dari 30 tahun tradisi ini dilarang dipentaskan sejak munculnya Inpres Nomor 14 tahun 1967 dan baru dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2000.
Tradisi barongsai saat ini begitu populer di kota Surabaya. Dalam setiap acara tradisi ini senantiasa muncul dengan atraksinya. Pertunjukan barongsai tidak lagi sebatas pada perayaan Tahun Baru Imlek, tetapi berbagai acara besar lainnya dilakukan oleh pegiat barongsai yang umumnya orang-orang warga Tionghoa muslim Surabaya.
Menurut dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya, Moch Choirul Arif, S.Ag., M.Fil.I, di masa Orde Baru, pelakon barongsai didominasi oleh warga Tionghoa yang beragama Konghucu dan Budha. Namun setelah reformasi di tahun 2000, pelaku barongsai telah berganti dengan pelakon beretnis Jawa dan Madura beragama Islam atau Kristen.
“Pertunjukan barongsai dengan mudah ditemui di berbagai acara di Surabaya,” kata Choirul dalam ujian terbuka promosi doktor di sekolah Pascasarjana UGM, akhir bulan lalu.
Barongsai di Surabaya, kata Choirul, menjadi komoditas yang digunakan untuk memperoleh keuntungan oleh pegiatnya. Bahkan, geliat pertunjukan barongsai di Surabaya mampu menarik para pemilik modal, Pemkot Surabaya, pemegang otoritas budaya Tionghoa, dan pemilik sasana yang menjadikannya sebagai salah satu daya tarik wisata.
Meski begitu, kemunculan barongsai menurut Choruil tidak serta-merta muncul, namun mengalami proses negosiasi budaya etnik melibatkan banyak pihak dan kepentingan. “Proses ini tidak hanya melibatkan kalangan elit warga Tionghoa Surabaya namun pihak lain dan kalangan akar rumput yang menjadi pelaku utama dari pertunjukan Barongsai,” terangnya.
Kemunculan barongsai di ranah publik bagi warga Tionghoa Surabaya dianggap sebagai simbol kebebasan serta menjaga tradisi budaya di tengah menurunnnya animo anak muda warga Tonghoa pada tradisi dan makin berkurangnya pegiat barongsai. Kerja kreatif agen dan pegiat barongsai di Surabaya, menurut Choriul juga mampu mengkonstruksi peran baru.
“Melalui peran baru tersebut diharapkan tercipta ruang kemungkinan dalam menjamin keberlangsungan tradisi barongsai sebagai bagian dari warisan budaya leluhur keCinaan,” pungkasnya. (Nabil/Gusti)