Pertemuan Rahasia Gus Dur-Shimon Peres di Bandara Halim

Gus Dur dan Kiai Afandi
Agustus 2000 menjadi penanda penting dalam upaya Indonesia menjadi penengah dalam konflik Palestina-Israel. Selain menerima lawatan pemimpin Palestina Yasir Arafat, di bulan itu pula Presiden Abdurrahman Wahid akrab disapa Gus Dur juga menyambut kunjungan Menteri Kerjasama Regional Israel Shimon Peres.
Gus Dur ingin menjalankan prinsip sekaligus keyakinannya: kalau Indonesia ingin membantu penyelesaian perseteruan Palestina-Israel, maka Jakarta harus berhubungan dengan kedua pihak bertikai.
Hingga akhirnya Peres terbang dari sebuah negara Skandinavia ke Jakarta, setelah sempat transit di Singapura. Meski kunjungannya ke negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dan tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel itu dirahasiakan, namun Peres datang menumpang pesawat komersial dan duduk di kelas bisnis.
Pesawat membawa Peres mendarat di Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta pada suatu malam di Agustus 2000. Emanuel Shahaf, kepala stasiun Mossad (dinas rahasia luar negeri Israel) untuk Asia Tenggara, mengaku tidak ingat tanggal kedatangan Peres.
“Dia menginap semalam di Hotel Grand Hyatt (terletak di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, jantung Ibu Kota Jakarta,” kata Shahaf dalam wawancara dengan Albalad, Rabu lalu.
Shahaf adalah orang yang mengatur dan mempersiapkan kedatangan Peres ke Jakarta. Dia baru sebulan bertugas di Asia Tenggara. Meski tidak mau mengiyakan, kemungkinan besar dia menetap di Jakarta sebagai kepala stasiun Mossad buat Asia Tenggara. Ada empat negara menjadi tanggung jawabnya, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Peres tidak datang sendirian. Dia ditemani sekretaris persnya, Efrat Duvdevani, dan Oded Eran, Duta Besar Israel untuk Yordania sekaligus ketua tim perunding Israel dengan Palestina, dan satu agen Mossad.
Gus Dur meminjamkan mobil Mercedes antipeluru untuk dipakai rombongan Peres selama di Jakarta. Dari bandar udara, Peres bareng dua anggota rombongannya itu semobil menuju Grand Hyatt. Perjalanan dikawal dua motor polisi. Tadinya mobil ditumpangi Peres langsung masuk ke parkiran bawah tanah hotel, namun sopir dan polisi memutuskan Peres akan masuk dari pintu utama hotel.
Setibanya di lobi Grand Hyatt, mata Peres tertumpu pada Grand Cafe dan langsung melangkah ke sana, mengajak rombongan minum sebentar. Seorang penyanyi baru menyelesaikan satu lagu kenal dengan wajah politikus Israel itu dan berucap kepada semua pengunjung kafe, “Mari kita sambut kehadiran Tuan Shimon Peres!”
Meski begitu, Peres beruntung awal milenia kedua ini belum ada media sosial di Indonesia. Alhasil, wajahnya belum terlalu dikenal masyarakat Indonesia walau beragam kabar mengenai konflik Palestina-Israel akrab di telinga banyak orang. Kalau saja sudah ada media sosial, tentu sulit merahasiakan kehadiran Peres di Jakarta. Foto-fotonya bakal bertebaran di Twitter atau Facebook.
Besok paginya, Peres bertemu Gus Dur dalam acara makan pagi selama dua jam di pangkalan udara Halim Perdanakusumah. Peres berpakaian formal dan Gus Dur berencana menghadiri kegiatan Pramuka setelah selesai agenda dengan Peres, berseragam Pramuka.
Dalam pertemuan itu, Peres lebih banyak berbicara mengenai situasi terkini di Timur Tengah dan Gus Dur sedikit bertanya. “Pertemuan itu lebih mirip penyampaian situasi di Timur Tengah oleh Peres ketimbang sebuah diskusi,” ujar Shahaf.
Tidak ada pertukaran hadiah antara Gus Dur dan Peres. Di sela pertemuan, Shahaf memberitahu Gus Dur, Perdana Menteri Israel ingin bertemu dirinya di sela konferensi di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa bulan depan. Rencana itu terwujud.
Sehabis bertemu Gus Dur, Peres pelesiran ke Taman Mini Indonesia Indah, dilanjutkan dengan jamuan makan siang tertutup dihadiri 20-15 orang perwakilan dari polisi, tentara, akademisi, dan lembaga non-pemerintah.
Shahaf sukses. Pertemuan Gus Dur-Peres tidak ada beritanya di media. Sebelum terbang kembali ke Tel Aviv, Peres empat membeli sejumlah dasi bermotif batik.
Di bulan itu pula, Gus Dur menerima lawatan pemimpin Palestina Yasir Arafat. Kepada Peres dan Arafat, Gus Dur menawarkan Indonesia menjadi mediator dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel. Namun Gus Dur mengakui hambatan terbesar mengenai status Yerusalem.
Sejatinya, kota suci bagi tiga agama itu berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tapi Israel secara sepihak mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota abadi Israel dan tidak dapat dibagi dua.
Klaim unilateral negara Zionis ini terdapat dalam Hukum Dasar Yersalem disahkan oleh Knesset (parlemen Israel) pada 1980. Sedangkan Palestina mendambakan Yerusalem Timur, lokasi berdirinya kompleks Masjid Al-Aqsa, Tembok Ratapan dan Gereja Makam Yesus, menjadi ibu kota mereka.
Pertemuan Gus Dur dengan Peres dan Arafat di Jakarta pada Agustus 2000 berlangsung di momen penting. Kunjungan kedua tokoh itu terjadi sebulan setelah Perjanjian Camp David gagal dan sebulan menjelang meletupnya Intifadah Kedua lantaran kedatangan rombongan Menteri Luar Negeri Israel Ariel Sharn ke Al-Aqsa.
Lawatan Peres ke Jakarta merupakan kunjungan tokoh Israel kedua setelah Perdana Menteri Yitzhak Rabin menemui Presiden Soeharto pada 1993 di rumah pribadinya di kawasan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat.
Pertemuan Gus Dur dengan Peres dan Arafat di Jakarta menyampaikan dua pesan: kalau mau menjadi penengah, Indonesia harus berdialog dengan kedua pihak. Indonesia juga harus dan pantas dilibatkan sebagai mediator dalam proses perdamaian Palestina-Israel. (red)