11 Rahasia Gus Dur

KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (santrinews.com/istimewa)
Kamis, 28 Desember 2017, dilaksanakan haul Gus Dur yang ke-8 di Pesantren Tebuireng, Jombang. Rencananya, acara itu dihadiri oleh Mahfud MD, Rizal Ramli dan Khofifah Indar Parawansa.
Untuk mengenang kiai-negarawan-cendekiawan- budayawan-pengamat sepak bola ini, ingin kubagikan 11 rahasia tentang seorang Gus Dur. Yang kumaksud rahasia adalah hal-hal yang barangkali tidak banyak diketahui masyarakat, khususnya Nahdliyyin.
1. Barangkali Gus Dur (dan adik-adiknya) adalah satu-satunya keluarga di negeri ini yang memiliki ayah dan kakek bergelar Pahlawan Nasional. Ya, KH Wahid Hasyim dan KH Hasyim Asyari adalah termasuk Pahlawan Nasional.
2. Nama asli Gus Dur adalah Abdurrahman ad-Dakhil. Sebelumnya, tokoh yang dikenal memakai nama itu adalah seorang anggota keluarga Dinasti Umayah yang berhasil meloloskan diri saat terjadi pemberontakan oleh Dinasti Abbasiyah.
Ia digelari “ad-Dakhil” karena berhasil masuk wilayah Andalusia (Spanyol sekarang). Dialah pendiri Dinasti Umayah II di Andalusia yang dikenal sebagai Abdurrahman ad-Dakhil, nama yang kemudian dipakai Gus Dur.
3. Gus Dur lahir tanggal empat bulan delapan tahun 1940 M. Ingat, tanggal dan bulan yang dimaksud memakai Kalender Hijriyah. Jadi, tanggal lahir Gus Dur adalah 4 Sya’ban yang saat itu bertepatan tahun 1359 H. Jika memakai Kalender Masehi, Gus Dur lahir 7 September 1940 M. Tidak jarang tertulis tanggal lahir presiden ke-4 ini adalah 4 Agustus 1940 M, dan itu salah!
4. Beruntunglah kalian yang menyelesaikan pendidikan SMP selama 3 tahun. Ingat Gus Dur memerlukan waktu 4 tahun untuk belajar tingkat SMP. Gus Dur pernah tidak naik kelas saat kelas 2 di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Gowangan, Jogjakarta.
5. Gus Dur tak naik kelas karena “males” baca buku-buku pelajaran. Cucu Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari ini lebih suka buku-buku “berat” berbahasa asing, khususnya novel-novel berbahasa Inggris.
Konon, “Das Kapital” karya “sang nabi” komunis Karl Marx telah “dilahap” habis Gus Dur saat masih duduk di SMP. Gus Dur mengenal buku-buku “kiri dan berat” itu dari gurunya yang bernama Bu Rubiah, seorang anggota Gerwani (sayap wanita PKI). Kebiasaan Gus Dur membaca buku-buku berbahasa Inggris ini terus berlanjut hingga belajar di Pesantren Tegalrejo, Magelang.
6. Berikutnya, Gus Dur belajar di kampus tertua di dunia, Universitas al-Azhar Kairo. Tapi, Gus Dur di-DO dari kampus ini karena sangat jarang masuk kuliah. Menurutnya, metode pengajaran dan materi di kampus ini tidak jauh berbeda dari pesantren.
Jadi, masuk kuliah itu “hanya” menghabiskan waktu saja. Gus Dur lebih suka menghabiskan waktunya di Perpustakaan Amerika, sebuah perpustakaan besar di Kairo saat itu. Selain itu, Gus Dur juga suka kegiatan diskusi dan nonton film, khususnya film Prancis.
Puas baca buku di Kairo, Gus Dur kuliah lagi di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak. Di sini Gus Dur rajin kuliah karena metode pengajarannya, menurutnya, seperti di Eropa. Setelah itu, Gus Dur keliling ke sejumlah kampus di Eropa untuk belajar hanya dalam waktu singkat.
7. Di sela-sela belajar di Kairo, Gus Dur menikahi “mantan” muridnya saat dia menjadi pengajar di Pesantren Tambakberas Jombang. Dialah Sinta Nuriyah. Tapi, Gus Dur tidak pulang! Pengantin pria diwakilkan kepada kakeknya dari pihak ibu, yaitu KH. Bisri Syansuri Denanyar Jombang yang juga menjadi salah satu pendiri NU.
Maka, seorang Sinta Nuriyah harus bersabar super ekstra karena harus duduk di pelaminan disandingkan dengan seorang kakek-kakek. Lalu, pulang dari rihlah ilmiahnya di luar negeri, Gus Dur memperbaharui pernikahannya (tajdidun nikah).
8. Meski “hanya” lulusan S1 Universitas Baghdad Irak, Gus Dur dianugerahi gelar doktor kehormatan (honoris causa) dari 10 kampus yang semuanya ada di luar negeri, termasuk Universitas Sorbonne Paris, kampus paling bergengsi di Prancis.
Nama-nama perguruan tinggi yang memberinya gelar adalah Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (bidang filsafat hukum, 2000); Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000); Universitas Sorbonne, Paris, Prancis (bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora, 2000); Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000); Universitas Twente, Belanda (2000); Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000); Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002); Universitas Netanya, Israel (bidang kemanusiaan, 2003); Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (bidang Hukum 2003); dan Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003).
9. Nama Gus Dur kini diabadikan menjadi nama salah satu jalan di kota Jombang. Dulunya jalan tersebut bernama Jl. Merdeka. Sebelumnya, nama ayah dan kakeknya telah lebih dulu menjadi nama jalan, yakni Jl. KH. Wahid Hasyim dan Jl. KH. Hasyim Asy’ari.
Sahabat Gus Dur yang empat tahun lebih dulu wafat, yakni Prof. Dr. Nurcholish Madjid, namanya juga diabadikan menjadi nama salah satu jalan di kota Jombang.
10. Selain nama jalan, nama Gus Dur juga diabadikan sebagai nama gedung. Di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, ada gedung bernama KH. Abdurrahman Wahid yang berlokasi tepat di belakang gedung Ir. Soekarno (gedung rektorat).
Lalu, di Universitas Temple, Philadelpia, AS, ada kelompok studi bernama Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.
11. Angka 9 berkumpul dalam diri Gus Dur. NU yang dipimpin Gus Dur memiliki lambang bintang 9. NU mengikuti cara berdakwah wali 9 (wali songo). Gus Dur berumur 69 (ada angka 9).
Gus Dur wafat tahun 2009 M (ada angka 9) yang bertepatan dengan tahun 1431 H (1 + 4 + 3 + 1 = 9). Gus Dur menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 18.45 (bila dijumlahkan 1 + 8 dan 4 + 5 menjadi 9.9).
Ingat, al-Asma’ al-Husna juga berjumlah 99. Namun, Gus Dur dikenal sebagai wali ke-10, “menggenapkan” wali songo.
Gus, sebagai manusia alias bukan malaikat, engkau juga memiliki kesalahan. Namun, kesalahanmu tak seberapa dibandingkan dengan jasa-jasamu. Gus, bagimu antara dipuji dan dicela sudah tak ada bedanya.
Namun, beberapa pemimpin kami masih takut dicela sehingga memilih menjadi “boneka” atau “penjilat” pihak lain. Gus, langkah-langkah dan pemikiran-pemikiranmu memang sering “kontroversial”, tapi dengan itu, kau telah mengajarkan KEBERANIAN kepada kami.
Gus, semoga kami tidak repot. (*)
Khoirul Ummah, Alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum