Kiai Maksum Lasem dan “Rahasia” Shalawat Nariyah

Salah satu foto langka Kiai Maksum yang banyak beredar. Foto ini yang penulis lihat sejak penulis kecil dulu di Kajen, Pati (santrinews.com/istimewa)
Ada tiga tokoh besar dari Lasem, Rembang, Jawa Tengah, yang memainkan peranan penting dalam sejarah pendirian NU: Kiai Maksum (ayahanda dari Kiai Ali Maksum Krapyak, Yogyakarta), Kiai Baidlawi, dan Kiai Kholil (ini bukan Kiai Kholil Kasingan; beliau juga pendiri dan pengasuh Pondok al-Nur Lasem).
Ketiga sosok ini adalah salah satu pendiri NU, dan hidup segenerasi dengan Hadlratusysyaikh Hasyim Asy’ari (kakek Gus Dur). Konon, Mbah Hasyim (begitu beliau sering dipanggil) memanggil Kiai Maksum dengan sebutan “Kangmas”, karena dari segi umur, beliau satu tahun lebih muda dari kiai Lasem itu.
Baca juga: Gus Dur dan Kisah Mahasiswa Nakal
Berkat jasa-jasa mereka ini, Lasem diberikan status “istimewa” hingga sekarang sebagai Cabang Khusus NU (PCNU Lasem). Padahal status “cabang” hanya berlaku untuk daerah setingkat kabupaten, sementara Lasem hanyalah kota kecamatan. Status ini jelas untuk menghargai kota Lasem yang telah “menyumbangkan” tiga kiai penting dalam barisan pendiri NU.
Kisah berikut ini saya terima dari Gus Zaim (cucu Kiai Maksum Lasem, dan putra Kiai Ahmad Syakir bin Kiai Maksum). Sementara Gus Zaim menerima kisah ini dari Kiai Imron Hamzah (pernah menjabat sebagai Rois Syuriyah PWNU Jawa Timur). Kisah berikut ini berkaitan dengan tradisi shalawat Nariyah yang amat populer di kalangan nahdliyyin.
Di Lasem dan beberapa pesantren di seluruh Jawa, ada tradisi membaca shalawat Nariyah sebanyak 4444 kali dengan “kaifiyyah” atau cara tertentu (kalau kaifiyyah-nya ndak pas, tentu kurang “mandi” alias efektif). Tetapi, model shalawat Nariyyah yang di-ijazah-kan oleh Kiai Maksum, menurut penuturan Gus Zaim, berbeda dari (berbeda “dari”, bukan “dengan”) versi yang umum beredar.
Versi Kiai Maksum: “… ‘ala Muhammadin tanhallu bihi al-‘uqad…,” tanpa kata sambung “alladzi” sebagaimana versi yang biasa kita dengar.
Konon, ini adalah versi shalawat Nariyah yang diwarisi oleh Kiai Maksum dari leluhurnya yang berasal dari tanah Minangkabau: Sultan Mahmud atau Sunan Mingkabau (dimakamkan di kawasan Bonang, sebelah timur Lasem). Menurut beliau, versi ini lebih “cespleng” dari “versi alladzi” yang umum dipakai.
Baca juga: Sisi Lain Mbah Hasyim, Sang Kiai Revolusioner
Suatu saat, Kiai Imron Hamzah yang juga santri Kiai Maksum itu, memberanikan diri untuk bertanya: “Kiai, kenapa kok shalawat ini dibaca 4444? Kenapa harus sebanyak itu? Apa alasannya?”
“Begini ya, Cung,” kata Kiai Maksum, menjawab dengan sabar pertanyaan Imron Hamzah muda. “Setiap angka itu ada sirr-nya, ada rahasianya.” Kiai Maksum berhenti sejenak. Tetapi Imron Hamzah muda tidak sabar, lalu menyergah dengan nada agak meninggi:
“Apa rahasianya, Kiai?”
Dengan santai, Kiai Maksum menjawab: “Ya saya ndak tahu. Kalau saya tahu, namanya bukan sirr, bukan rahasia lagi.”
Lemaslah Kiai Imron Hamzah. (*)