Kiai-Kiai Pesantren Memimpin dengan Cinta
Kiai-kiai di pesantren, khusunya pesantren yang telah membuktikan selama ratusan tahun sebagai lembaga tafaqquh fiddin, bukan hanya mengajarkan pengetahuan kognitif dengan kemampuan ilmunya, melainkan juga mengajarkan sikap dan nilai (afektif) dengan keteladanannya serta mengajarkan keterampilan hidup bermasyarakat (psikomotorik) dalam seluruh dimensi kehidupannya.
Jauh sebelum teori teori pendidikan dirumuskan, kiai-kiai pesantren telah mengenal dan mengajarkannya. Kiai-kiai pesantren bukan hanya mengatakan tapi mencontohkan. Bukan hanya berdakwah tetapi menyertakan dengan tingkah, bukan hanya berteori melainkan di garis terdepan ia berdiri.
Intinya kiai-kiai bukan hanya mengajarkan ketuhanan tetapi juga kemanusian. Ketuhanan adalah akar dan tonggak nya, sedang kemanusiaan adalah dahan, ranting, dedaunan dan buahnya.
Itulah mengapa alumni-alumni pesantren, sejak keluar dari pagar pesantren, umumnya memiliki semangat yang tinggi untuk berjuang, mengembangkan pendidikan, gerakan dan bahkan ekonomi umat, sekalipun tanpa sentuhan santunan dari Negara. Bahkan banyak alumni pesantren yang sama sekali enggan membebani negara, sebaliknya berkontribusi besar membangun keadaban negara.
Olehnya wajar, jika negara saat ini, walaupun sesungguhnya terlambat, memberikan penghormatan kepada kaum santri dengan ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri.
Apa kunci keberhasilan kiai? Secara sederhana bisa dikatakan: karena kiai mengajar dan memimpin dengan cinta, dengan hati dan ketulusan. Dalam kasih sayang dan perhatian, Kiai memperlakukan semua santri sebagaimana putra-putrinya sendiri. Tapi tidak dimamfaatkan sebagaimana miliknya.
Umumnya pendidikan dalam pesantren adalah tarbiyah oriented, berbiaya sangat murah. Sekalipun saat ini ada juga yanbg mahal. Saking murahnya, kadang sarana-prasarana pendidikan pesantren cenderung apa adanya. Kursi-kursi yang tidak pernah berdiri tegak, meja yang goyal-gayel, papan tulis yang tidak jelas antara hitam dan putih, busana guru dan juga santri yang jauh dari kata mewah, sarung yang ngeper-ngeper, dll.
Yang menarik tetapi unik, kitab-kitab pegangan guru tidak pernah berubah selama puluhan tahun, sekali Fathul Qarib maka akan terus Fathul Qarib. Sampai sampai kitab sang ustad lusuh, tidak kelihatan lagi apakah itu kitab Fathul Qarib atau kitab Soetasoma. Tidak seperti pendidikan SD, SMP, SMA yang hampir tiap tahun berubah “muatannya, penulis, penerbit dan pemegang proyeknya”.
Jika ingin melahirkan generasi tangguh, khaira ummat, maka teladani Sang Kiai “mengajar dengan cinta”, bukan hanya mengisi otak dan watak, melainkan qalbu dan ruh. (*)
KH Imam Nakha’i, Dosen Fikih-Ushul Fikih di Ma’had Aly Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.