Sayyidah Aisyah dalam Lipatan Sejarah Kenabian

Sebenarnya penulis tidak mau mengomentari kaitan dengan lagu “Aisyah Istri Rasulullah” yang mulai digemari banyak kalangan. Pasalnya, dalam konteks seni menggambarkan orang besar, terlebih seperti Sayyidah Aisyah, Istri Kanjeng Nabi Muhammad SAW biasanya adalah ekspresi rasa atau dzauq yang sulit terbendung hingga terkadang ekspresi naratif sebagai simbol perasaan kurang elok bila diukur secara fisik.

Tapi, penulis tertantang untuk menulis, karena melihat perdebatan Buya Yahya dan KH Jazuli di media sosial, sekaligus dalam rangka menyelami dunia Sayyidah Aisyah agar dapat belajar dan meneladani perannya yang cukup besar awal-awal perkembangan Islam, khususnya dalam meneladankan isu-isu yang berkaitan dengan perempuan.

Mulanya Buya Yahya melalui cannel youtube al-Bahjah TV memandang lagu “Aisyah Istri Rasulullah” kurang pantas apalagi mengomentari soal romantisme Aisyah dengan gambaran fisik bersama Nabi Muhammad SAW, yang dikenal sebagai ummahatul mukminin. Pastinya, cara pandang hitam putih seperti ini sering kali belum bisa menjawab persoalan umat, apalagi menjadikannya sebagai problem solving kecenderungan masyarakat Muslim di era digital yang kurang mengenal tokoh-tokoh penting Islam akibat tergerus oleh kenikmatan melihat tokoh-tokoh imajinatif yang dalam berbagai media.

Karenanya, cukup beralasan juga, Kiai Jazuli mengomentari perkataan Buya Yahya dengan judul yang sangat panjang. Menarik tulisan ini, sebab mengungkap soal apa yang dibicarakan Buya Yahya, yang sudah dilakukan oleh ulama sebelumnya dengan cara cukup detail. Tapi di sisi berbedaKiai Jazuli menampilkan data bahwa penggambaran fisik, jasadiyyah yang dilakukan Mr. Bie (dengan nama pena) sudah pernah ada, yakni pernah dilakukan oleh Abu Imran Musa ibn Muhammad ibn Abdullah, dari Andalusia Abad 6 Hijriah.

Baca juga: Tentang Puisi Paskah itu: Sebuah Penjelasan

Menariknya, Kiai Jazuli ingin mengingatkan kepada kita semua agar semangat kritisisme bisa dilihat secara utuh sehingga persoalan moral dan keindahan dalam logika sastra tidak bisa dengan penyederhanaan loqika, tepatnya membenturkan dengan logika murni (logika normatif), tanpa melibatkan makna utuh nilai seni sastrawi disampaikan, termasuk dalam lirik lagu “Aisyah Istri Rasulullah”.

Di luar perdebatan itu, penulis tertarik dengan psikologi massa di medsos yang tergerak tanpa dibayar; mulai menshare lagu yang sudah jadi hingga menshare lirik lagu yang dinyanyikan sendiri untuk kemudian disebarkan di medsos.

Psikologi ini menggambarkan bagaimana ketertarikan “hidup penuh romantis” ini sangat menyejukkan di tengah arogansi, individualisme, atau egoisme menghiasi kehidupan kita, baik di rumah tangga, hidup di masyarakat, atau kepemimpinan bangsa. Pastinya, sikap romantik yang lahir dari kejujuran, bukan kepura-puraan sehingga memantik kesejukan interaksi positif penuh maslahah dengan siapapun.

Namun, viralnya lagu “Aisyah Istri Rasulullah” tidak cukup selesai di sini. Gambaran lagu ini hanyalah serpian dari ibunda kita umat Islam, Sayyidah Aisyah, sekalipun penuh kontroversi. Karenanya, menyelami dunia Beliau, kita berharap mengetahui betul bagaimana romantisme yang diteladankan Aisyah kepada suaminya, Nabi Muhammad Saw, tidak datang tiba-tiba, melainkan wujud dari manifestasi bagian dari kepribadian akhlak mulia Aisyah, baik sesama manusia, alam, lebih-lebih “romantis” bersama Tuhannya, Allah SWT.

Sejarah Singkat
Untuk mengenal lebih mendalam dari kepribadian Sayyidah Aisyah, maka penting merefleksikan perkataan Syaikh Ramadhan al-Buthi dalam pengantar bukunya, Aisyah Ummul al-Mukminin Ayyamuha wa Sirataha al-Kamilah fi Shafahat (Aisyah Ibu Orang-orang Mukmin; Hari-harinya dan Sirahnya yang Mulia dalam Beberapa Lembaran).

Syaikh Ramadhan mengatakan: “Sesungguhnya kajian atas kehidupan ibu orang-orang Mukmin Aisyah bukanlah bagian dari mengkaji sejarah secara klasik dan perbuatan murni berbasis agama. Tapi, hakekatnya dalam rangka mengungkap realitas sosial yang terjadi pada permulaan Islam, serta pengaruhnya pada kehidupan sosial di Jazerah Arab.

Lebih dari itu, di halaman yang lain, Syaikh Ramadhan juga mengingatkan bahwa dimensi keimanan harus menjadi bagian penting dalam mengkaji secara kritis sejarah istri-istri Nabi Muhammad, mengingat sosok Nabi dan Istrinya hidup dalam arahan wahyu, berbeda dengan kita. Pilihan nabi menikah dengan para istrinya, termasuk dengan Aisyah, bukan hanya faktor dari diri sendirinya, melainkan mendapat bimbingan langsung dari Allah melalui firman-firman-Nya.

Maka sebagai Muslim, kita tetap kritis dalam sejarah, meskipun tidak harus tidak seperti para orientalis yang mengungkap sejarah Nabi Muhammad Saw, dan Istri-istri dengan dengan semangat kritisisme, sekaligus tafsir kebencian. Akibatnya, kesimpulan yang dibangun sering kali menistakan kemuliaan Nabi, untuk tidak mengatakan menghina.

Baca juga: Romantisme Nabi: Liur Nabi dan Aisyah Menyatu Jadi Satu

Untuk itu perlu mempertimbangkan arahan Ibn Khaldun kaitan telaah sejarah. Dalam Muqaddimah, Ibn Khaldun mengatakan; sejarah harus dilakukan dengan ketelitian, dan tidak ada dialektikan dengan yang dulu dangan yang sekarang, maka sangat dimungkinkan tidak aman dari kekeliruan. Bahkan bisa menyimpang dari kebenaran.

Dalam banyak riwayat ditemukan bahwa Aisyah lahir 7 tahun sebelum hijrahnya Nabi Muhammad Saw ke kota Makkah. Beliau terlahir dari pasangan Abdullah ibn Abi Quhafa, yang dikenal dengan nama Abu Bakar dengan istrinya bernama Zaenab atau dikenal dengan Ummu Ruman. Sebagai manusia biasa, Aisyah kecil juga sama seperti anak pada umumnya, mengalami masa-masa bermain dengan temannya. Pastinya, permainan yang berkembang di lingkungan Arab kala itu.

Namun, sejak kecil Aisyah sudah memiliki sifat luhur dan kecerdasan yang tidak dimiliki oleh kebanyakan anak kecil pada zamannya. Salah satunya, anak-anak kecil Arab, bisa jadi pada umumnya anak, kurang memperhatikan hal-hal penting yang menjadi prinsip hidup. Berbeda dengan Aisyah, sejak kecil sudah diberi kemampun untuk menghafal kejadian apapun yang pernah dialaminya, terlebih kehidupan bersama Nabi Muhammad Saw.

Salah satunya, mengutip perkataan Sayyid Sulaiman al-Nadwi. Dalam Sirah al-Sayyidah ‘Aisyah Ummu al-Mukminin (2003, hal.43), Sulaiman al-Nadwi mengatakan bahwa Aisyah mampu memegang rahasia kenabian, ketika mengikuti hijrah bersama rombongan Nabi Muhammad. Bahkan hafal secara detail setiap perjalanan hijrah, yang tidak bisa ditiru oleh sahabat-sahabat lain yang lebih senior. Karenanya, banyak riwayat kaitan dengan hijrah Nabi Muhammad melibatkan data- data yang diriwayatkan oleh Aisyah.

Padahal bila dipahami, ketika hijrah ke Madinah tahun 622 M, Aisyah tidak mengikuti rombongan Nabi Muhammad dan Abu Bakar, tapi bersamaan dengan rombongan lain dari keluarga Nabi dan keluarga Abu Bakar, ayahnya. Pastinya, bila diukur perjalanan hijrah —dari Makkah ke Madinah—menempuh jarak tidak sediki dekat sehingga sangat melelahkan. Bukan itu saja, setelah sampai di Madinah, yang dulu dikenal dengan nama Yastrib, tak lama berdomisili semua rombongan tertimpa bencana wabah sehingga rombongan hijrah banyak yang sakit, termasuk Abu Bakar, Aisyah, dan lain-lain.

Melihat kondisi ini, akhirnya Nabi Muhammad berdoa sebagaimana berikut:

اللهم حبب إلينا المدينة كما حببت مكة أو أشد وصححها وبارك لنا ف صاعها ومدها
وانقل حماها إىل الجحفة.

Ya Allah, cintai Madinah untuk Kami sebagaimana kota Makkah atau lebih. Sembuhkan penduduknya. Berkati timbangan; sho’a dan mudnya. Pindahkan hawa panasnya ke Jahfah.

Dengan doa ini, Allah memberikan kesembahan pada para sahabatnya dari ancaman waba dan perkembangan kota Madinah terus dipenuhi keberkahan. Menariknya, doa ini yang kemudian menjadi dalil bahwa Nabi Muhammad telah mewariskan prinsip-prinsip cinta kepada bangsa (hub al-wathan).

Setelah itu, kira-kira tahun ke dua hijriah, setelah perang Badar, Nabi Muhammad menikahi Aisyah pada bulan Syawal dengan mahar 500 Dirham dalam usia 9 tahun, ada yang mengatakan 10 tahun. Bahkan sebagian yang lain mengatakan 11 tahun. Mungkin inilah yang menjadi alasan, mengapa bulan Syawal dikenal sebagai bulan pernikahan dalam rangka mengikuti jejak Nabi Muhammad menikah dengan Sayyidah Aisyah.

Pernikahan dengan Siti Aisyah dilakukan setelah istri pertama Nabi Muhammad Saw, yakni Siti Khadijah meninggal pada 0 Ramadhan setelah kenabian, tepatnya kira-kira tiga tahun sebelum hijrahnya ke Madinah. Sebagian sumber mengatakan bahwa pernikahan Aisyah dilakukan pada usia enam tahun, sebelum hijrah, tapi belum berkumpul bersama.

Baru setelah hijrah kumpul bersama Nabi, sekalipun Aisyah tetap bermain sehingga dapat menghibur Nabi Muhammad, ketika kalut memilikirkan hal-hal berat kaitannya politik keumatan di Yastrib, Madinah. (Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 2007, hal 209).

Menariknya, rumah tangga kedua pasangan ini dibangun dalam kesederhanaan penuh keteladan dengan tidur ditempat apa adanya, yakni dengan tikar yang terbuat dari kulit dan dalamnya terisi serabut.

Baca juga: Nabi Muhammad yang Romantis

Pernah suatu ketika, tikar yang dipakai ini diganti oleh perempuan dari golongan Ansor dengan tikar yang lebih lembut, tanpa sepengetahun Nabi. Ketika Nabi pulang, tak lama melihat tikar lembut ada di kamar beliau, akhirnya menyuruh Asiyah untuk mengembalikan kepada perempuan itu. Dengan tegas Nabi Muhammad mengatakan: Demi Allah jika aku berkeinginan, maka Allah akan mengalir gunung menjadi emas dan perak.

Itulah potret sekilas, bagaimana pelajaran terpenting membangung rumah tangga sehingga siapapun harus belajar dalam kesederhanaan. Bukankah Muhammad adalah Nabi umat Islam, tapi kesederhanaan beliau memastikan kuatnya prinsip dalam hidupnya tanpa harus mengantungkan kepada orang lain.

Lebih dari itu, ketika Aisyah dinikahi Nabi Muhammad, beliau sedang berumur Sembilan tahun, menurut riwayat ini. Kondisi umur yang dipandang kanak-kanak ini yang kemudian memantik banyak kontroversi dari banyak kalangan, apalagi bila dikaitkan dengan hak-hak perlindungan anak untuk konteks hari ini. Tak anyal, situasi umur yang kanak-kanak ini dimanfaatkan oleh para orientalis menilai Nabi tidak manusiawi hingga melanggar prinsip- prinsip kemanusiaan.

Tapi, sekali lagi, kehidupan nabi Muhammad tidak bisa dibayangkan seperti kehidupan kita. Apa yang dilakukan Nabi selalu dalam bimbingan wahyu. Kalaupun pilihan menikah dengan Aisyah salah, pasti tidak lama Nabi Muhammad yang ma’shum akan diingatkan melalui wahyu juga. Karenanya, umur 9 tidak bisa menjadi patokan, apalahi mengutip Ramadhan al-Buthi, kedewasaan seseorang —sehingga layak menikah— berbeda-beda sesuai dengan kultur geografis dan sosial setiap daerah bahkan Negara.

Detailnya, kedewasan perempuan yang geografisnya adalah panas seperti jazerah Arab dan Afrika berbeda-berbeda, termasuk juga dinegara lain. Di Mesir, umur 10 tahun adalah tanda perempuan dewasa dan haid, sementara di daerah Najd, Sudan dan Nigeria bisa sebelum usia 10 tahun. Berbeda dengan daerah-daerah dingin, seperti Asia Tengah dan kebanyakan Eropa, perempuan bisa dewasa dengan ditandai haid bisa sampai umur 14 tahun.

Sebagaimana disebutkan hubungan rumah tangga yang dialami Nabi Muhammad dan Asiyah jauh hanya mempertimbangkan hawa nafsu sebagaimana dituduhkan para orientalis. Bimbingan Wahyu, mengantarkan Aisyah memiliki kedudukan yang istimewa, termasuk istri-istri lainnya, dan Aisyah menjadi patner yang penuh tawadhu’ kepada suaminya.

Banyak cerita bagaimana mu’syarah suami-istri ala Nabi Muhammad dan Aisyah cukup romantis, lemah lembut, bakan Nabi tidak pernah mencela Aisyah, termasuk kepada para istri yang lain. Pertama, Nabi Muhammad sering bekadang tengah malam bersama Aisyah. Ketika itu, dilakukan dengan penuh kelembutan, dan tetap fokus pada apa yang diobrolkan. Bahkan hingga tengah malam, dan ketika sudah waktunya sholat keduanya bersegara shalat.

Kedua, tidak jarang Nabi tidur tertidur dipaha Aisyah, bahkan sering bersama makan dalam satu tempat. Satu cerita diriwayatkan, pernah Nabi Muhammad Makan “Haisan” bersama Aisyah. Tiba-tiba Umar lewat, dan memanggilnya ikut makan. Tanpa disengaja jari-jari Aisyah mengenai tangan Umar. Ini terjadi sebelum turunnya ayat yang menjelaskan tentang hijab.

Riwayat yang lain menceritakan; suatu ketika Aisyah yang sedang haid, menyodorkan tulang yang telah ia makan dan memberikan kepada sang Suami, Nabi Muhammad. Lantas beliau meletakkan mulutnya di tempat dimana tulang yang sudah terkena mulut Aisyah. Dan Aisyah pernah minum air dan memberikan kepada Beliau. Nabipun meminumnya di tempat Aisyah meminum.

Masih banyak cerita ramantis hubungan rumah tangga Nabi Muhammad, dan istrinya, yang tidak mungkin diulas tuntas dalam lembaran singkat ini. Pastinya, romantisme Nabi bersama Aisyah dibangun dengan kelembutan, kejujuran dan selalu menghargai hak masing-masing ketika terjadi dialog, yakni ketika mendengar dan yang lain berbicara atau sebaliknya.

Lebih dari itu, romantisme Aisyah bersama Nabi bukan hanya sekedar hubungan rumah tangga yang baik, tapi sekaligus menggambarkan kepribadiannya yang baik, cerdas membaca keadaan, dan tulus dari lubuk hati yang terdalam, apalagi hidup bersama Nabi Muhammad, yang tindakan dan prilakunya senantiasa dibarengi wahyu sehingga harus menjadi teladan bagi generasi Muslim dimanapun berada.

Maka cerita romantisme Nabi dan Aisyah, bukan sekedar cerita yang lewat dari telinga kanan keluar dari telingah kiri. Tapi cerita-cerita ini harus membumi menjadi kerangka etik dalam membangun rumah tangga dengan kelembutan dan kasih sayang. Dengan begitu, rumah tangga akan senantiasa penuh keberkahan. Pastinya, cerita-cerita Aisyah, juga tidak bisa dilepaskan dari cerita beliau bersama suaminya diterpa “hoaks’, yang dalam lipatan sejarah dikenal dengan Hadithu l-ifki.

Figur Mulia Berkarakter
Dari ulasan tersebut, kebesaran nama Aisyah sebagai salah satu istri Nabi Muhammad didukung, sekali lagi, karena keluhuran pribadi dan kecerdasannya sepanjang hidup bersama Nabi Muhammad, termasuk setelah Nabi meninggal. Beliau adalah sosok perempuan cerdas dan penuh karakter.

Berikut sifat dan karakter bunda kita semua, Sayyidah Aisyah. Pertama, ahlaknya mulia. Kenyataan ini juga tidak bisa dilepaskan dari kehidupan Aisyah bersama Nabi Muhammad ketika masih kanak-kanak hingga menjadi pemuda. Karenanya, sepanjang ini seluruh hidupnya selalu dalam bimbingan wahyu dengan meneladani prilaku sang Nabi, yang juga suaminya.

Baca juga: Sayidah Aisyah: Istri Rasulullah yang Romantis dan Berilmu Tinggi

Sayyidah Aisyah dikenal larut kehidupan zuhud, wara’, intens dalam beribadah, dermawan, dan belas kasih kepada semua orang. Bahkah beliau nriman (qanaah) terhadap keadaan apapun bersama suaminya hingga menjadi kpribadiannya sepanjang hidup. Padahal, kaitan dengan nriman dan perempuan adalah dua hal yang sulit menyatu, untuk tidak mengatakan bertentangan.

Cukup beralasan Nabi Muhammad dalam satu kesempatan mengatakan bahwa perempuan yang biasa mencela dan suka kufur dalam interaksi sehingga mengantarkan mudah masuk neraka. Berbeda dengan Aisyah, yang dengan kecerdasan ini tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Aisyah pernah menyelu terhadap kekurangan, padahal jika mau sangat bisa beliau meminta lebih kepada suaminya, yang juga mengatur baitul mal. (Sulaiman al-Nadwi, hal. 208-209).

Kedua, pembela perempuan. Tidak segan-segannya, Aisyah melakukan pendampingan secara khususnya terhadap para perempuan yang tertindas, dengan mengajukan pendapat kepada Nabi. Misalnya, kebiasaan laki-laki yang selalu menolak istrinya, tapi menjelang iddah ruju’ kembali. Ini dilakukan berkali-kali, tanpa berpikir perasaan perempuan. Karenanya, turun ayat yang menjelaskan bahwa talak —yang bisa ruju’— cukup dua kali. (Ramadhan al-Buthi, hal. 82-83).

Ketiga, sumber ilmu pengetahuan. Aisyah menjadi perempuan penting era awal Islam, yang banyak tahu tentang ajaran Islam. Kefasihannya dalam kata-kata dan Kecerdasan yang dimiliki diakui oleh banyak sahabat sehingga beliau menjadi rujukan ilmu, ketika terjadi problem dalam satu masalah.

Imam Zuhri, yang diriwayatkan oleh Hakim dalam kitabnya Mustdrak, mengatakan sebagai berikut:

لو جمع علم الناس كلهم، ثم علم أزواج الن ب صىل هللا عليه وسلم لكانت عائسة
أوسعهم علما.

Jika ilmu semua manusia dikumpulkan, dan juga ilmua para istri Nabi SAW. Maka Aisyah merupakan perempuan yang paling luas ilmunya.

Itulah gambaran kedalaman ilmu Aisyah, yang semuanya tidak bisa dilepaskan dari pergumulannya beliau dengan suaminya, termasuk karena dirinya yang memiliki keunggulan lebih dibandingkan perempuan-perempuan sezamannya. Cukup tepat bila ada yang mengatakan bahwa seperempat ajaran Islam, diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah sehingga dapat dipastikan siapapun yang mengkaji hadith akan menemukan riwayat-riyawat Aisyah berserakan dalam beberapa bab mengenai ajaran Islam.

Akhirnya, begitu sejarah singkat tentang Aisyah, meninggal tahun 58 H malam 17 Ramadhan setelah shalat witir, bersamaan dengan bulan Juni tahun 678 M dengan umur 67 tahun.

Semoga kita bisa meneladani dari sifat dan pribadi beliau sepanjang hayat agar mengenalnya akan menuai keberkahan hidup bagi kita semua, baik laki-laki maupun perempuan. Pastinya, dengan belajar dari bunda kita semua, Sayyidah Aisyah Radhiyallah ‘Anha. Amin. (*)

Wasid Mansyur, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UINSA, Wakil Ketua PW GP Ansor Jawa Timur.

Terkait

Tarikh Lainnya

SantriNews Network