Ibnu Arabi sebagai Penutur Hadis

Ilustrasi Ibnu Arabi

Seringkali kita —para pembaca modern— secara tak sadar membawa prasangka dan praasumsi yang tidak benar, dan lebih mencerminkan suasana pertarungan pemikiran di zaman sekarang, ketika membaca teks-teks klasik yang berasal dari Abad Pertengahan.

Tipologi pemikiran yang kita ciptakan dan rumuskan di zaman sekarang kita coba paksakan untuk memahami mazhab-mazhab pemikiran di masa lalu yang sebenarnya mungkin tak bisa kita pahami secara kaku berdasarkan rumusan-rumusan tipologi yang kita bikin di era kontemporer.

Misalnya, karena di zaman sekarang para pendaku Salafi pada umumnya mendalami hadis secara mendalam dan mereka biasanya antipati kepada tasawuf, kita biasanya berprasangka bahwa para ahli hadis adalah anti-tasawuf dan bahwa para Sufi adalah golongan yang sering sembrono mengutip hadis karena mereka bukan pengkaji dan penutur hadis dan mengutip hadis hanya demi menjustifikasi pemikiran mereka yang kita tuduh menyimpang dari ‘ortodoksi’.

Dibikinlah kemudian dikotomi antara ahli fikih, ahli hadis, dan ortodoksi, di satu pihak, dan kaum Sufi, heterodoksi, dan filsafat, di sisi yang lain.

Para pengkaji sejarah tasawuf biasanya membayangkan tasawuf sebagai gerakan pemikiran yang menyempal, yang heterodoks, yang kemudian ditindas oleh ortodoksi yang katanya diwakili oleh para ahli fikih dan ahli hadis.

Kalau misalnya ada Sufi yang ketat sekali mengamalkan Syariah, seperti al-Ghazali, komentar orang biasanya, “Oh itu karena ia berusaha mendamaikan Syariah dengan tasawuf. Tasawufnya adalah tasawuf Sunni, bukan falsafi ala Ibn ‘Arabi.”

Nah, ketika kita mendengar nama Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi, yang kita bayangkan langsung: tasawuf falsafi, wahdatul wujud, dll, yang kita bayangkan tidak selaras dengan Syariah. Karena tasawufnya falsafi, maka pemikirannya tidak mungkin selaras dengan Syariah, dan yah, ia semestinya bukan ahli hadis dan ceroboh dalam mengutip hadis.

Semua ini adalah prasangka yang salah! Di bidang fikih, Ibn ‘Arabi semestinya kita pandang sebagai mujtahid muthlaq yang punya pemikiran sendiri tentang isu-isu fikih. Fikihnya malah amat literal dan ketat sehingga sejumlah pengkaji Ibn ‘Arabi menyebutnya Zahiri. Kalau kita menjadikan pengamalan fikih yang ketat sebagai tolok ukur ortodoksi, tasawuf Ibn ‘Arabi semestinya kita golongkan sebagai tasawuf Sunni juga.

Hubungan Ibn ‘Arabi dengan hadis juga lebih mendalam daripada yang disangka orang. Kita malah semestinya menganggap Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi sebagai seorang penutur hadis.

Tidak seperti kita yang gampang sekali menuduh palsu sebuah hadis cuma gara-gara tak bisa menemukan teksnya dalam Kutub as-Sittah, dan modal kita cuma Maktabah Syamilah yang memudahkan orang untuk mengecek hadis dan mengutip nomornya segala, Ibn ‘Arabi adalah seorang penutur hadis tulen. Ia adalah salah seorang penutur hadis (rijal al-hadits) dalam mata rantai (isnad) yang bersambung hingga ke Nabi.

Kalau kita mengintip satu-satunya kitab himpunan hadisnya yang lestari hingga di zaman modern, Misykat al-Anwar, kita bisa mengamati bahwa Ibn ‘Arabi mencatat hadis-hadis dalam kitab tersebut secara otoritatif dari Muslim, Ibn Majah, al-Baihaqi, dll.

Dengan Imam Muslim, penulis kitab Sahih itu, ia memiliki jalur isnad yang cuma dipisah oleh 5 orang individu: Muhammad ibn Qasim, Abu Thahir Ahmad ibn Muhammad, Abu-l-Husain ‘Abd al-Ghafir ibn Muhammad, Abu Ahmad al-Juludi, Ibrahim, baru kemudian Imam Muslim sendiri.

Ibn ‘Arabi juga menulis banyak kitab himpunan hadis. Kebanyakan kitab-kitab tersebut hilang kecuali Misykat al-Anwar itu. Kata Muhammad Valsan, yang menerjemahkan kitab ini ke dalam bahasa Prancis, Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi menulis ringkasan himpunan hadis al-Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi. Ia juga menulis Kitab al-Mishbah yang katanya menghimpun hadis-hadis dalam al-Kutub as-Sittah.

Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi mendapatkan ijazah untuk mengajarkan kitab-kitab hadis otoritatif tersebut dari para penutur hadis yang juga Sufi (ini bukti lain lagi bahwa di Abad Pertengahan ‘konflik’ antara Salafi dan Sufi itu tidak ada).

Salah seorang di antara mereka adalah Zhahir ibn Rustam al-Ishfahani yang mengajarkan Sunan at-Tirmidzi kepadanya. Buat yang tidak tahu, Zhahir ibn Rustam ini adalah ayah Nizham, perempuan saleh yang mengilhaminya untuk menulis buku puisi tentang cinta ilahi yang ia beri judul Tarjuman al-Asywaq, “Tafsir Kerinduan.” (*)

Terkait

Turats Lainnya

SantriNews Network