Ibnu Taimiyyah, Sibuk Menulis hingga Tak Sempat Menikah

Ilustrasi - Ibnu Taimiyyah muthalaah kitab

Menurut kesaksian muridnya, Syamsuddin adz-Dzahabi, setiap hari Taqiyuddin Ibn Taimiyyah menulis rata-rata empat halaman atau lebih tentang pelbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Adz-Dzahabi memperkirakan keseluruhan karya Ibn Taimiyyah yang telah tuntas ditulis ketika ia menyusun catatan biografis tentang gurunya, berjumlah 500-an judul.

Karya-karya Ibn Taimiyyah amat beragam secara kuantitas. Mulai dari yang super tebal hingga mencapai belasan jilid (seperti magnum opusnya, Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa-n-Naql), berukuran sedang, misalnya Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, hingga risalah yang cuma terdiri dari beberapa halaman saja.

Baca juga: KH Thoifur Ali Wafa, Kiai Produktif dari Ujung Pulau Madura

Kesibukannya menulis, belajar, dan mengajar membuatnya tak sempat menikah dan tak punya waktu untuk mengurusi nafkah. “Ia hidup miskin,” tulis sang murid. “Ia tak punya uang dan pakaiannya —seperti umumnya para ahli fikih— cuma jubah sederhana, … sorban seharga 30 dirham, dan sepatu murahan.”

Bila ia kebetulan punya uang, ia tidak segan untuk berbagi kekayaan yang ia miliki dengan murid-murid dan para pengikutnya. Dalam kesan adz-Dzahabi, “Di dunia aku tak pernah bersua dengan seseorang yang lebih dermawan dan lebih tak peduli dengan kekayaan daripadanya.”

Kesederhanaan mungkin merupakan ciri utama kehidupan Ibn Taimiyyah. “Ia tak peduli pada formalitas,” adz-Dzahabi melanjutkan ceritanya. “Ia tak pernah menunduk hormat kepada siapapun. Ia mencukupkan diri dengan mengucapkan salam, bersalaman, dan tersenyum.”

Sayangnya, keluh sang murid, Ibn Taimiyyah bukanlah seorang yang pandai bergaul. Ia mudah bereaksi tanpa perhitungan atas pendapat apapun yang tidak ia setujui. “Ia bisa menghormati seseorang di suatu kesempatan, tapi menyakitinya di kesempatan lain.”

Ini mungkin yang membuat Ibn Taimiyyah sering menghadapi kesulitan serta pengadilan demi pengadilan di sepanjang hayatnya. Ia tak bisa menahan diri untuk menyerang dan berpolemik dengan para ulama yang pendapatnya tak ia setujui.

Di akhir hayatnya, ia sampai-sampai diberi ultimatum oleh sultan untuk tidak mengeluarkan fatwa yang berlawanan dan pendapat para ulama mazhab.

Ia patuh terhadap titah sultan, tapi cuma selama beberapa bulan. Setelah itu, ia tetap menulis dan berpolemik dengan para ulama di masanya hingga pemerintah Mamluk mengurungnya di benteng kota Damaskus. Tapi bahkan di benteng, ia tetap menulis dan mengeluarkan fatwa untuk para pengikutnya.

Gerah dengan tulisan-tulisan Ibn Taimiyyah, pemerintah merampas kertas dan alat tulis yang ia gunakan. Tanpa alat tulis di tangan, ia tetap menulis dengan bahan-bahan ala kadarnya: kertas bekas dan arang. Ketika kertas dan arang ini dirampas, Syaikhul Islam itu menghabiskan sisa-sisa hidupnya dengan membaca Quran dan shalat.

Selamat Hari Buku! (*)

Muhammad Ma‘mun, Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.

Terkait

Uswah Lainnya

SantriNews Network