In Memoriam Kiai Ahmad Muzammil, Pengasuh Pesantren Rohmatul Umam Yogyakarta
Tubuhnya tak terlalu tinggi bahkan cenderung pendek. Tapi gempal. Kemana-mana pakai sarung. Ketika bicara, logat dan dialek Bangkalan-nya tak bisa ditutupi, sangat kental dan terasa. Sebagaimana kecenderungan kiai Pantura dan Tapal Kuda yang humoris dan penuh kelakar, ia pun sama, setali tiga uang.
Dialah Kiai Ahmad Muzammil. Lahir di Bangkalan Madura, mondok di Pesantren Sukorejo Situbondo, mendirikan Pesantren Rohmatul Umam di Bantul Yogyakarta dan wafat di sana.
Saya mengenalnya sudah cukup lama, sejak sama-sama mondok di Pesantren Sukorejo Situbondo pertengahan tahun 80-an. Ia mondok tahun 1984 dan saya mondok tahun 1987. Ia mulai dari kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah dan saya langsung kelas 1 Madrasah Diniyah Wustho setingkat dengan Madrasah Tsanawiyah.
Saya dan Kiai Muzammil juga sama-sama sekolah rangkap. Bukan hanya belajar di “Madrasah” tapi juga belajar di “Sekolah”. Kami sama-sama belajar di Madrasah Diniyah Wustho dan SMA. Bedanya, di SMA saya jurusan A1 (Fisika-Kimia), dan Kiai Muzammil di jurusan A3 (IPS). Di madrasah, kami memakai sarung dan di sekolah memakai celana panjang.
Ketika saya baru datang di Pesantren Sukorejo, Kiai Muzammil sudah masyhur dengan kealimannya. Ia membintangi lomba baca kitab kuning, mulai dari kitab-kitab kecil seperti syarah Jurumiyah hingga Kifayatul Akhyar.
Namun, saya tak pernah beradu dalam lomba baca kitab kuning di panggung dengan beliau. Ketika saya aktif dalam lomba baca kitab kuning dan lomba hafalan Alfiyah, beliau sudah tidak aktif, “pensiun dini”.
Ia tak sempat menyelesaikan Madrasah Aliyah-nya karena keburu masuk Ma’had Aly Sukorejo Situbondo yang baru saja didirikan oleh Almukarram KH As’ad Syamsul Arifin (Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Asembagus Situbondo saat itu).
Di Ma’had Aly inilah, Kiai Muzammil mendapatkan tempaan dan gemblengan dahsyat dari para genius raksasa seperti KH Abdul Wahid Zaini, KH Hasan Abdul Wafi, KH Yusuf Muhammad, KH Afifuddin Muhajir dan lain-lain.
Lulus Ma’had Aly Sukorejo Situbondo, beliau merantau ke Yogyakarta. Sempat menyelesaikan pendidikan S1-nya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sambil terus merintis pendirian Pesantren Rohmatul Umam di Bantul Yogyakarta, ia juga pernah aktif sebagai Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) PWNU DIY.
Ketika P3M menggelar sejumlah halaqah Islam Emansipatoris awal tahun 2000-an, beliau adalah salah satu peserta aktif. Di forum itulah, saya kembali berjumpa beliau dan terlibat dalam serangkaian diskusi mendalam tapi penuh kelakar seperti pembawaan Kiai Muzammil sejak di pesantren.
Dalam Munas Alim Ulama NU tahun 2017 di NTB, Kiai Muzammil datang ke sana. Saya ajak masuk forum bahtsul masail, beliau enggan. Rupanya ia sedang “berburu” para wali “mastur”, wali yang tak kasat mata, di tanah Lombok. Ia dengan suka cita menceritakan perjumpaannya dengan sang wali termasuk kisah-kisah supra-rasionalnya.
Pengalaman mendirikan pesantren membuat Kiai Muzammil tak mengandalkan penyelesaian suatu masalah melalui jalan rasional saja melainkan juga jalan supra-rasional.
Untuk tujuan itu, ia misalnya istiqomah membaca hizib dan salah satu hizib yang mulazamah diamalkan Kiai Muzammil adalah Hizbun Nawawi, rangkaian doa yang dianggit Syaikh Abi Zakaria Yahya ibn Syarafuddin al-Nawawi, seorang faqih-muhaddits bermadzhab Syafi’i, pengarang kitab Syarah al-Muhadzdzab.
Kiai Muzammil juga rajin mengunjungi para wali Allah baik yang masih hidup melalui sowan langsung maupun yang sudah wafat melalui tawassul bacaan fatihah, tahlil dan doa.
Suatu waktu Kiai Muzammil berkisah, ketika sudah mentok-buntu, tak menemukan jalan keluar dalam menyelesaikan sejumlah masalah, maka Sang Guru Mulia KH R As’ad Syamsul Arifin hadir dalam mimpinya, membantu memecahkan masalahnya. Kiai Muzammil beruntung punya guru seperti Kiai As’ad yang terus mendidik para santrinya bahkan secara barzakhi.
Kini, 27 Mei 2021, Kiai Ahmad Muzammil sudah pergi ila al-rafiq al-a’la, kembali ke kampung halaman yang sesungguhnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di sana ruhnya sudah berjumpa dengan ruh para guru dan kiainya.
Ya ayyatuha al nafsu al-muthma’innah irji’i ila rabbiki radhiyatan mardhiyah. Selamat jalan, Sahabatku, Kiai Ahmad Muzammil. (*)
Jum’at, 28 Mei 2021
Salam,