In Memoriam Dr KH Abd Djalal, Kiai Pejuang dan Ikon Ma’had Aly

Dr KH Abd Jalal (kanan) bersama Prof Nadirsyah Hosen pada acara Muktamar Pemikiran Santri di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Jakarta (santrinews.com/istimewa)
Baru saja mendapat kabar duka, salah seorang guruku, Dr Kiai Abd Djalal wafat. Kiai Djalal yang oleh kawan-kawan santri Ma’had Aly Situbondo dipanggil Bapak Jalal adalah seorang pemikir sekaligus penggerak, khususnya dalam bidang fomalisasi Ma’had Aly di Indonesia.
Sebagaimana kita tahu, pendidikan tinggi khas pesantren tersebut kini mendapat rekognisi dari pemerintah dalam hal ini Kementeriaan Agama menjadi perguruan tinggi yang setara dengan perguruan tinggi negeri dan swasta lainnya. Salah satu sosok yang memperjuangkannya adalah Kiai Abdul Djalal. Maka tak heran, hingga beliau wafat, jabatan yang diembannya adalah Ketua Asosiasi Ma’had Aly Indonesia (Amaly).
Sebelum pandemi seperti sekarang, beliau bolak-balik Sukorejo-Jakarta hanya untuk memastikan bagaimana perjalanan Ma’had Aly tetap pada relnya. Beliau bertemu Menteri, bertemu Dirjen dan lain sebagainya untuk memastikan bahwa Ma’had Aly layak mendapatkan penyataraan.
Baca juga: Imam al-Ghazali, Kiai As’ad, dan Ma’had Aly
Tidak berhenti di situ, setelah menghadap banyak pejabat di Ibukota, ia harus balik lagi ke kultur, bertemu dengan pimpinan pesantren yang mendirikan Ma’had Aly untuk mendiskusikan bagaimana basik dan rancang bangun keilmuan Ma’had Aly. Dalam konteks ini, posisinya berada di tengah sebagai jembatan antara pemangku kebijakan (pemerintah) dengan para pengasuh pesantren.
Hampir tiap ada acara Ma’had Aly baik yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama atau bukan, dimana dan kapan saja, di situ pasti ada Kiai Jalal. Ia memang seperti ikon Ma’had Aly. Dalam sebuah kesempatan, Ketua RMI PBNU Gus Rozin pernah menyebut beliau sebagai mentor dalam urusan Ma’had Aly.
Jangan ditanya; berapa gaji beliau sebagai ketua Amaly, tetapi berapa beliau keluar anggaran untuk perjalanan sebagai ketua Amaly. Karena saya tahu sendiri beliau sering bayar tiket perjalanan sendiri. Karena jabatan ketua Amaly itu bukan jabatan pekerjaan melainkan jabatan pengabdian alias tidak ada gajinya.
Akhir 2019, tepatnya ketika saya mengikuti agenda Muktamar Pemikiran Santri di Jakarta, bukti tiket pesawat saya raib entah kemana? hingga uang transport saya terancam ditangguhkan. Saya ingat betul seorang panitia seperti marah kepada saya. Ketika dia marah-marah, tiba-tiba Pak Jalal memegang pundak saya dari belakang sembari berkata, “sejak kapan Husain nyampek?”
Melihat keakraban saya dengan pak Jalal, panitia yang memarahi saya seperti malu seketika. Malu karena sedari tadi dia memarahi saya. Selang beberapa lama, panitia itu bertanya pada saya dengan amat sopan, “sampean santrinya kiai Jalal, ya mas?.” Saya jawab pendek dengan nada penuh kemenangan, “betul, beliau guru saya.”
Kiai Jalal memang sejak dulu bersinggungan dengan Ma’had Aly. Ia tercatat sebagai salah satu santri Ma’had Aly Situbonso angkatan pertama, yaitu ketika lembaga yang ada di Pesantren Sukorejo-Asembagus itu pertama kali didirikan. Selepas lulus, ia masih tetap berkhidmat sebagai tenaga pengajar di sana. Beliau juga tercatat sebagai salah satu pengurus di Ma’had aly pertama di Indonesia itu.
Di Ma’had Aly Situbondo beliau mengajar ilmu kalam dan filsafat, dua bidang yang ia tekuni sejak dulu. Bahkan program doktor yang ia tempuh di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta adalah jurusan Akidah & Filsafat. Disertasinya tentang konsep Maslahah Izzudin Ibn Abdussalam, yang sekitar dua bulan yang lalu dibedah secara daring bersama Kiai Afifuddin Muhajir, Prof Nadirsyah Hosen dan Kiai Arwani Syaerozi.
Baca juga: Karomah Kiai As‘ad Syamsul Arifin & Kisah Seorang Pemuda yang Hendak Menikah
Saya punya kedekatan khusus dengan beliau. Di samping hubungan guru dan murid di bangku akademik, saya juga punya hubungan lain yaitu beliau sebagai pembimbing saya dalam lomba karya tulis ilmiah. Selama ditakdirkan ikut lomba makalah ilmiah al-Qur’an —salah satu cabang lomba MTQ— beliau yang ditunjuk sebagai pembimbing. Dan beliau pula yang merekom saya kepada Pemerintah Kabupaten Situbondo untuk menjadi peserta lomba.
Sebelum lomba, saya biasanya bimbingan kepada beliau. Baik bimbingan resmi seperti di hotel pantai pasir putih atau bimbingan tidak resmi di kediaman beliau. Selama masa bimbingan itu, saya mendapati beliau bukan hanya sebagai seorang dosen melainkan beliau sebagai bapak. Beliau tidak hanya memberi kritik terhadap tulisan-tulisan saya, tetapi beliau juga memberi kisah-kisah motivasi dan lain sebagainya.
Selama bimbingan itu pula saya paham horison pengetahuan beliau amat luas. Tidak hanya berdialektika dengan pengetahuan-pengetahuan dan teks-teks zaman dulu yang amat dikuasainya itu, saya juga kadang mendapat diskurus baru. Saya tahu post truth era, digitalisasi agama, dekonstruksi agama, sosiologi agama dan lain sebagainya dari beliau.
Terakhir kali berkomunikasi dengan beliau ihwal kemungkinan kerjasama antara AMALY Indonesia dengan Alif.id. Walau hanya lewat WA, beliau begitu antusias mendengarkan saya yang bukan siapa-siapa ini. Itu menunjukkan bahwa beliau benar-benar penggerak Ma’had Aly di Indonesia.
Maka, kepergian beliau adalah berita kehilangan bukan hanya bagi keluarga besar Ma’had Aly Situbondo, melainkan juga bagi keluarga besar Ma’had Aly seluruh Indonesia.
Akhirnya, selamat jalan guruku yang sabar, Dr KH Abd Djalal, MAg. Aku melepasmu dengan penuh takzim sembari mengingat-ngingat jangan-jangan pernah ada buku panjenengan yang aku pinjam dan belum dikembalikan. Lahu al-Fatihah. (*)
Ahmad Husain Fahasbu, Alumnus Ma’had Aly Situbondo. Kini jadi dosen muda di Ma’had Aly Paiton, Probolinggo.