Mengenang KH Abd Djalal: Doktor 509, Filosofi Plat Nomor Mobil Kiai As’ad

DR KH Abd Jalal (kiri) dalam suatau acara (santrinews.com/istimewa)
Kemarin malam, tepatnya malam Jum’at legi, 1 Oktober 2020 sekitar pukul 21.35 WIB, saya benar-benar kaget mendapatkan info lewat WA, yang justru dari seorang sahabat bernama Aguk Irawan, seorang novelis ternama dunia akhirat bahwa DR KH Abd Jalal telah wafat, baru saja sekitar pukul 20.30 WIB.
Sekitar pukul 21.00 WIB, saya menyampaikan pengajian kepada jama’ah tahlilan rutin malam Jum’atan di Bangunjiwo Kasihan Bantul bahwa salah satu keutamaan malam Jum’at adalah orang yang meninggal di malam atau siangnya, tidak akan mengalami siksa kubur. Tepat selesai ceramah, dapat WA dari Aguk Irawan. Rupanya dia ini agak kasyaf.
Meskipun saya bukan istri (tentu saja bukan), anak dan saudara dari almarhum KH Jalal, tapi berita ini menyisakan duka yang sangat dalam. Saya bersahabat dengan beliau sejak ditakdirkan satu kelas mulai kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah sampai Madrasah Aliyah di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Asembagus Situbondo Jawa Timur.
Tahun 1984, saya masuk Pondok Pesantren Sukorejo yang diasuh oleh Allah yarham al Arif Billah Hadlaratus Syech KHR As’ad Syamsul Arifin yang sewaktu mondok di Syaikhona Kholil Bangkalan mendapatkan amanah mengantarkan tongkat dan tasbih kepada Hadlaratuss Syech KH Hasyim Asy’ari.
Saya langsung masuk kelas 4 MI. Setengah tahun berikutnya, saya dinaikkan ke kelas 5. Dan di kelas 5 inilah saya jadi satu kelas dengan almarhum.
Saya sangat suka bisa berteman dengan almarhum, bukan hanya karena dia dikenal pintar ilmu nahwu-sharaf, matematika dan IPA, tapi karena penampilannya yang seperti bule, berambut pirang dan berkulit putih kemerah-merahan sehingga berteman dengannya seperti berteman dengan tourist. Kebetulan dia berasal dari Demak, maka setiap ada tamu keluarga dari Madura, saya katakan bahwa teman saya ini berasal dari Denmark, plesetan kata Demak.
Kelas 1 MTs, saya dan almarhum, sama-sama mendapatkan akselerasi, dinaikkan ke kelas 2 MTs di pertengahan semester. Sehingga saya dan dia, sama-sama menamatkan MTs dalam waktu 2 tahun saja.
Baca juga: In Memoriam KH Muzakki Ridwan, Kiai Tersembunyi dari Sukorejo
Di Pesantren Sukorejo, setiap santri wajib mengikuti kelas madrasah yang ketentuan kelasnya berdasarkan tes kemampuan. Sedangkan untuk sekolah formal mulai SD sampai perguruan tinggi bisa berjalan linear. Sehingga bisa terjadi anak yang sekolah formalnya sudah SMA, tapi masih tingkat Ibtidaiyah di Madrasah, seperti Prof KH Ahmad Imam Mawardi yang saat ini dosen di UINSA Surabaya.
Di sekolah formal, almarhum kakak kelas saya karena dia sekelas dengan Prof Imam Mawardi dan DR Abd Moqsith Ghazali. Tapi selalu bersama menjadi satu team ketika mewakili sekolah mengikuti cerdas cermat P4 kala itu. Saya dan almarhum, sama-sama hafal Pancasila dan butir-butirnya.
Selepas Aliyah, saya katakan selepas karena aslinya saya tidak lulus Aliyah. Saat itu, saya baru kelas 2 Aliyah, tapi karena PBNU kala itu, melalui RMI mendirikan Ma’had Aly pertama yang diletakkan di Sukorejo Asembagus, dan sangat menarik minat saya, maka saya “memaksa” salah seorang pimpinan Ma’had Aly untuk menerima diri saya sebagai salah seorang santri didalamnya meskipun tidak memenuhi syarat jenjang formal.
Saya lulus tes kemampuan baca kitab fathul mu’in dan syarahnya di hadapan para masyayikh. Nah di Ma’had Aly ini, saya bukan saja satu kelas, tapi satu kamar dengan almarhum. Tidur dan makan bersama bersama dua teman lainnya.
Almarhum merupakan sosok kutu buku dan kitab kuning. Setiap masuk kelas selalu bawa kitab dan buku yang banyak dan tak lupa bawa kamus Arab dan Inggris. Berbeda dengan saya, yang hanya suka menggodanya dengan menyembunyikan kaca mata tebalnya.
Selulus Ma’had Aly, saya berkelana ke Kota budaya, Daerah Istimewa Yogyakarta. Almarhum tetap mengabdikan ilmunya di pondok. Tanpa diduga, beliau dapat kehormatan belajar S2 dan S3 dari Allah Yarham KHR Achmad Fawa’id, putra Kiai As’ad. Dan memilih di IAIN Sunan Kalijaga Jogjayakarta.
Sementara Abd Moqsith Ghazali dan Bapak Wawan Juandi memilih di UIN Jakarta. Maka, ketemu lagi dengan saya. Meskipun saya tinggal di kampung.
S2 berjalan lancar. Sedangkan S3 berjalan agak lambat karena beliau sudah berkeluarga dan punya anak. Saya lupa berapa lama, beliau menyelesaikan S3-nya. Yang jelas saat itu sudah kembali ke pesantren Sukorejo dan menjadi Dosen tetap di UINSA Surabaya.
Baca juga: Imam al-Ghazali, Kiai As’ad, dan Ma’had Aly
Pada saat ujian terbuka Disertasinya saya ikut hadir. Dan yang membuat saya kaget, team penguji menyampaikan bahwa beliau ini Doktor ke 509 dari UIN SUKA Jogja. Saya langsung teringat guru kami, KHR As’ad Syamsul Arifin.
Selesai acara, saya sampaikan, “Lal, rupanya kamu lama menyelesaikan Disertasinya karena menunggu momentum 509. Kamu memang santrinya Kiai As’ad. Plat nomor mobil Kiai, angkanya 509 sebagai lambang hubungan Pancasila dan NU. NU dan Pancasila tak ada masalah. Angka 5 itu Pancasila dan 9 itu NU. Antara 5 dan 9 tidak ada masalah, maka dikasih angka 0.”
Selamat jalan sahabatku, namamu harum mewangi. Semua sahabatmu menjadi saksi kebaikanmu. Tadi malam, acara Yasin dan Tahlil oleh pimpinan Ma’had Aly se Indonesia, semua menyaksikan kebaikan dan perjuanganmu. Selamat berjumpa dengan guru kita, al-Quthb KHR As’ad Syamsul Arifin, juga Rasulullah SAW kekasih kita semua. (*)
Pagi hari Jogja, Sabtu, 3 Oktober 2020
Kiai Ahmad Muzammil, Pengasuh Pesantren Rahmatul Umam, Bantul, Jogjakarta. Alumnus Ma’had Aly Situbondo angkatan pertama.