Mengenang Kiai Idris Marzuqi: 5 Tahun Simpan Uang Dolar hingga Tidur Sekamar

Kenangan penulis (kanan) bersama KH Ahmad Idris Marzuqi (dua dari kiri) di Great Wall China pada 2002 (santrinews.com/istimewa)
Menjelang haul guru mulia Almarhum KH Ahmad Idris Marzuki Lirboyo Kediri yang wafat pada 10 Sya’ban 1435 Hijriah, saya ingin menuliskan sebagian kenangan indah hidup saya bersama almarhum sejak pertama bertemu beliau ketika di awal mondok di Pesantren Lirboyo pada 1986 dan berkhidmat melayani beliau hingga akhir hayatnya.
Bermula dari ketika saya usai menamatkan pendidikan di MTs Annur Bululawang Malang, ayah saya memutuskan agar saya melanjutkan mondok di Pesantren Diniyah Salafiyah saja meskipun sesungguhnya saya ingin mondok dan sekolah formal di Pondok Pesantren Almunawwir Krapyak Jogjakarta. Ayah saya memberikan pilihan hanya tiga pesantren: Lirboyo, Ploso dan Sidogiri Pasuruan.
Takdir ternyata menuntun saya memilih mondok di Lirboyo sesuai istikharah ibunda saya, hingga kemudian diputuskan untuk berangkat mondok ke Lirboyo Kediri dengan diantar oleh almarhum ayah dan kakek saya sowan kepada KH Ahmad Idris Marzuki, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo saat itu dan para pengasuh lainnya.
Pertama kali bertemu Kiai Idris di Ndalem sepuh, saya melihat sosok beliau sebagai kiai yang ramah, sederhana, khusu’ dan tawadlu, beliau menggunakan bahasa Jawa halus dan sangat menghormati tamu. Ciri khas sederhana itulah penampakan Pesantren Lirboyo yang pertama saya lihat. Sungguh diluar ekspektasi saya; ketika harus mandi menimba sendiri di sumur senggot, selalu memakai sarung, tidak pernah pakai celana atau bersepatu. Sekolah pun duduk di lantai tanpa meja dan bangku.
Ayah saya sangat memegang tradisi menghormati kiai, ketika saat kembali ke pondok di awal tahun ajaran baru beliau selalu menyempatkan diri untuk mengantar saya kembali ke pondok pesantren dan sowan kepada kiai. Pernah suatu ketika beliau sakit dan saya mohon ijin untuk kembali ke pondok pesantren sendiri tapi dilarang oleh beliau dan berkata: jangan nak, kamu harus saya antar sendiri sowan kepada kiai, saya pasrahkan agar didoakan oleh kiai.
Karena itulah hubungan keluarga saya menjadi sangat dekat dengan kiai, hingga kemudian saya bertakdir dijodohkan dengan salah satu keponakan kiai, dan adik kandung saya juga menjadi salah satu menantu keponakan kiai.
Hubungan yang lebih dekat lagi ketika Muktamar NU di Lirboyo tahun 1999. Ketika itu saya berhasil membawa 15 unit mobil sedan baru untuk membantu akomodasi muktamar yang dipinjamkan oleh sebuah perusahaan otomotif kenalan saya dari Jakarta, dan kemudian Muktamar memilih KHA Hasyim Muzadi sebagai Ketua Umum PBNU.
Kebetulan Kiai Hasyim Muzadi adalah santri kesayangan alm kakek saya KH Anwar Nur pendiri Pondok Pesantren Annur Bululawang Malang. Ini membuat saya sering diperintah menjadi penghubung antara beliau selaku ketua umum PBNU dengan guru saya alm KH Ahmad Idris Marzuki dan para kiai sepuh pengasuh pesantren salaf lainnya.
Dulu, setelah tamat dari Pesantren Gontor, Kiai Hasyim Muzadi dititipkan oleh kakak kandungnya, KHA Muchith Muzadi kepada KH Anwar Nur di Bululawang. Mbah Kiai Muchit Muzadi pernah guyonan dawuh kepada saya; dulu kalau Hasyim ngga aku titipkan kakekmu mungkin sudah menjadi Muhammadiyah.
Guru dan Orangtua
Alhamdulillah, sejak setelah muktamar itu saya sering diutus menyertai berbagai perjalanan Kiai Idris Marzuki, baik di dalam maupun luar negeri. Saat Alm Kiai Idris menjadi Rois Syuriah PBNU, Wakil Ketua Dewan Syuro DPP PKB dan terakhir sebagai Mustasyar PBNU, saya dengan senang hati sering menjadi khadim perjalanan beliau.
Seringkali kami tinggal menginap sekamar bersama beliau berhari-hari bahkan kadang beberapa minggu, dalam perjalanan rutin tugas beliau di Jakarta dan juga di berbagai kota dan negara lain diantaranya Malaysia, Singapura, Thailand, china, Hongkong, Mesir, Saudi Arabia, Yaman, Maroko, Dubai, Jordania dan Palestina.
Saya sungguh bersyukur telah diberi kesempatan belajar langsung kepada beliau dalam praktek kehidupan sehari hari, dimana saya dapat melihat, mendengar dan berdiskusi bersama beliau dalam berbagai hal. Saya sering didawuhi beliau tentang beberapa hal bahkan yang bersifat pribadi sekalipun. Beliau terasa begitu dekat, saya merasakan bahkan lebih dekat dari ayah kandung saya sendiri.
Beliau adalah kiai yang alim dan zuhud, tidak sibuk mempersoalkan urusan duniawi. Saya yang selalu membawakan tas beliau pergi kemana mana, ketika ada sowanan langsung dimasukkan begitu saja, dan tidak pernah beliau hitung uang yang ada di dalamnya sama sekali.
Bahkan pernah beliau diberi amplop berisi uang pecahan dolar AS dalam jumlah sangat besar, beliau taruh begitu saja di almari dan beliau lupa tidak dibuka sampai lima tahun, hingga suatu saat beliau telpon saya ketika membuka amplop itu dan bermaksud mentasharrufkannya sambil tertawa.
Saya sangat mengagumi almarhum, sebagai guru dan orang tua yang bijak, sabar dan welas asih, sosok yang sangat sederhana dan bersahaja, tulus ikhlas dan tanpa pamrih dalam keseharian, mempunyai selera humor yang bagus, memberi nasehat dengan halus, tidak pernah berucap kasar bahkan selalu berbahasa jawa halus kepada santrinya seperti saya.
Saya belajar tentang disiplin istiqomahnya dalam keseharian, melihat berbagai lelaku wirid dan amalan sunnah yang beliau lakukan, saya terkagum dengan keberanian beliau menyatakan pendapat secara ikhlas, berdiri tegak melawan arus dalam kebenaran, saya mengagumi keteguhan hati beliau memegang prinsip, kesabaran menghadapi gangguan dan rintangan, selalu tabah dan tenang memecahkan permasalahan serta murah hati dalam kebaikan.
Beliau adalah pribadi yang sangat tawadlu dan tidak suka pujian, suka bermusyawarah dan tidak memaksakan kehendak, gemar bersilaturahmi dan sangat memperhatikan hubungan kekerabatan, berjiwa pemaaf dan lebih suka mengalah terutama pada sanak saudara, menghormati habaib dan ulama baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal.
Sungguh saya sangat merasa berhutang budi kepada almarhum, atas jasa beliaulah saya mendapatkan banyak sekali kebaikan dan keberkahan dalam hidup. Beliau adalah orang tua dan guru panutan sempurna bagi hidup saya selamanya, saya sungguh mencintai beliau, semoga kelak saya disatukan dengan beliau di Sorga-Nya. Amien. (*)
Dr KH Ahmad Fahrur Rozi, Khadim Pondok Pesantren Annur 1 Bululawang Malang.