Mengenang KH Anwar Nur: Kiai Zuhud yang Rajin Ziarah

Rabu 28 Oktober 2020, di halaman Pesantren Annur 3 Murah Banyu Bululawang Malang dilaksanakan haul terbatas bersama ribuan santri untuk berdoa bersama dan mengenang jasa besar almarhum almaghfurlah KHR Anwar Nur, pendiri dan pengasuh pertama pondok pesantren Annur yang wafat pada 30 tahun lalu bertepatan hari maulid Nabi Muhammad SAW.

Alhamdulillah, saya ditakdirkan menjadi cucu lelaki pertama beliau yang lahir dan dibesarkan di bawah tarbiyah langsung beliau, karena saat saya lahir, kedua orang tua belum mempunyai rumah sendiri dan masih tinggal bersama di rumah almarhum Mbah Kiai Anwar, di sebuah kampung santri yang dikenal dengan sebutan kampung haji desa Bululawang Kabupaten Malang.

Kampung haji adalah sebutan untuk jalan Diponegoro IV yang sejak dahulu dihuni oleh penduduk sanak saudara saya keturunan bani Singo Yudho, pembabat alas dan lurah desa Bululawang. Singo Yudho adalah julukan beliau yang bernama asli Abdurrahman dan konon merupakan bagian dari prajurit Pangeran Diponegoro yang hijrah ke arah timur.

Mbah Kiai Anwar beristri nyai Hj Marwiyah binti haji Hasan bin H Abdurrasyid dengan ibu Hj Aminah binti H Murtadho bin Mbah Singo Yudho. Pasangan pendiri pesantren Annur ini menempati rumah kuno arstistik bergaya Belanda bertuliskan tahun 1922 yang diberikan oleh mertua beliau di kampung haji. Rumah itu sampai sekarang masih terawat dengan baik di Pesantren Annur 1 sebagai rumah induk atau ndalem kasepuhan.

Dalam Asuhan Kiai Anwar
Masa kecil saya begitu dekat dengan almarhum Mbah Kiai Anwar. Setiap waktu shalat saya dituntun beliau pergi ke musholla, mendengar beliau mengajar mengaji di ruang depan dan menemani beliau pergi ke kebun di arah timur pondok setiap pagi usai beliau shalat Dhuha. Sungguh menjadi kenangan masa kecil yang menyenangkan dan berharga.

Sepanjang hayat beliau, saya tidak pernah melihat beliau marah. Beliau sosok yang sangat sabar dan pendiam. Kesibukan sehari hari beliau diisi dengan membaca Al-Qur’an. Ada satu kitab suci Al-Quran kecil yang selalu dipegangi beliau di setiap waktu pagi siang malam. Mbah Anwar hanya berbicara seperlunya, tidak banyak dawuh bahkan tidak pernah sekalipun saya melihat beliau berpidato di podium atau berkhotbah di masjid.

Saat kecil saya sering diberi uang oleh Mbah Kiai Anwar. Biasanya ketika beliau telah khatam Al-Qur’an setiap dua hari sekali. Saking seringnya saya dikasih uang oleh beliau, suatu sore ketika saya turun dari musholla mengajar santri mengaji, saya melihat Mbah Nyai Marwiyah Anwar duduk di teras ndalem kasepuhan sendirian, saya mendekat dan sungkem beliau, ternyata beliau sedang menangis, saya pun bertanya kenapa menangis Mak? (sejak kecil saya memanggil beliau Mak).

Beliau menjawab: “Aku teringat almarhum kakekmu. Dulu kamu sering diberi uang. Ketika saya tanya kenapa kok Fahrur sering diberi uang, Bah? Kakekmu menjawab: mbesok anak ini yang akan mengajar mengaji.”

Gemar Silaturrahim
Mbah Kiai Anwar sangat gemar silaturahim. Saat kecil saya sering diajak pergi kemana-mana menemani perjalanan beliau jika pergi keluar kota. Beberapa kali diajak sowan Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Mahrus Ali Lirboyo, Kiai Bisri Syansuri Denanyar, Kiai Adlan Ali Cukir, Kiai Ahmad Jufri Besuk Pasuruan dan beberapa kiai di daerah Pasuruan dan Probolinggo yang menjadi teman beliau semasa mondok di Pesantren Sidogiri dan Panji Siwalan Sidoarjo.

Saya senang, ketika ziarah para kiai sepuh tersebut selalu dimintakan doa untuk cucu lelaki pertama ini. Saya ingat betul ketika sowan Mbah Kiai Bisri Syansuri Denanyar. Saat itu beliau sedang sakit beberapa hari sebelum wafatnya. Kita ditemui di dalam kamar sambil berbaring. Saya ditanyakan oleh Mbah Bisri: “Siapa ini, Kiai?” Dijawab Mbah Kiai Anwar: “Cucu saya, kiai. Mohon didoakan.” Kemudian beliaupun berdoa dari pembaringan.

Suatu hari, saya diajak sowan Mbah Kiai Hamid Pasuruan. Setahu saya Mbah Kiai Anwar memang sangat akrab dengan beliau. Jika sowan pasti ditemui meskipun pada saat beliau sedang tidak kerso menerima banyak tamu. Pernah kita ditemui khusus melalui pintu kecil di samping timur ndalem beliau.

Saya ingat sehari sebelum itu saya “purik” (marah) kepada ibu dan menumpahkan kacang dari blek (kaleng). Nah, alangkah kagetnya ketika bertemu Kiai Hamid dielus-elus kepala saya, sambil dawuh dalam bahasa Jawa: “Sing manut kalian ibu…”

Pernah pula suatu hari saya diajak Mbah Kiai Anwar sowan ke Mbah Hamid Pasuruan, bertepatan ada acara pengajian di ndalem beliau. Tamu yang datang sangat banyak hingga meluber di halaman dan jalanan sehingga kami duduk di luar.

Entah kenapa tiba-tiba datang khodam Mbah Kiai Hamid ke hadapan Mbah Kiai Anwar untuk menjemput dipersilahkan maju kedepan di ndalem Mbah Kiai Hamid. Ternyata Mbah Kiai Hamid mengetahui kedatangan Mbah Kiai Anwar meski beliau duduk bersama masyarakat di tepi jalan sehingga saya ikuti berjalan melangkah “miyak-miyak” (membuka jalan yang penuh manusia) hingga sampai ke ndalem dan duduk di dekat Mbah Kiai Hamid.

Pernah juga suatu ketika diajak sowan Kiai Mahrus Ali di Lirboyo. Beliau berdua terlibat diskusi fikih yang serius sehingga Mbah Kiai Mahrus menggelar beberapa kitab tebal dan kemudian serius membaca bergantian hingga menemukan titik temu pembahasan. Sayang saat itu saya masih kecil dan belum bisa menangkap apa yang sedang dibahas.

Senang Berziarah
Mbah Kkai Anwar juga rutin ziarah ke makam Sunan Ampel dan selalu mampir makam Mbah Shonhaji atau Mbah Bolong di dekatnya, dan juga ziarah ke Sunan Giri, disamping rutin ziarah makam leluhur beliau di desa Sumber Taman dan Kebonsari Probolinggo serta makam Batuampar Pamekasan Madura. Tak lupa juga makam keluarga mertuanya di Bululawang dan Ganjaran Gondanglegi.

Beliau juga rajin menjenguk orang sakit dan selalu bertakziah jika ada kabar orang meninggal, apalagi jika masih kerabat meskipun jauh. Dua tahun sebelum wafat beliau menyempatkan diri untuk berkeliling silaturahmi ke sebagian besar kerabatnya di Probolinggo, Jember hingga Banyuwangi dalam perjalanan beberapa hari. Meskipun sejenak hampir semuanya pernah dikunjungi oleh Mbah Kiai Anwar.

Diantara murid yang dekat dengan Mbah Kiai Anwar adalah alm KH Ahmad Hasyim Muzadi. Awalnya KH A Muchit Muzadi yang menyuruh Kiai Hasyim Muzadi pergi ngaji ke Bululawang selepas mondok di Gontor, menyusul Kiai Muchit Muzadi yang telah bertugas menjadi kepala SMP NU Bululawang. Kiai Hasyim Muzadi memulai pengalaman kepemimpinan NU dari ranting Ansor desa Bululawang hingga kemudian kita semua mengenal beliau sukses memimpin PBNU dua periode.

Pak Hasyim lah yang memulai mengajar drumband kepada pemuda Ansor di desa Bululawang. Almarhum Kiai Muchit Muzadi pernah guyonan dawuh kepada saya: “Dulu kalau Hasyim nggak saya suruh mengaji ke kakekmu mungkin sudah menjadi Muhammadiyah.” Begitu erat kemudian hubungan Kiai Hasyim Muzadi dengan Mbah Kiai Anwar, hingga beliau menyempatkan diri bersama istrinya untuk ziarah sowan ke makam Kiai Anwar beberapa hari sebelum beliau wafat.

Pribadi Zuhud nan Ramah
Saya melihat Mbah Kiai Anwar sangat sederhana dalam keseharian baik pakaian ataupun makanan, semua bajunya berwarna polos putih, hijau atau hitam dan tidak satupun mempunyai baju batik. Bahkan shalat pun beliau hanya beralaskan kain sorban putih.

Pernah suatu saat saya shalat berjamaah di belakang beliau memakai sajadah biasa bergambar masjid, beliau dawuh: shalat kok menghadap gambar, saya pun malu dan membalikkan sajadah saya.

Beliau sering berpuasa dan memberikan makan malamnya kepada para santri di pondok. Seumur hidupnya beliau setahu saya tidak pernah duduk makan di warung dan restoran. Jika pergi keluar kota selalu membawa persiapan “bontot” (bekal) yakni nasi putih dibungkus daun pisang dikukus sangat matang sehingga mampu bertahan hingga dua hari.

Pernah suatu saat dalam perjalanan ziarah ke makam Batu Ampar Madura, kita kehabisan bontot di hari kedua. Saya dan alm Kiai Badruddin Anwar terpaksa beli makan di sebuah warung dan beliau tidak kerso. Bahkan turun dari mobil pun tidak.

Mbah Kiai Anwar sangat ramah dan rendah hati. Beliau selalu bersedia meluangkan waktu untuk sejenak menerima dan melayani para tamu yang datang dengan berbagai keperluan semisal minta doa, sakit, atau mohon nasehat lainnya.

Pernah suatu saat saya diajak oleh Kiai Hasyim Muzadi dalam sebuah perjalanan di Jakarta. Beliau mengeluarkan sebuah amplop coklat yang berisi setumpuk uang pecahan ratusan dolar Amerika, sambil berkata: “Fahrur, ini ilmunya kakekmu, Mbah Kiai Anwar. Beliau sangat dicintai umat karena ramah melayani masyarakat sehingga tanpa diminta mereka selalu senang datang sowan di hari raya atau membantu di saat kiai ada keperluan membangun pesantren.

Almarhum Mbah Kiai Anwar juga istiqomah melakukan “mandi kumkum” yakni mandi berendam di dalam kolam tengah malam. Kemudian dilanjutkan bertahajud sampai subuh dan dzikir hingga shalat dhuha.

Pernah suatu saat saya sowan ke almarhum Kiai Prof Dr Tholchah Hasan, beliau berkata: “Gus, saya dahulu diberi ijazah kakek sampean, Mbah Kiai Anwar, agar tetap sehat dan panjang usia supaya “mandi Kumkum” di malam hari sebelum tahajjud, sambil membaca doa: “Allahummasyfi abdaka wa shoddiq rasulaka.” اللَّهُمَّ اشْفِ عَبْدَكَ وصَدِّقْ رَسُولَك

Saya pun menjadi teringat ketika menunggui Mbah Kiai Anwar dirawat di RSI Aisyah Malang, beliau terbangun di tengah malam dan minta diantar ke kamar mandi untuk mandi sambil dawuh bahwa beliau diberi ijazah gurunya di Pondok Panji Sidoarjo supaya mandi kumkum tengah malam agar awet sehat dan panjang usia. Jika memungkinkan kumkum di dalam sungai yang mengalir ke utara. Kalau tidak ada ya di dalam kolam air bersih.

Mungkin ini catatan kecil tulisan saya mengenang beliau di haul ke-30 ini, semoga kita semua, terutama para dzurriyah, bisa meneladani segala kebaikan dan perjuangan beliau. Amin. (*)

Dr KH Ahmad Fahrur Rozi, Cucu Mbah Kiai Anwar, Penerus Pesantren Annur 1 Bululawang Malang, Wakil Ketua PWNU Jawa Timur.

Terkait

Uswah Lainnya

SantriNews Network