KH Salwa Arifin, Bupati yang Zuhud dan Alim Kitab Kuning
KH Salwa Arifin
Akhir tahun 80-an, di Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi’iyyah, Sukorejo Asembagus Situbondo, ada dua ustadz yang dikenal alim dan zahid; Kiai Afifufuddin Muhajir dan Kiai Salwa Arifin. Dua orang yang namanya sudah saya kenal jauh sebelum saya mondok ke Sukorejo.
Iya. Karena dua nama itu sering disebut ayah saya. Kebetulan ayah saya pernah mengajar dua beliau itu ketika ayah masih “mengabdi” di Pesantren Sukorejo. “Nanti kalau mondok di Sukorejo, tiru dua orang itu; ilmunya dan akhlaknya,” demikian perintah ayah saya.
Alhamdulillah, saya senang pernah menjadi murid beliau; belajar banyak kitab kepada dua beliau. Khusus Kiai Salwa, saya belajar kitab seperti Ibnu Aqil (syarah Alfiyah), Kifayatul Akhyar, Minhajul Qawim, dan lain-lain.
Saya memang pernah mengaji Ibnu Aqil pada kakek saya, tapi Kiai Salwa telah membawa saya menjelajahi kitab-kitab syarah atau hasyiyah Alfiyah lain seperti Audhahul Masalik, Hasyiyah Ibnu Hamdun, dan Hasyiyah al-Khudhori.
Dalam kenangan saya, aktivitas pengajian di Pesantren Sukorejo pada akhir tahun 80-an mengalami gelombang pasang. Salah satunya, karena peran dua beliau itu. Bahkan, tak hanya mengajar dan memberi pengajian, Kiai Salwa dan Kiai Afif juga tampil sebagai perumus bahtsul masa’il yang tangguh.
Di forum-forum itulah saya banyak berjumpa dan berinteraksi denga dua beliau. Tapi, ini unik. Dengan Kiai Salwa, saya bukan hanya berjumpa di ruang kelas, tempat pengajian, dan forum bahtsul masail. Ada ruang pertemuan spesial lain dengan beliau, yaitu Asta Maqbarah Kuburan Kiai Syamsul Arifin yang akhirnya juga menjadi maqbarah Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Ini karena Kiai Salwa dan saya —seperti juga beberapa santri lain— adalah sama-sama aktivis Asta. Dalam sehari, saya bisa tiga kali berpapasan dan bertemu beliau di Asta, sebelum maghrib, pukul 11 malam, dan pukul empat menjelang subuh.
Melihat aktivitas Kiai Salwa di pondok yang hanya mengaji dan beribadah, saya sama sekali tak menyangka bahwa beliau akan menjadi pejabat negara, Bupati Bondowoso periode 2018-2023. Lahir dari seorang kiai dan pengasuh pesantren, saya hanya memperkirakan aktivitas Kiai Salwa pulang dari pesantren akan sama; mengaji, mengabdi, dan beribadah.
Namun, takdir tak ada yang tahu. Termyata di samping menjadi seorang kiai dan pengasuh pesantren, Kiai Salwa juga ditakdirkan menjadi seorang bupati setelah sebelumnya menjadi wakil bupati (2013-2018).
Sehat terus dan panjang umur, Kiai Salwa. Lama tak berjumpa. Ilmu panjenengan sangat bermanfaat buat saya terutama ketika mengajar dan mengaji. (*)
Ahad, 31 Mei 2020
H Abdul Moqsith Ghazali, Alumni Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi’iyyah, Sukorejo, Situbondo, kini Wakil Ketua LBM PBNU.