In Memoriam Cak Hamid: Banser yang Pekerja Serabutan Demi Koleksi Kitab Kuning

SurabayaInnalillahi wa inna ilahi rajiun. Abdul Hamid, aktivis Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dan pegiat Ansor telah berpulang ke haribaan Allah SWT.

Secara khusus, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Surabaya H Achmad Muhibbin Zuhri berkunjung ke Desa Patengteng, Modung, Bangkalan. Tujuannya adalah takziah ke almarhum Abdul Hamid.

Cak Muhibbin – panggilan Achmad Muhibbin Zuhri—punya kenangan tersendiri tentang sosok Cak Hamid — panggilan akrab almarhum—. Menurut Cak Muhibbin, Cak Hamid adalah pribadi yang memiliki banyak catatan positif.

“Sahabat yang satu ini memiliki banyak kesan dan pelajaran berharga dalam hidup saya. Mungkin banyak yang meremehkannya, tetapi bagi saya dia pribadi yang istimewa,” kata dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya tersebut, Jumat, 20 Desember 2019.

Cak Muhibbbin kemudian mengungkapkan bahwa ia mengenal almarhum dan kemudian aktif sebagai pengikut Banser di Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur pada awal tahun 2000-an.

“Himmah_ nya untuk NU dan GP Ansor luar biasa. Ia paling tidak tahan ketika mendengar atau melihat NU atau pemimpinnya disinggung orang,” ujarnya.

Dalam pandangannya, dari sisi ekonomi, Cak Hamid tidak beruntung, tetapi tidak mampu untuk berkhidmah.

“Saya belum pernah mendengar langsung ia masih menunggu. Saya beberapa kali menjumpainya berpuasa, bukan karena apa-apa, tetapi karena pagi sampai siang tidak ada yang ia makan. Tapi dia santai saja,” ungkapnya.

Dalam pandangannya, Cak Hamid jika punya uang, paling senang membeli buku Arab atau kitab kuning. Lebih penting dari yang lain.

“Dia suka sekali membaca, jadi koleksi bacaannya sangat banyak,” jelasnya.

Cak Hamid dulu adalah pekerja kasar dan serabutan, mulai menarik becak, kuli, tukang angkut barang sampai mengupas kelapa, sebelum akhirnya menjadi petugas kebersihan sapu jalan di Pemerintah Kota Surabaya.

Yang membuat Cak Muhibbin terkesima adalah suatu kompilasi almarhum mendapatkan upah borongan kerja kerasnya kelapa satu truk.

“Ternyata membayarnya dia menggunakan semua untuk membeli satu set buku yang diidamkan,” kenangnya. Terakhir, sebelum wafatnya pun juga begitu, lanjutnya.

Sebenarnya Cak Hamid dapat mengumpulkan uang yang diminta untuk ikut pergi bersama umat-sahabatnya di Jamiyah Shalawat Nariyah. Berharap itu pantas ditunda karena ketertarikannya memiliki kitab terbitan baru yang harganya jutaan rupiah.

Cak Hamid mungkin tidak perlu nganggep atau membawanya. “Tapi ia adalah pelajar beneran,” tegasnya.

Benar, dia adalah tukang sapu atau pekerja kasar, tetapi juga seorang sarjana. Meskipun pernah kuliah di dua fakultas.

“Saya adalah seorang doktor, tetapi mungkin adalah koleksi buku dan bacaan saya tidak sebanyak dia. Saat saya sedang menyelesaikan dissasi pada 2009, sebaliknya saya sering mengajak dia ngobrol ke sana kemari tentang topik desertasi saya,” ceritanya.

Pun demikian saat Cak Muhibbin kesulitan mencari yang salah satu buku Syeikh Ahmad Zaini Dahlan sebagai guru Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari di Makah yang langka saat itu, bebas mencari dari almarhum.

Saat bertemu di sebuah acara maulid, sepekan sebelum wafatnya, Abdul Hamid tidak memberikan tanda apa pun.

“Saya malah tertegun pada semangatnya untuk tetap istikamah pada aurad kami dan bekerja lebih keras untuk bisa berteman dengan teman-teman di tanah suci tahun depan,” pungkas Cak Muhibbin. (saif/red)

Terkait

Daerah Lainnya

SantriNews Network