Kiai Sahal dan Kiai Afif, Dua Pakar Ushul Fikih Kebanggaan NU

KH MA Sahal Mahfudh dan KH Afifuddin Muhajir (santrinews.com/istimewa)
Kiai Jamal Makmur Asmani, salah seorang santri senior KH MA Sahal Mahfudh –Rais Aam PBNU 1999-2014— yang menulis buku tentang pemikiran beliau mengirim pesan pendek kepada saya.
Dalam pesannya, ia berkata, “Salam takzim untuk Kiai Afifuddin Muhajir, penerus kiai Sahal, ditunggu karangan beliau tentang Ushul Fikih”.
Bagi saya, pesan pendek itu mengandung kesan yang amat dalam, utamanya tentang sosok Kiai Sahal dan Kiai Afif. Publik mengenal kedua kiai NU ini sebagai maestro ushul fikih kebanggaan NU.
Sepeninggal Kiai Sahal, publik menyebut-nyebut Kiai Afif sebagai penerusnya. Bahkan hal itu diakui sendiri oleh Mas Jamal, penulis buku pemikiran tentang Kiai Sahal.
Tak ada yang meragukan kepakaran Kiai Sahal dalam bidang ushul fikih. Ia berhasil menulis kitab Thariqah al-Hushul Syarh Ghayah al-Wusul karya Zakariya al-Anshari, sebuah kitab ushul fikih genre mutakallimin yang dikenal sulit karena bahasanya yang amat padat dan ringkas.
Tapi itu tidak berlaku kepada Kiai Sahal. Bahkan ia berhasil menulis hasyiyah untuk kitab Ghayah al-Wushul ini. Dahsyatnya kitab ini ditulis ketika beliau menjadi santri Kiai Zubair ibn Dahlan, ayahanda Kiai Maimoen Zubair Sarang Jawa Tengah.
Karya Kiai Sahal bukan hanya itu, ia juga menulis buku yang berjudul al-Bayan al-Mulamma’ an alfadzi al-Luma’ yang merupakan syarh atau komentar terhadap al-Luma karya al-Syairazi yang berisi pembahasan mengenai ushul fikih. Dan beberapa buku berbahasa arab, Indonesia dan Jawa.
Sementara itu Kiai Afifuddin Muhajir telah menulis kitab Fath al-Mujib al-Qarib yang merupakan syarah (komentar) terhadap kitab Taqrib karangan Abi Syujak.
Ada yang bertanya, apa karangan kiai Afif dalam bidang ushul fikih? Sampai saat ini tidak ada. Namun ini tidak menegasikan kemampuannya dalam bidang ushul fikih. Dalam karya-karyanya seperti al-Ahkam al-Syar’iyah bayna al-Tsabat wa al-Tatawwur, Fiqh Tata Negara, Membangun Nalar Islam Moderat, Fikih Menggugat Pemilihan Langsung, dan tulisan-tulisan beliau yang lain tersebar teori-teori ushul fikih yang amat kaya.
Di tangan Kiai Afif inilah ushul fikih tidak hanya menjadi ilmu hafalan tetapi juga menjadi ilmu terapan. Yang bisa digunakan untuk membedah setiap persoalan yang bermunculan.
Hal ini juga diakui oleh Kiai Abdul Moqsith Ghazali, salah satu santri Kiai Afif yang kini menjabat sebagai wakil ketua LBM PBNU sekaligus dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia menuturkan, Kiai Afif berbicara tentang negara Pancasila, Islam Nusantara dan persoalan-persoalan krusial lain menggunakan perspektif ushul fikih.
Pembaca mungkin masih ingat hebohnya ide Islam Nusantara yang dipromosikan PBNU. Saya ingat betul saat itu makalah pertama yang secara utuh membidik Islam Nusantara menurut ushul fikih adalah makalah Kiai Afif yang bertajuk Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia. Makalah ini disampaikan pada seminar nasional di Makassar. Kemudian Ahmad Baso, penulis produktif NU menjadikan makalah Kiai Afif ini sebagai pengantar bukunya soal Islam Nusantara.
Ketika Muktamar ke-33 NU di Jombang pada 2015 Kiai Afif menjadi ketua sidang komisi Bahstul Masail Maudhuiyah yang salah satu bahasannya adalah metode istibath al-Ahkam dalam lingkungan Nahdlatul Ulama. Dalam forum ini dibahas bagaimana cara menyelesaikan kasus-kasus yang tak tercover dalam nash Al-Quran mapun al-Sunnah. (Untuk hasil sidang utamanya terkait metode istinbath al-Ahkam dalam lingkungan NU bisa dicari sendiri di Internet).
Menurut sekretaris pribadi Kiai Afif, salah satu penyebab kenapa sampai sekarang beliau belum menulis kitab ushul fikih, karena beliau khawatir karyanya kelak tidak manfaat. Bukan malah memudahkan tapi menyulitkan, itu kekhawatirannya.
Pada titik ini, Kiai Afif bukan tipikal kiai yang penting menulis tapi menulis yang penting. Kiai Afif tidak menjadikan menulis sebagai tujuan utama tetapi bagaimana manfaat dari sebuah tulisan.
Padahal, pengalaman saya pribadi ketika mengaji kitab Jam’ul Jawami’ kepada beliau, konten kitab yang berat dan super sulit menjadi amat mudah bahkan tak jarang beliau memberi tawaran redaksi atau ibarat yang lebih akrab dengan kami para santri. Ini bukan hanya dirasakan saya tetapi banyak teman-teman lintas angkatan.
Dari segi proses akademik, Kiai Sahal dan Kiai Afif adalah produk asli pesantren Indonesia. Beliau tak pernah belajar ke Timur (Arab) apalagi ke Barat. Kiai Sahal belajar di Pesantren Maslakul Huda Kajen, Pesantren Bendo Pare asuhan Kiai Muhajir dan Pesantren Sarang asuhan Kiai Zubair ibn Dahlan.
Sementara Kiai Afif sejak umur delapan tahun belajar di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo asuhan KHR As’ad Syamsul Arifin. Hubungan Kiai As’ad dengan Kiai Afif begitu dekat, sebab asrama tempat Kiai Afif tinggal adalah asrama tepas, asrama khusus santri yang mengabdi kepada keluarga kiai.
Sejak baru mondok Kiai Afif mengaji sekaligus mengabdi kepada keluarga Kiai As’ad. Kiai lain yang banyak berjasa bagi karir akademik Kiai Afif adalah Kiai Dhofir Munawawwar, ayahanda Kiai Ahmad Azaim Ibrahimy.
Ada peristiwa besar dalam kehidupan Kiai Afif yaitu ketika Kiai As’ad meng-endors keilmuan Kiai Afif. Itu bermula ketika Kiai Achmad Fawaid As’ad meminta izin untuk mondok ke pesantren dimana ayahandanya dulu mondok.
Namun apalah daya berapa kali Kiai Fawaid minta izin berulang kali Kiai As’ad tidak memberi izin. Kiai As’ad mengatakan dengan tegas: “untuk urusan keilmuan di sini sudah ada pakarnya, yaitu Khofi (Khofi adalah nama kecil Kiai Afifuddin Muhajir), habiskan ilmunya Khofi, sudah cukup”.
Sejak saat itulah Kiai Fawaid As’ad ngaji secara privat kepada Kiai Afifuddin Muhajir. Rekomendasi dari Kiai As’ad ini tak bisa dipandang sebelah mata. Mengingat beliau tak akan mudah memberi “sertifikasi” kepada seseroang kecuali orang tersebut memang memiliki kualifikasi yang baik dalam hal keilmuan, spiritual dan segala hal.
Dalam banyak even, Kiai As’ad sering melibatkan Kiai Afif muda. Misalnya ketika Munas dan Muktamar NU di Sukorejo pada 1983 dan 1984. Teks deklarasi hubungan Islam dan Pancasila yang beredar saat ini merupakan hasil tulisan tangan Kiai Afif yang didekte langsung oleh Kiai As’ad dan kiai yang lain.
Pada waktu pendirian Ma’had Aly, Kiai Afif adalah satu kiai yang ditunjuk untuk menjadi tim pendirian. Tim itu berisi Kiai Hasan Basri Lc, Kiai Abdul Wahid Zaini, Kiai Nadhir Muhammad, dan Kiai Yusuf Muhammad. Sampai saat ini beliau aktif sebagai masyayikh dan pengajar ushul fikih di lembaga warisan Kiai As’ad tersebut.
Dari segi penampilan, Kiai Sahal dan Kiai Afif sama-sama bernampilan biasa, pakai sarung, batik dan kopyah atau songkok. Ia tak suka menggunakan aksesoris kiai seperti surban, imamah, jubah atau tasbih panjang.
Banyak cerita yang beredar, tidak sedikit orang salah paham. Mereka mencium tangan khadamnya ketimbang kedua kiai NU itu. Karena secara penampilan keduanya sangat sederhana.
Kiai Sahal dan Kiai Afif juga tipikal kiai yang tak suka banyak bicara. Beliau berdua dikenal irit bicara termasuk soal fatwa.
Alkisah ada satu rombongan sowan ke kediaman Kiai Sahal, setelah diterima dengan ramah mereka menyampaikan maksud kunjungannya, yaitu ingin minta fatwa soal kasus Syiah, setelah mendengar itu Kiai Sahal masuk ke ruangan pribadinya dan tak keluar lagi. Akhirnya rombongan pulang tanpa membawa fatwa.
Kiai Afif pun demikian. Suatu saat ada sejumlah orang minta fatwa beliau soal LDII. Setelah menyimak pertanyaan mereka, Kiai Afif menjawab dengan halus dan nada yang khas, “saya tak tahu!”.
Hari ini 20 Mei, Kiai Afifuddin Muhajir, kiai kebanggaan kita itu ulang tahun. Mari doakan agar beliau sehat, panjang umur dan bisa menulis kitab-kitab yang memudahkan, utamanya dalam bidang ushul fikih.
Dan untuk Kiai Sahal semoga Allah mengampuni segala khilafnya dan menerima segala amal baiknya. (*)
Salam baik
Ahad 20 Mei 2018
Ahmad Husain Fahasbu, Santri Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.