Kiai Muhyiddin Abdusshomad, Link Up Ideologi Aswaja
KH Muhyiddin Abdusshomad
Kiai Muhyid —panggilan akrab KH Muhyiddin Abdusshomad, bukanlah kiai pondok pesantren biasa, akan tetapi seorang tokoh simpul dari jaringan kader pejuang Islam Ahlussunah Waljamaah (Aswaja). Banyak pendekar Aswaja yang tampil ke permukaan publik terlahir dari tangan dinginnya yang senang mengorbitkan banyak tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU).
Melalui Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris) dan NU Jember, Kiai Muhyid membangun link-up ideologis Aswaja dari kalangan pesantren dan kampus. Mereka dibekali kemampuan debat dengan dalil-dalil agama yang kuat, serta mumpuni dalam membentengi umat dari serangan ideologi Islam yang lain.
Ternyata, doktrin ideologi Aswaja Kiai Muhyid sangat berhasil. Kader muda besutannya menjadi “singa” Aswaja yang disegani oleh kawan maupun lawan. Sebut saja diantaranya, Ustadz Muhammad Idrus Romli, Dr KH Abdullah Syamsul Arifin, Prof Dr MN Harisuddin, Dr Abdul Haris, Dr Pujiono dan lainnya.
Kiai Muhyid melibatkan intelektual kampus agama maupun umum dalam struktur Pengurus Cabang NU Jember, dan itu relatif efektif melakukan kaderisasi Aswaja di kalangan kaum terpelajar. Dalam istilah antropolog Amerika Serikat Clifford Geertz, mereka adalah cultural brokers yang menjadi jembatan penghubung antara budaya pesantren dan kampus.
Link up kiai pesantren dan intelektual kampus dalam wadah organisasi dan kegiatan sosial keagamaan dan kemasyarakatan, telah menciptakan kebersamaan dan kerjasama. Sehingga, pesantren dan kampus bukan lagi menjadi “menara gading”.
Pesantren dan kampus sama-sama membumi dalam membina dan memberdayakan umat dan bangsa. Disini, peran penting dan strategis Kiai Muhyid dalam menjalankan fungsi pendidikan, dakwah dan pemberdayaan umat dari pesantren sebagai NU kecil dan NU sebagai pesantren besar, seperti amanah Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Selain itu, Kiai Muhyid terkait dengan alumni Pondok Pesantren Darussalam dan Nuris Jember yang tersebar di seluruh Tanah Air. Mereka sudah banyak yang matang dan mapan di tengah-tengah masyarakat. Mereka merupakan estafet pemikiran dan perjuangan dari kiai penulis produktif kelahiran Jember, 5 Mei 1955 ini. Jumlah mereka sudah mencapai puluhan ribu semenjak Darussalam berdiri pada 1968 dan Nuris lahir pada 1981.
Di PCNU Jember, Kiai Muhyid sudah lebih dua dekade mengomandani NU, pernah menjadi Ketua PCNU (1999-2009), dan Rois Syuriah PCNU Jember (2009-sekarang). Posisinya sebagai pemimpin NU telah menguatkan link up strukturalnya sampai ke tingkat nasional. Sedari muda punya hubungan dekat dengan keluarga besar Ciganjur (Gus Dur) sebagai ulama intelektual dan kiai feminis.
Hubungan baik secara kultural dan struktural di atas merupakan modal sosial Kiai Muhyid dalam melaksanakan dan melestarikan fiqih tradisionalis yang digagasnya. Sebuah amal keseharian kaum nahdliyyin yang nyata-nyata berbasis kitabullah, sunah Rasulullah SAW serta ulama salafunas sholeh.
Bahkan di tengah arus Islam Takfiri yang menyerang jantung amaliah keseharian NU, Kiai Muhyid adalah ulama pertama yang berhasil membangun dalil-dalil nash yang shaheh dan shareh atas sejumlah amaliah yang digugat sebagai perbuatan bi’ah, khurafat dan syirik oleh kelompok Islam lain.
Saat ini, Kiai Muhyid yang alumni Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Sumberbringin dan Pondok Pesantren Sidogiri ini, telah mendirikan Ma’had Aly bidang aqidah dan filsafat Islam yang merupakan perguruan tinggi pesantren. Ma’had Aly ini sudah mendapatkan legalitas dari Kementerian Agama Republik Indonesia.
Ma’had Aly di pesantren asuhan Kiai Muhyid ini bertujuan untuk mencetak pejuang akidah aswaja yang kuat, tangguh, penuh dedikasi, integritas, dan profesional, serta berada di garda terdepan dalam menghadapi radikalisme dan terorisme atas nama agama di Tanah Air.
Untuk itu, perguruan tinggi pesantren pimpinan putra Kiai Abdusshomad ini melakukan kajian kritis terhadap kitab-kitab karya Imam al-Asy’ari, juga kitab-kitab lain dari ulama Mutakallimin klasik maupun kontemporer.
Di antara kitab-kitab tersebut adalah; Kitab Istihsān al-Khaud fi al-‘Ilm al-Kalām, karya Imam al-Asy’ari. Serta Kitab Aqidah Ahlissunnah wal Jamaah karya Syeikh Ali al-Jum’ah.
Jadi, kemampuan Kiai Muhyid dalam penguasaan khazanah Islam klasik, kemampuan mengkontekstualisasikan kitab kuning, serta kesiapan mendialogkan dengan link-up ideologis Aswaja, kian menyakinkan pemikiran dan perjuangannya semakin diterima banyak kalangan. Bahwa fiqih tradisionalis karyanya merupakan esensi Islam rahmatan lil alamin.
Suatu potret Islam pesantren yang tak hanya mengajarkan bagaimana menjadi orang baik tetapi juga orang yang bermanfaat terhadap sesama manusia. Saya teringat pernyataan KH MA Sahal Mahfudz, “Menjadi orang baik itu mudah, dengan diam yang tampak adalah kebaikan. Yang sulit adalah menjadi bermanfaat karena ia membutuhkan perjuangan”. (*)
Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.