Nasab Ilmu KHR Syamsul Arifin & KHR As’ad Syamsul Arifin

KHR Syamsul Arifin & KHR As’ad Syamsul Arifin
KHR As’ad Syamsul Arifin (1897-1990 M) putra pertama dari pasangan KHR Syamsul Arifin (1841-1951 M) dan Nyai Hj Siti Maimunah. Tak banyak diketahui tentang sosok Nyai Maimunah ini kecuali disebut secara sepintas dalam sejumlah buku bahwa beliau keturunan Raja Sumenep ke-29, Bendoro Saud, yang memerintah dari tahun 1750 M hingga 1762 M.
Bendoro Saud atau Bindhare Saod sendiri kerap ditulis sebagai anak keturunan Pangeran Katandur (Sayyid Ahmad Baidhawi), salah seorang cucu Sunan Kudus. Kuburan Pangeran Katandur terletak di Desa Bangkal, dua kilometer dari kota Sumenep. Hingga sekarang banyak peziarah yang datang, baik ke makam Bindhere Saod (di Asta Tinggi) maupun ke makam Pangeran Katandur, untuk kepentingan tabarrukan dan penelitian.
Kiai As’ad lahir di Mekah ketika Kiai Syamsul Arifin studi di sana. Dan Kiai Syamsul Arifin telah menghabiskan 40 tahun dari 110 tahun usianya di Mekah. Di Mekah, Kiai Syamsul Arifin berguru kepada banyak ulama besar seperti Syaikh Nawawi Banten (1813-1897 M) yang 24 karyanya banyak dibaca di pesantren-pesantren Jawa dan Madura. Kiai Syamsul Arifin juga sempat belajar kepada Sayyid Abi Bakar ibn Muhammad Syatha al-Dimyathi (1849-1892 M/1226-1310 H) pengarang kitab I’anah al-Thalibin dan Kifayah al-Atqiya’, dua kitab yang juga banyak dikaji di pesantren.
Sayang sekali Sayyid Abi Bakar Syatha tak memiliki umur pajang. Beliau wafat dalam usia 43 tahun. Namun, sebelum wafat, Sayyid Abi Bakar Syatha masih sempat berguru kepada Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (1816-1886 M), pengarang kitab yang sangat masyhur di Nusantara, syarah al-Ajurumiyah.
Tak hanya Sayyid Abi Bakar, rupanya Syaikh Nawawi Banten dan Kiai Mahfudh Termas (1868-1920 M) juga berguru kepada Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. Tak tertutup kemungkinan Kiai Syamsul Arifin yang saat itu juga sedang studi di Mekah sempat berguru kepada Syaikkh Ahmad Zaini Dahlan.
Setelah puluhan tahun berada di Mekah, Kiai Syamsul bersama keluarganya termasuk Kiai As’ad yang masih kecil pulang ke tanah air, Nusantara. Ketika Kiai Syamsul mengembangkan Pesantren Sukorejo yang dirintisnya sejak tahun 1914 dan setelah Kiai As’ad muda malang melintang dari satu pesantren ke pesantren lain, maka Kiai As’ad yang sudah memasuki usia remaja itu dikirim kembali ke Mekah. Di sana Kiai As’ad belajar kepada banyak ulama kelas dunia.
Pertama, Kiai As’ad belajar kepada Sayyid Abbas ibn Abdul Aziz al-Maliki (1868-1934 M/1285-1934 H) yang juga berguru kepada al-Sayyid Bakri ibn Muhammad Syatha. Nanti anak keturunan Sayyid Abbas ibn Abdul Aziz ini menjadi guru banyak ulama nusantara.
Sayyid Abbas ibn Abdul Aziz punya anak bernama Sayyid Alawi ibn Abbas al-Maliki (1910-1971 M/1328-1391 H), berputra Sayyid Muhammad ibn Alawi ibn Abbas (1948-2004 M/1367-1425 H) dan Sayyid Abbas ibn Alawi al-Maliki (1948-2015 M/ 1367-1436 H). Sebelum wafat tahun 2004, KH.R Achmad Azaim Ibrahimy, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo (periode 2012-sekarang), sempat berguru kepada Sayyid Muhammad ibn Alawi.
Kedua, Kiai As’ad berguru kepada Sayyid Hasan ibn Sa’id (1894-1971 M/ 1312-1391 H). Ayah beliau, Sayyid Sa’id ibn Muhammad ibn Ahmad Yamani, adalah guru Kiai Syamsul Arifin. Sayyid Hasan ini pengajar tetap di Masjidil Haram dan pernah mengajar di Madrasah Shaulatiyah tahun 1904-1907 M/1322-1325 H. Murid-muridnya datang dari berbagai negara, mulai dari Mekah hingga Malaysia dan Indonesia.
Bahkan, Sayyid Hasan ibn Sa’id pernah berkunjung ke Indonesia sebanyak dua kali. (a). Tahun 1925 M/1344 H, dan kembali ke Mekah tahun 1926 M/1345 H. (b.) Tahun 1930 M/1349 H dan kembali ke Mekah 1937 M/1356 H. Bahkan, beliau tercatat pernah menjadi mufti di Terengganu Malaysia ketika beliau beberapa tahun menetap di sana dan wafat di Mekah tahun 1391 H/1971 M. Dikuburkan di Ma’la (Mu’alla?) Mekah.
Ketiga, Kiai As’ad juga berguru kepada Sayyid Muhammad Amin ibn Muhammad Amin al-Kutby (1909-1984 M/1327-1404 H). Nama lengkapnya, al-Sayyid Muhammad Amin ibn Muhammad Amin ibn Muhammad Shalih ibn Muhammad Husain al-Kutby al-Hasani al-Hanafi. Beliau adalah ulama bermadzhab Hanafi yang mengajar secara reguler di Masjidil Haram, Madrasah al-Falah, Ma’had I’dad al-Mu’allimin. Ia menulis sejumlah buku.
Salah satu karya Sayyid Muhammad Amin Kutbi yang saya koleksi adalah Nafhu al-Thiib fi Nafhi al-Habib SAW, buku yang berisi pujian dan kekaguman penulisnya kepada Nabi SAW. Ditulis dalam bentuk puisi dengan diksi yang indah.
Keempat, Kiai As’ad juga berguru kepada Syaikh Hasan ibn Muhammad ibn Abbas ibn Ali ibn Abdul Wahid ibn al-Abbas al-Munafi al-Masysyath (1899-1979 M/1317-1399 H). Ia adalah ulama berpengaruh (al-ustadz al-mu’atstsir) di masanya. Dikenal sebagai al-muhaddits (ahli hadits), al-faqih (ahli fikih), al-Maliki (bermadzhab Maliki). Ia menulis 17 kitab di berbagai bidang. Ia misalnya menulis al-Tuhfah al-Saniyah fi Ahwal al-Waratsah al-Arba’iniyyah, Ta’liqat Syarifah ‘ala Lubbi al-Ushul, Inarah al-Duja fi Maghazi Khairi al-Wara, dan Bughyah al-Mustarsyidin bi Tarjamah al-A’immah al-Mujtahidin.
Ia memiliki banyak murid dari berbagai negara, mulai dari Yaman hingga Indonesia. Salah satu murid Syaikh Hasan Masysyath yang dari Yaman adalah Syaikh Ismail Zain (1933-1994 M/1352-1414 H) yang kemudian menjadi guru dari salah seorang putra Kiai As’ad Syamsul Arifin, yaitu KHR Mohammad Kholil As’ad (1970-sekarang)—Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantre Walisongo Situbondo Jawa Timur.
Dua guru Kiai As’ad yang terakhir itu, Sayyid Muhammad Amin dan Syaikh Hasan Musyath, dari segi usia memang lebih muda dari Kiai As’ad. Namun, sebagaimana kiai lain, dalam mencari ilmu Kiai As’ad tak memandang usia. Tak masalah berguru kepada yang lebih muda karena kealiman memang tak terkait dengan usia. Kiai Syamsul Arifin juga berguru kepada Sayyid Abi Bakar Syatha yang usianya terpaut 8 tahun lebih muda dari dirinya.
Dengan narasi ini, sungguh beruntung para pelajar Islam yang studi di Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Asembagus Situbondo karena sanad ilmu mereka melalui KHR Syamsul Arifin dan KHR As’ad Syamsul Arifin adalah sanad yang tinggi, lewat jalur ulama-ulama besar terhubung hingga ke Rasulullah SAW. Semoga berkah dan manfaat. (*)
Ahad, 31 Januari 2021
KH Abdul Moqsith Ghazali, Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Asembagus Situbondo. Kini, Wakil Ketua LBM PBNU.