Sebar Paham Radikal di Indonesia, Ulama Arab Saudi Bawa Jutaan Dolar

Jakarta – Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan, Moh Mahfud MD bicara soal radikalisme. Ia mengungkapkan ada fenomena baru dalam pergerakan paham radikal di Indonesia. Menurutnya, Indonesia menjadi sasaran kalangan radikal dari negara lain.
Mahfud menyampaikan hal tersebut dalam focus group discussion (FGD) Gerakan Suluh Kebangsaan di Hotel JS Luwansa, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat, 16 Agustus 2019. Forum bertema ‘Scenario Planning: Indonesia’ ini membahas radikalisme di luar dan dalam negeri.
Forum ini dihadiri beberapa tokoh nasional, antara lain Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah), KH Salahuddin Wahid (Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng), Komarudin Hidayat (mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah), KH Yahya Staquf (Katib Aam Syuriah PBNU), Alissa Wahid (putri presiden ke-4 Gus Dur), Alwi Shihab, Hilmar Farid, Sudhamek AWS, Romo Benny Susetyo, dan Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani.
Mereka berdiskusi secara tertutup dengan dipandu oleh Deputi dari Badan Intelijen Negara (BIN) serta kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius. Diskusi ini sebagai iktiar mencegah radikalisme di Indonesia.
Mahfud semula bicara maraknya penangkapan terhadap ulama radikal di Arab Saudi. Ia menyebut, ulama penganut paham radikal yang tidak tertangkap akan masuk ke Indonesia dengan membawa uang jutaan dolar AS untuk menyebarkan paham radikal.
“Yang belum tertangkap, akan lari ke Indonesia dengan membawa jutaan dolar untuk mendukung gerakan radikal,” kata Mahfud.
Para ulama radikal tersebut, kata Mahfud, telah dan hendak mendirikan pesantren di beberapa kota di Indonesia. Tujuannya sebagai sarana penyebaran paham radikal.
“Mereka bawa uang, mau mendukung pesantren, mau mendirikan pondok pesantren, mendirikan lembaga pendidikan yang sangat jauh berbeda,” ungkapnya.
“Sehingga di beberapa tempat, ada lembaga pendidikan yang dulunya tidak dikenal tiba-tiba muncul dengan murid yang banyak tapi tertutup, di Jogja ada, di Magelang ada, tiba-tiba besar,” sambungnya.
Indikasi paham radikal itu, kata Mahfud, ditunjukkan dari larangan hormat kepada bendera merah putih, melarang upacara, serta menghancurkan simbol negara berupa burung Garuda Pancasila.
“(Pesantren) di Magelang, nggak boleh menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’, mengibarkan Merah Putih. Hari ini kita berkumpul apa yang sebenarnya terjadi, di mana petanya, apa yang akan kita lakukan menghadapi itu semua,” ujarnya. (us/onk)