Filosofi Duren Mbah Liem

KH Muslim Rifa'ie Imampuro alias Mbah Liem (dua dari kiri) mendampingi Gus Dur dalam acara
Genap setahun lebih bangsa Indonesia kehilangan Mbah Liem. Seorang ulama NU keturunan Keraton Mangkunegaran, KH Muslim Rifa’ie Imampuro, biasa dipanggil Mbah Liem. Beliau wafat pada 26 Mei 2012.
Berbeda dengan kebanyakan ulama, Mbah Liem terkenal sebagai ulama nyentrik yang ‘khariqul adah’. Mbah Liem juga diyakini memiliki kasyaf, pandangan jauh ke depan yang jarang dimiliki orang lain. Mbah Liem juga memiliki kebijaksanaan yang pluralis dan toleran.
Berkaitan dengan kasyaf yang futurologis itu, bukti tersebut benar adanya melekat pada diri Mbah Liem. Ketika diwawancarai wartawan Majalah Amanah, A. Muzani, saat Muktamar NU ke-29 tahun 1994 di Cipasung, Mbah Liem menceritakan silaturrahminya dengan para kiai di Tambak Beras, Jombang, dimana disitu Mbah Liem ditanya, apakah Pak Harto akan tetap jadi presiden pada periode berikutnya (1998-2003).
Mbah Liem menjawab diplomatis, “Pak Harto akan pensiun” alias berhenti jadi presiden (Majalah Amanah, nomor 219 edisi 16-29 Desember 1994, halaman 23).
Faktanya, Pak Harto memang betul-betul berhenti dari jabatan presiden pada Mei 1998. Jawaban Mbah Liem ini memang menunjukkan bahwa Mbah Liem memiliki kapasitas untuk mengetahui masa depan Indonesia. Kemampuan mengetahui sebelum terjadi wajar bisa dimiliki Mbah Liem, karena Nabi SAW sendiri bersabda, “Takutlah kamu terhadap firasatnya orang mukmin karena mereka melihat dengan nur (petunjuk) Allah”. (HR. At-Tirmidzi).
Namun yang lebih penting, pengajaran Mbah Liem layak diperjuangkan di Indonesia. Gagasannya tentang Pancasila yang selaras dengan Islam wajib dibumikan di tengah derasnya radikalisme berbasis agama dan liberalisme sekuler.
Mbah Liem mengajarkan bahwa Pancasila adalah sesuatu yang utuh berkait erat dengan nasionalisme Indonesia. Pancasila dan Islam menjadi gagasan terpadu yang tak boleh berkonflik dalam bingkai NKRI.
Sikap Mbah Liem tentang bagaimana seharusnya kekuasaan dan kebangsaan dijalankan di Indonesia terlihat jelas waktu muktamar NU di Cipasung. Mbah Liem tak terkesan memusuhi Soeharto, presiden Indonesia saat itu yang berupaya menggulingkan Gus Dur dari jabatannya sebagai ketua umum PBNU melalui Abu Hasan.
Mbah Liem tak pernah mendeligitimasi Soeharto. Bahkan, Mbah Liem menyebut Soeharto dan Gus Dur sebagai tokoh yang berada di pundak kanan dan pundak kiri Mbah Liem. Maksudnya, Pak Harto yang memiliki negara dan Gus Dur yang memiliki rakyat. Pak Harto yang memimpin pemerintahan dan Gus Dur yang memimpin umat.
Kenapa Gus Dur disebut berada di pundak Mbah Liem selain Pak Harto. Logikanya sederhana saja, karena mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim dan mayoritas muslim adalah nahdliyyin.
Di arena muktamar Cipasung pula, Mbah Liem bertingkah aneh. Mbah Liem membagikan “durian” (dalam bahasa Jawa disebut duren) kepada warga dan tokoh-tokoh NU saat itu. Ini artinya Mbah Liem mengajarkan filosofi duren yang dalam tatakrama Jawa berarti kepanjangan dari padu leren (berhenti berkonflik).
Filosofi duren sebenarnya bukan hanya ditujukan kepada tokoh-tokoh NU yang saling berhadapan pada Muktamar Cipasung. Namun, filosofi duren jauh menjangkau waktu sesuai kasyaf Mbah Liem yang futurologis.
Duren adalah buah yang banyak penggemarnya, meski bagi sebagian kalangan, rasa dan baunya terasa menusuk. Di Indonesia, duren banyak digemari namun orang asing sangat sedikit yang berupaya untuk mencicipi duren. Bentuk luar duren juga tak enak dipandang, meski isinya lezat di lidah. Duren akrab di lidah kita, namun tak akrab di lidah bangsa asing. Begitupun filosofi duren (padu leren). Filosofi ini akrab di kalangan kita, namun pihak luar seperti bangsa asing rasanya tak ingin melihat bangsa Indonesia akur dan damai.
Bagi internal warga NU Jawa Timur, momentum Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur, 29 Agustus mendatang, serasa membutuhkan spirit duren ini agar kubu-kubu kaum nahdliyyin yang kini bersiap-siap dalam kontestasi Pilgub Jatim tetap menjaga persaudaraan satu sama lain. Spirit Padu Leren dalam Pilgub Jawa Timur harus menjadi ruh utama politik nahdliyyin.
Duren Mbah Liem mengajarkan bahwa keselarasan di negeri ini adalah sesuatu yang tidak diidamkan pihak luar. Mbah Liem mengajarkan agar seluruh komponen nasional bersatu tanpa mempersoalkan agama, ras dan golongan. Filosofi duren inilah yang menghilang dari negeri ini. Masing-masing individu dan golongan hidup dengan egonya masing-masing.
Di negeri ini, konflik menghela jiwa banyak tokoh bahkan tokoh nasional. Karenanya, filosofi politik Mbah Liem yang ingin mendudukkan semua komponen anak bangsa pada tempatnya wajib diapresiasi. Mbah Liem boleh wafat, namun pengajarannya yang sederhana namun bermakna jauh kedepan wajib diperjuangkan. (*)
Syarif Hidayat Santoso, Pengurus Lajnah Ta’lif Wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN NU) Kecamatan Kota Sumenep.