KH Noer Muhammad Iskandar: Hendak Dibunuh Penguasa Orde Baru, Istiqamah Puasa Sunnah

Kenangan usai istighotsah pasca tsunami Aceh awal 2005 di kediaman walikota Beureun Aceh Bersama KH Hasyim Muzadi, KH idris Marzuki dan KH Nur Muhammad Iskandar, dan penulis paling kanan (santrinews.com/istimewa)

Innalillah wainna ilaihi rajiā€™un. Pengasuh Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, Jakarta, KH Noer Muhammad Iskandar SQ meninggal dunia. Kiai Noer meningga pada Ahad, 13 Desember 2020, sekitar pukul 13.41 WIB.

Saya pertama kali mengenal baik Kiai Nur —demikian kami memanggil beliau— ketika bersama-sama menjadi pengurus koperasi pondok pesantren se-indonesia pasca Munas RMI PBNU pada 1996 di Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo yang dikenal dengan “Munas Salaman Genggong” yang mempertemukan antara alm Gus Dur dan Pak Harto yang menandai cairnya ketegangan antara Gus Dur dan Presiden Suharto kala itu.

Kiai Nur menjadi Ketua Induk Koperasi Pondok Pesantren se-Indonesia (Inkopontren) dan saya menjadi wakil sekretaris puskopontren Jawa Timur yang diketuai oleh KH M Hasan Mutawakkil Alallah, Pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo yang menjadi tuan rumah Munas RMI PBNU pada 1996.

Selanjutnya kita sering bertemu dalam upaya pemasaran dua produk kerjasama Inkopontren dan RMI saat itu berupa mie instan Barokah dan pembalut wanita merk Ramisoft yang konon merupakan singkatan dari RMI Softex. Meskipun pada akhirnya kedua produk ini gagal bertahan di pasaran namun kegigihan beliau telah menginsipirasi banyak Gus dan Kiai muda tentang wirausaha pesantren.

Pada 1998, Kiai Nur berkenan hadir di Pesantren kami memberikan ceramah dalam rangka haul kakek saya KH Anwar Nur, Pendiri Pondok Pesantren An-Nur Bululawang Malang. Saat itu sedang heboh-hebohnya pemberitaan media massa tentang percobaan pembunuhan dan penembakan mobil Pajero yang ditumpangi beliau di jalan tol oleh orang yang tidak dikenal.

Ketika saya tanya siapa dan kenapa dia ditembak? Beliau menyebut satu nama yang pernah mengancamnya karena menolak untuk bergabung membantu partai penguasa dan sikap kritisnya terhadap pemerintah saat itu.

Setelah Muktamar NU di Pesantren Lirboyo Kediri pada 1999 hubungan kami semakin dekat karena guru kami alm RKH Idris Marzuki diangkat menjadi Rois Syuriah PBNU dan mempunyai kedekatan khusus dengan presiden Gus Dur sebagai salah satu Kiai khos “Forum Langitan”.

Hampir setiap minggu saya mengantar beliau ke Jakarta untuk ngantor di PBNU atau dipanggil untuk bertemu Gus Dur di Istana. Kiai Nur sering membersamai Gus Dur ketika bertemu bersama Kiai-Kiai. Kiai Nur sangat akrab dan didengarkan pendapatnya oleh Gus Dur meskipun seringkali terlihat hanya seperti guyon-guyon saja. Saat itu beliau juga menjabat sebagai anggota DPR RI dari PKB.

Sepuluh tahun lamanya sejak 1999 sampai 2009 di masa Kiai Idris Marzuki menjabat sebagai Rois Syuriah PBNU dan wakil ketua Dewan Syuro DPP PKB ada dua mobil yang paling sering saya pinjam untuk dipakai menjemput Kiai Idris ke bandara dan kegiatan Kiai selama di Jakarta yakni mobil Kiai Nur Muhammad dan mobil Gus Ipul (Saifullah Yusuf).

Bahkan, secara khusus Kiai Nur memang pernah berpesan kepada saya agar memakai mobil miliknya jika Kiai Idris tiba di Jakarta. Beliau sangat bahagia setiap kali melayani kedatangan Kiai Idris di Jakarta.

Saya melihat Kiai Nur memang sangat hormat takdzim kepada Kiai Idris sebagai guru dan orang tua yang telah mengasuhnya ketika mondok di pesantren Lirboyo. Jika Kiai Idris pergi ke Jakarta, beliau minta saya selalu memberi kabar dan berusaha menemui atau mengajak menginap di rumahnya.

Begitu cintanya beliau kepada Kiai Idris. Saat Kiai Idris wafat keadaan Kiai Nur sendiri sedang sakit. Saya tidak berani memberi tahu karena menghawatirkan beliau sangat kaget, hingga suatu saat beliau sendiri menelpon saya dengan penuh duka menanyakannya.

Kiai Nur Muhammad yang hidup bermukim di kota besar Jakarta menurut saya adalah pribadi Kiai yang sangat unik. Meskipun dia telah sangat sukses membangun pesantren dan berdakwah di Jakarta, telah hidup berkecukupan bahkan kaya raya namun beliau tetap saja istiqamah menjalankan puasa Sunnah dawud, yakni sehari berpuasa dan sehari tidak yang telah dilakoninya semenjak puluhan tahun.

Saya juga mengetahui bahwa beliau mempunyai wirid istiqamah setelah shalat tahajud yang cukup panjang di setiap malam. Ketika pemilu presiden pada 2004, saya dan Kiai Nur Muhammad sering diajak mendampingi cawapres alm KH A Hasyim Muzadi berkampanye keliling Indonesia.

Seringkali saya dan Kiai Nur menginap dalam satu kamar berdua. Di situ saya melihat sendiri bagaimana istiqamah Kiai Muhammad. Meskipun dalam perjalanan yang sangat jauh beliau tetap berpuasa Daud dan tidak pernah meninggalkan tahajud beserta wiridnya.

Ketika Muktamar NU di Makassar tahun 2010, di sela waktu beliau mengajak saya berolahraga berjalan kaki di bawah terik matahari setelah shalat Dzuhur di area pantai Losari Makassar. Sambil berjalan saya melirik mulut beliau tetap bisa komat kamit membaca sesuatu. Penasaran saya tanya, “Baca apa, Kiai?” Beliau menjawab sedang membaca Surat Yasin 50 kali.

Kiai Nur yang saya kenal adalah Kiai yang ramah, humornya cerdas, hangat bersahabat dan dermawan bukan hanya pada saya namun pada semua orang yang pernah mengenalnya, saya bangga pernah mengenal dan menjadi sahabatnya, sehingga salah satu anak saya, saya beri nama Nur Muhammad seperti namanya disamping secara kebetulan kakek buyut kami juga memiliki nama serupa.

Selamat jalan Kiai. Keberanian, kebaikan dan uswah hasanah panjenengan abadi di hati kami. Lahul Fatihah. (*)

Dr KH Ahmad Fahrur Rozi, Pengasuh Pondok Pesantren Annur 1 Bululawang Malang, Wakil Sekjen MUI.

Terkait

Uswah Lainnya

SantriNews Network