Mengenal KH Abdul Muhith Sidoarjo (1): Guru Syekh Yasin Padang di Makkah

Ilustrasi Pesantren Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo, yang lama.

Tidak banyak orang Sidoarjo, Jawa Timur, yang mengetahui sosok KH Abdul Muhith atau yang mashur dengan nama ‘Allamah Syekh Abdul Muhith, yang dikenal sebagai ulama pengajar di Makkah pada peralihan abad ke-19 ke-20, padahal beliau asli Sidoarjo.

Syekh Abdul Muhith adalah putra KH Ya’kub atau cucu KH Hamdani, pendiri Pondok Pesantren Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo, sehingga namanya sering disebut sebagai Syekh Abdul Muhith Ya’kub Panji As Siduarjuwi.

KH Abdul Muhith merupakan adik bungsu Nyai Khadijah, istri pertama Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari yang wafat di Makkah, dan beliau adalah menantu Syekh Nawawi Al-Bantani. Terlebih beliau termasuk santri kinasih dari putra Kiai Sholeh Darat yang menetap di Makkah. Syekh Abdul Muhith juga salah satu guru Syekh Yasin Al-Padani di Makkah yang wafat pada 1990.

Intinya, Syekh Abdul Muhith adalah salah satu punjer dari jaringan alim ulama Nusantara pada peralihan abad yang demikian krusial dan menentukan bagi kelangsungan kehidupan keagamaan dan kebangsaan di negeri tercinta Indonesia.

Saya bukannya sok tahu, tetapi kebetulan saja sebenarnya. Ketika sedang menata koleksi buku-buku jadul, saya menemukan kembali kitab karya Syekh Yasin Al Padani berjudul “Al ‘Aqdu al Farid min Jawahiri al Asanid”. Saya membuka-bukanya lagi. Dari situ saya tergelitik dengan adanya nama seorang tokoh Sidoarjo disebut di dalamnya.

Dulu, waktu pertama membacanya, saya sempat terkesima, tetapi karena saya sok sibuk, akhirnya nama itu hilang dari perhatian, meskipun sosok ini berakar tidak jauh dari tempat saya ngopi sehari-hari, yaitu di Desa Siwalanpanji.

Dalam kitab tersebut, Syekh Yasin menulis tentang silsilah keilmuannya dan merinci beberapa syekh atau kiai yang telah mengajarinya beberapa kitab. Di situlah nama Syekh Abdul Muhith Yakub Panji As Siduarjuwi disebut-sebut yang menjadi salah satu mata rantai transmisi keilmuan secara langsung. Hebatnya, sebagai generasi gagap, kitab yang diajarkan pun bikin keki, di antaranya adalah Jami’us Shahih karya Imam Bukhori, ‘Awariful Ma’arif karya Imam As-Suhrawardi, dan lain-lainnya.

Karena dalam kitab itu, hampir setiap menyebut Syekh Abdul Muhith mengarah pada Kiai Sholeh Darat, lewat sanad dari putranya, saya pun tergoda melacaknya. Entah kenapa, saya begitu mudah tergoda. Saya pun membaca lagi buku tentang Kiai Sholeh Darat yang ditulis oleh Taufiq Hakim (2016).

Alhasil, saya menemukan nama yang berbeda antara kedua sumber tersebut. Tentu ini menarik. Bisa jadi kitab Syekh Yasin tersebut menambal sedikit celah informasi dalam buku Hakim (2016) tersebut, terutama terkait dengan kiprah putra Kiai Sholeh Darat yang menetap di Makkah sebagai ulama pengajar di sana.

Dalam kitab Syekh Yasin itu disebutkan bahwa putra Kiai Sholeh bernama Syekh Umar, sama dengan nama kakeknya yaitu Kiai Umar. Adapun dalam buku Hakim disebutkan dengan nama Ibrahim saja, tapi tanpa disertai dengan kiprahnya di Makkah sedang ngapain, karena disebutkan bahwa Ibrahim tetap tinggal di sana dan tidak mengikuti ayahnya pulang ke tanah Jawa, menjelang seperempat abad terakhir abad ke-19.

Demikian dulu. Mudah-mudahan dapat segera disambung terkait dengan sosok Syekh Abdul Muhith Panji As Siduarjuwi dan hal-ihwalnya yang selama ini belum dikenal oleh publik Sidoarjo secara luas, juga kitab-kitab yang diajarkan Syekh Abdul Muhith kepada Syekh Yasin Padang. (*)

Siwalanpanji, 2021

Mashuri, Penulis, Peneliti Sastra di Balai Bahasa Jawa Timur.

Terkait

Uswah Lainnya

SantriNews Network