Relasi Pendidikan Politik bagi Pemilih Berbasis Netizen

Oleh: Anwari

MOMENTUM politik tahun 2018 adalah pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di 171 daerah dengan rincian 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Sementara itu diperkirakan warga Negara Indonesia yang akan berpartisipasi dalam pemungutan suara sekitar 160 juta. Pencoblosan serentak dilaksanaan pada tanggal 27 Juni 2018.

Dari jumlah tersebut sekitar 19 % atau 30.155.719 terdaftar sebagai pemilih dalam pilkada Jawa Timur, sedangkan dari total 30 juta tersebut sekitar 1,8 juta sebagai pemilih pemula. pada pelaksanaan pilkada serentak 2018 mendapatkan perhatian tentang maraknya penyebaran berita bohong/hoax di media sosial.

Sesaui PKPU No 4 Tahun 2017 tentang kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil gubernur , Bupati dan Wakil bupati, atau Wali kota dan Wakil wali kota pasal 47 parpol atau gabungan parpol, pasangan calon dan/atau tim kampanye dapat membuat akun resmi di media sosial untuk keperluan kampanye selama masa kampanye.

Peraturan tersebut diharapkan dapat meminimalisir penyebaran berita hoax oleh tim paslon, tetapi realitanya di lapangan, berita hoax yang beredar di dunia maya dilakukan oleh para pendukung salah satu calon dan oknum tertentu yang sengaja ingin mengadu domba antar pendukung calon, sehingga mengakibatkan kegaduhan yang mengancam keutuhan demokrasi.

Menurut Anggota Bawaslu RI, Rahmad Bagja, daerah yang tingkat penyebaran berita hoax-nya akan tinggi saat perhelatan pilkada 2018 terdapat di enam daerah yang rentan dibanjiri berita hoax diantaranya ; Jawa timur, Jawa Barat, Jawa tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Kalimanatn Barat (7/2/2018). Sedangkan menurut komisioner KPU RI Pramono Ubaid menyampaikan bahwa berita hoax di pilkada sebagai kejahatan demokrasi yang luar biasa (8/2/2018).

Pernyataan tersebut ternyata memang menjadi alarm bahwa pilkada jatim yang termasuk daerah rawan penyebaran berita hoax. Mendekati hari pencoblosan beredar di media sosial tentang pro dan kontra beredarnya spanduk yang bertuliskan fatwa yang berindikasi di pasang oleh salah satu tim kandidiat.

Hal tersebut sangat mengkwatirkan dalam penanaman pendidikan politik di Jawa timur. Para pengguna media sosial saat ini di dominasi para pemilih muda yang sangat rentan dipengaruhi oleh berita hoax. pada posisi seperti ini para netizen atau warga internet khususnya pemilih muda di tuntut lebih bijak dalam melihat permasalahan tersebut.

Menurut laporan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) tahun 2017 Pengguna internet di Indonesia mencapai 143 juta, sedangkan dipulau jawa mencapai 57,70, pengguna internet di Indonesia usia 19-34 tahun mencapai 49,52 % dari jumlah tersebut tentunya akan meningkat pada tahun 2018. Hal ini bisa menjadikan internet sebagai salah satu instrument dalam menyampaikan pesan tentang demokrasi, khususnya dalam perhelatan pilkada 2018.

Sedangkan dalam beberapa kesempatan KPU RI menyampaikan bahwa ada 2 segmen baru sasaran sosialisasi pemilihan dan pendidikan pemilih pada pilkada serentak 2018, pertama, segmen pendidikan pemilih berbasis keluarga, kedua segmen netizen atau warga internet. Selama ini memang pendidikan pemilih sudah diarahkan kepada segmen pemilih pemula, pemilih muda, pemilih perempuan, pemilih penyandang disabilitas, pemilih berkebutuhan khusus, kaum marjinal, komunitas, relawan demokrasi dan agama.

Yang menjadi menarik adalah relasi pendidikan pemilih dengan segmen netizen atau warga internet, karena kita ketahui bahwa hampir semua pemilih pemula yang masuk kategori pemuda bisa dengan mudah mengakses internet melalui media sosial.

Pendidikan pemilih bagi netizen memang bisa lebih mudah dikarenakan dalam hitungan detik sudah bisa diakses oleh mereka, disatu sisi netizen bisa dengan mudah disusupi black campaign oleh pihak-pihak yang menginginkan pilkada tidak berjalan secara jurdil dan fair.

Mendekati pemilihan kepala daerah sudah banyak berita hoax, black campaign yang sengaja disebar di berbagai media sosial, hal ini sangat menghawatirkan bagi demokrasi. Berdasarkan hasil penelitian mahasiswa UGM 2017 di pilkada DKI Jakarta menyebutkan bahwa pemilih muda yang aktiv menggunakan media sosial sebanyak 1.990.390 mereka terdaftar sebagai pemilih dan berusia 17-30 tahun, media sosial memberikan pengaruh terhadap pemilih pemula dalam menentukan pilihan politiknya.

Jadi, pemilih tidak hanya cerdas, selain anti money politic, tidak asal pilih, memahami visi, misi para calon, yang tidak kalah penting adalah para pemilih harus bisa mengidentifikasi informasi yang menyebar di media sosial, sehingga sebagai pemilih dengan segmen netizen tidak terpengaruh oleh pihak-pihak yang dengan sengaja menyebarluaskan informasi bohong/hoax.

Media sosial seyogyanya dijadikan jembatan komunikasi yang efektif bagi KPU Jawa Timur untuk lebin intens memberikan sosialisasi tentang pilkada, sedangkan bagi Bawaslu Jatim agar cepat merespon jika terjadi penyebaran berita hoax di media sosial, supaya berita tersebut tidak menjadi bola liar yang akan merugikan salah satu kandidat.

Para kandididat dan tim pemenangan dan atau relawannya di Jawa timur untuk menyampaikan pesan yang edukatif, visi, misi dan program-program unggulan, bukan pesan yang menjatuhkan salah satu kandidat. Tim pemenangan dan relawan yang menyampaikan pesan melalui media sosial, internet, FB, IG tweteer dan lainnya seharusnya menjadi pemandu untuk memberikan pendidikan politik yang santun menjunjung perbedaan, diperlukan sebuah kreatifitas/inovasi agar panggung media sosial bisa dikuasai, sehingga siapa yang menjadi penguasa medsos mampu meraih dukungan sebagai penentu kemenangan di pilkada. (*)

Anwari, Manager Pendidikan Pemilih JPPR Jawa Timur.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network