Buka Tanwir II Aisyiyah, Haedar Nashir: Nabi Larang Berlebihan Dalam Beragama

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir saat sambutan pada pembukaan Tanwir II Aisyiyah di kampus Unisa Yogyakarta, Sabtu, 16 Nopember 2019 (santrinews.com/suaramuhammadiyah)
Yogyakarta – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir memaparkan perspektif Islam Berkemajuan dalam manhaj pemikiran Muhammadiyah. Menurut Haedar, Islam Berkemajuan bukan mazhab, melainkan perspektif atau manhaj Muhammadiyah yang menjadi satu kesatuan dari manhaj tarjih.
Pertama, Islam Berkemajuan itu merujuk pada Alquran dan Hadis dengan mengembangkan ijtihad sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
Hal ini dilakukan Muhammadiyah dari sejak kelahirannya. Dalam mengembalikan masyarakat yang jumud dan keterbelakangan, Muhammadiyah melakukanya dengan gerakan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah untuk melahirkan kemajuan.
“Di sinilah kemudian disebut Islam sebagai Agama Kemajuan,” kata Haedar saat sambutan pada pembukaan Tanwir II Aisyiyah di Auditorium Gedung B Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Sabtu, 16 Nopember 2019.
Pembukaan Tanwir Aisyiyah ini dihadiri oleh Menko PMK Muhadjir Effendy, Kapolda DIY Ahmad Dhofiri, dan seluruh Pimpinan Wilayah Aisyiyah se-Indonesia.
Kedua, kata Haedar, melakukan pendekatan secara Bayani, Burhani, dan Irfani. Di mana irfani erat kaitanya dengan semangat spiritualitas ihsan. “Ini menjadi penting dalam menyikapi berbagai perubahan pandanga yang terjadi akhir-akhir ini,” tegasnya.
Salah satunya ialah menyikapi perubahan semangat beragama masyarakat sebagaimana sekarang ini. Di satu sisi layak memberikan apresiasi atas semangat beragama ini dengan banyaknya jamaah haji dan umrah termasuk gerakan shalat berjamaah.
Umumnya ini dilakukan oleh mereka dari kalangan ekonomi menengah ke atas yang untuk mengisi kegoncangan, mereka menjadikan agama sebagai kanopi suci. Tapi pada sisi lain, semangat beragama yang berlebihan juga kurang baik.
Haedar mencontohkan, sebagaimana putusan tarjih, bahwa aurat perempuan itu seluruh tubuh kecuali tangan dan muka. “Maka lebih dari itu tidaklah sejalan dengan Alquran dan hadits,” tandasnya.
Sampai akhirnya, semangat ini dijadikan sebagai gerakan hijrah. Bahkan gerakan ini merambah kepada cara berpakaian. Padahal, Haedar mengingatkan, perbuatan berlebihan ini dilarang oleh Nabi.
“Ekstrem atau Ghuluw pernah ditegur Rasul. Suatu hari dalam ibadah lempar Jumrah Nabi menemui orang yang terlalu bersemangat dalam menjalankanya, kemudian Nabi bersabda: engkau jangan berlebihan, dalam beragama,” jelasnya.
Islam berkemajuan juga menegakkan al-amru bil ma’ruf wa nahyu ani al-munkar. Tampil sebagai contoh yang baik sangati penting, tapi juga harus tetap menegakkan amar makruf nahi munkar.
“Orang bisa salah, kebijakan pemerintah bisa salah. Di saat itulah Muhammadiyah dan Aisyiyah tampil untuk membenahi yang salah dengan prinsip bi al-hikmah wa al-mauidah al-hasanah wa jadilhum billati hiya ahsan,” tukasnya.
Prinsip bi al-hikmah ini, kata Haedar, tidak identik dengan kelemahan. Melainkan bahkan bisa menjadi kekuatan. Lihat apa yang dilakukan Rasul dalam berdakwah.
Terakhir, Islam berkemajuan dekat dengan budaya Musyawarah dalam menyelesaikan masalah. Musyawarah sudah menjadi prinsip dan budaya Muhammadiyah dan bangsa. Semangat Musyawarah adalah seperti mengambil madu dari sarang lebah. Susah tapi hasilnya sangat bermanfaat.
“Salanjutnya, Tawakkal alallah. Ketika kita sudah berusama semaksimal mungkin dan berupaya dengan sebaik-baiknya, maka selanjutnya adalah berserah kepada Allah,” pungkasnya. (shir/hay)