Kriteria Teman Sejati

Judul: Temanmu, Bahagiamu
Penulis: Syekh Mustafa Al-Adawi
Penerjemah: Muh. Arbi Thalib
Penerbit: Tinta Medina, Solo
Cetakan: I, Desember 2013
Tebal: xiv + 170 halaman
ISBN: 978-602-9211-94-8
Peresensi: Abd Basid

MANUSIA sebagai makhluk sosial pasti tidak akan lepas dari interaksi antara satu sama lain. Dari interaksi itulah terjadi saling mengenal, dan bahkan saling mencinta.

Karena itu, manusia tidak bisa hidup sendirian, jauh dari “peradaban.” Dengan kata lain, kehadiran seorang teman atau pendamping menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa dielakkan.

Meskipun demikian, bukan berarti setiap orang bisa menjadi teman. Untuk kemapanan sebuah interaksi, dibutuhkan seorang teman yang tidak sembarang teman. Alangkah indahnya jika orang yang kita jadikan teman adalah mereka yang mempengaruhi kita dalam kebaikan, bukan sebaliknya.

Buku “Teman, Bahagiamu: Langkah Pasti Menemukan Teman Sejati” bisa dan cocok menjadi referensi untuk mencari teman sejati yang senantiasa mengingatkan kita kepada Allah, menjadi motivator dalam berbuat kebaikan, dan mencegah dari hal-hal yang dibisikkan setan.

Mencari teman sejati ini penting karena jika kita salah memilih teman, maka akibatnya pergaulan, sikap, dan perkataan kita bisa tak terkontrol dan menyimpang dari tatakrama dan etika semestinya. Lebih-lebih di zaman modern yang penuh dengan fitnah, di mana apa-apa gampang terjadi dan segalanya mudah terfasilitasi.

Sebagai solusi untuk mencari teman sejati, buku ini menguraikan bagaimana semestinya kita mencontoh pribadi Rasulullah SAW dalam memilih teman. Mulai dari yang paling sederhana hingga teman yang akan kita jadikan pasangan hidup abadi, di dunia dan akhirat.

Ada beberapa tips yang dipaparkan penulis buku ini untuk memilih dan mencari teman sejati. Sejauh pengamatan peresensi, setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, tidak berteman dengan orang jahat. Ketidakbolehan bergaul dengan orang jahat ini dikarenakan khawatir kita terpengaruh terhadap perilaku jahat yang mereka lakukan.

Teman yang tidak baik (jahat) memililiki bahaya yang sangat besar, bahkan bisa menyebabkan seseorang berpaling dari agamanya dan terjebak dalam kemaksiatan dan perbuatan buruk. Seperti yang digambarkan dalam kisah Al-Qur’an surat Al-Furqan: 27-29 (hal. 44).

Kedua, bergaul dengan orang shalih. Pentingnya berteman dengan orang shalih ibarat seseorang yang sedang duduk bersama penjual minyak wangi. Meskipun ia tidak memakai parfum, maka ia pasti akan kecipratan harum wewangiannya. Begitu juga, anjuran berteman dengan orang shalih ini dengan harapan nantinya bisa kecipratan amal baiknya sehingga kita bisa semakin dekat dengan Allah dan suka beramal shalih. Dalam hal ini Rasulullah bersabda, “seseorang akan bersama dengan yang dicintai” (HR. Bukhari). Dengan demikian, siapa yang berteman dan mencitai orang shalih, maka ia nanti akan dibangkitkan besama mereka (hal. 107).

Ketiga, selektif memilih orang-orang dekat. Dalam artian tidak sembarangan memilih orang-orang atau sesuatu yang senantiasa berada di sekeliling kita, seperti memilih pasangan hidup, pembantu, tetangga, sopir, dan bahan bacaan. Mereka semua adalah teman dekat kita yang bersentuhan langsung dalam kehidupan sehari-hati.

Untuk itu, kita harus hati-hati dalam memilihnya. Istri-suami, pembantu, tetangga, sopir, dan buku yang baik adalah mereka yang mengingatkan kita kepada Allah, sunnah Rasul, dan segala sesuatu yang bermanfaat bagi agama, dunia, dan negara (hal. 145-170).

Tidak sekedar tips, buku ini juga memberikan sifat dan kriteria teman sejati, yang secara sederhana bisa dicirikan; pertama, teman sejati akan senantiasa mendoakan dan memintakan ampun untuk temannya. Hal ini seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah yang dengan senang hati mendoakan sahabat Abbad di saat Rasulullah mendengarnya membaca Al-Qur’an dan shalat di masjid, seraya ia berdoa “semoga Allah merahmati orang itu (Abbad). Sunguh ia telah mengingatkan aku tentang ayat ini dan itu yang aku telah lupa dari surat ini dan itu” (HR. Bukhari).

Kedua, teman sejati akan mengingatkan kita kepada Allah. Seperti kisah Abu Bakar ketika bersama Rasulullah SAW di gua Hira’ bahwasanya ketika rasa takut mulai merasuk ke dalam diri Abu Bakar karena di kepung orang kafir Quraisy, Rasulullah berkata kepada Abu Bakar, janganlah bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.

Ketiga, teman sejati akan mengingatkan temannya kepada kitab Allah. Atas perhatian ini, Umar bin Khattab lebih memilih para menteri dalam pemerintahannya dari mereka para penghafal Al-Qur’an dengan harapan mereka bisa senantiasa mengingatkannya kepada Allah dan menjelaskan makna-makna Al-Qur’an.

Untuk menguatkan semua pemaparan dalam buku ini, penulis menyajikan contoh-contoh pertemanan para sahabat, tabi’in, dan tabiit tabi’in serta pengaruh yang ditimbulkannya. Misalnya, seperti Imran bin Hattan, salah seorang tabi’in, yang pada akhirnya menjadi pencela Ali bin Abi Thalib akibat pertemanannya dengan perempuan cantik bermadzhab khawarij.

Kisahnya, pada awalnya Imran bin Hattan adalah lelaki Sunni dan mempunyai akhlak mulia, namun setelah menikah dengan sepupunya yang bermadzhab khawarij, dia terpengaruh dan pindah aliran menjadi khawarij, sehingga ia sering mencela Ali bin Abi Thalib dengan syair-syair gubahannya (hal. 10).

Sebagai testimoni, buku ini sangat cocok untuk dijadikan bahan bacaan bagi semua kalangan, lebih-lebih di zaman modern ini di mana segala interaksi dan hubungan sosial antar sesama semakin komplek dan sangat sensitif. Selamat membaca! (*)

Abd Basid, alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum, Bata-Bata, Pamekasan.

Terkait

Buku Lainnya

SantriNews Network