Karna Indonesia

Karna pun tak beranjak dari dari pijakannya, mendengar wejangan ibunda tercintanya, sang Dewi Kunti. “Wahai anakku bergabunglah engkau dengan saudara mudamu, Puntadewa, Janaka, Werkudara, Nakula dan Sadewa, mari rebut nusantara dari rezim pemerintah sehingga tak ada pertumpahan darah antar saudara”. Karna pun diam membisu seraya memandangi senja merah putih cakrawala.

Kunti kembali berwejang, “Bung Karna sang pemilik senjata kuntawijayandanu, bukankah pemerintahan rezim duryudana telah menjatuhkan hak-hak para pandawa sebagai pewaris tahta nusantara?”

“Wahai ibu pertiwi, mengapa dulu engkau hanyutkan daku tatkala engkau masih menjadi penghuni kasta istana?, engkau malu mengakui daku sebagai putra pertiwimu?, mengapa justru seorang rakyat jelata yang keseharianya mengais reziki di pematang sawah yang rela merawat kehidupanku?

Hingga seiring waktu justru Prabu Duryudana yang merelakan untuk membantu keluarga baruku dan membiayai kebutuhan keseharian kami, bahkan daku diangkat menjadi komandan tentara kepercayaan Duryudana junjunganku sebagai pengabdian membela tanah air tercinta.

“Kau bilang duryudana rezim, diktator, kafir duhai ibu pertiwiku!, lantas kemana engkau selama ini, kemana saudara-saudara kandungku, mengapa daku engkau jungkalkan pada kasta bawah rakyat jelata, sekarang ketika daku telah kembali beranjak di kasta atas engkau pinta daku kembali ke oposisi pemerintahan, engkau ini bagaimana atau aku harus bagaimana?”

Mendengar wejangan balik Bung Karna, Dewi Kunti yang kerap dianggap sebagai wanita putih tersebut pun diam membisu, seraya menyesali perbuatan biadabnya kala berkuasa sebagai putri di istana. “ Putra pertiwiku, nasi telah menjadi bubur, baiklah kuterima kenyataan realita bahwa paradigma kita berbeda, jalan ideologi kita memang tak dapat disatukan dengan bujuk kata, jika memang demikian realitanya maka perang kurushetra nusantara akan menyambut kita.”

Tatkala tiba, di gelanggang kurushetra Bung Karna dengan kereta kencana bercorak garuda berhadapan dengan saudara mudanya Janaka pemilik panah Gendewa dan Sarung Kuntawijayandanu kepunyaannya yang didapat dari perkelahian dengannya di kawah Chondrodimuko tatkala Gatot Koco lahir.

“Wahai kakak Karna mengapa engkau membela pemerintahan duryudana yang menindas hak-hak keluarga pandawa, apa alasanmu mengabdi pada rezim duryudana sang diktator.”

“Wahai Janaka adik ketigaku, aku tak butuh panjang alasan untuk berkata mengapa aku membela negaraku, apa engkau lupa wejangan karma balas budi pada si pemberi, daku lahir di negeri ini, tidur berselimut langit negeri ini, makan dan minum dari produk negeri ini, aku jadi seperti ini juga karena negeri ini, jadi salahkah aku membela panji sakti negeri ini?, mati pun bukan menjadi masalah asal demi mengabdi pada negeri ini.”

Perang dua senjata sakti pun tak bisa dielakkan, bentrokan panah merah Kuntawijayandanu melawan panah putih gendewa pun berterbangan di lapangan kurushetra di bawah langit senja merah putih. Kedua kesatria sangatlah tangguh keduanya saling mengujam panah dan pedang satu sama lain, hingga pada akhirnya takdir tak sesuai dengan kemauan Bung Karna untuk terus mengabdi berperang, kereta tumpangannya terperosok genangan lumpur Kurushetra.

Usahanya mendorong kereta pun disambut dengan panah sakti gendewa Janaka menembus bagian belakang tubuhnya. Gugurlah Bung Karna sang pembela negeri tercinta, sang pengabdi tanpa jasa yang bahkan rela bertempur melawan saudaranya demi membela panji sakti negerinya. Negeri dimana ia dilahirkan, negeri dimana ia dibesarkan, negeri dimana ia mendapat sandang dan papan, negeri dimana ia mendapat kebebasan akan kreatifitas tanpa batasan, laksana panji sakti negeri Indonesia tercinta. (*)

Rizal Nanda Maghfiroh, Alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang.

Terkait

Cerpen Lainnya

SantriNews Network