Nur

Gambar ilustrasi, berjudul "Kontemplasi#2" karya FX Supriadi (tembi.net/santrinews.com)

Langit sore menumpahkan cahaya kuning kemilau. Dan sunyi, perlahan tumbuh di jalan setapak, di deretan rumah dan toko para penduduk, di pepohonan mahoni, di bangku tua yang menghadap ke arah matahari hampir terbenam.

Sunyi pun tumbuh di antara aku denganmu yang sama-sama terdiam. Tidak tahu harus memulai percakapan. Sebab, bertahun-tahun hasrat diperam dalam keperihan. Sungguh. Aku tidak tahu arti pertemuan ini. Apakah ini sebuah malapetaka atau sebuah jalan untuk menyatukan dua hati yang sempat terhalang.

Ya, di bawah pohon mahoni inilah kenangan demi kenangan sempat kurajut bersamamu, lelaki yang kupasrahkan memiliki hatiku utuh, lantaran ketampanan dan kelembutan sikap. Sepuluh tahun silam, sebelum kau membawa pergi hatiku dan tak kembali. Kini, ketika siang dan malam hampir menyatu pada suatu senja, waktu mempertemukanku denganmu kembali.

Sore yang hening. Angin seakan enggan bertiup. Burung-burung mulai berhinggapan di pohon mahoni. Kau mendaratkan tatapan mata ke arahku. Namun, aku masih menunduk sebab tak kuasa memandang wajahmu. Pelan tanganmu meraba batang mahoni yang kekar dan menjulang.

“Lihatlah, meski sudah bertahun-tahun lamanya, kalimat yang kita pahat di pohon mahoni ini masih dapat dilihat,” katamu memulai percakapan.

Aku mengangguk pelan. Kau tersenyum. Duh, senyum itu masih seperti yang dulu. Senyum yang membayang di kepalaku siang-malam.

“Tulisan itu usaha kecil kita untuk mengabadikan harapan. Harapan yang sia-sia dan menjadi kenangan yang tak berarti,” sahutku lirih. Suaraku tertahan, seakan ada buah mahoni tertahan di tenggorokan.

Kau kembali menatapku dengan lekatnya, seperti mencari sisa-sisa kenangan di raut wajahku. Kau kembali tersenyum. Dan aku masih menyembunyikan kegugupan ini.

“Sungguh. Nyaris tak ada yang berubah darimu. Suaramu, kata-katamu dan caramu menyembunyikan keperihan. Tetapi aku tak ingin perih itu mendera jiwamu dan melahap seluruh rindumu.”

Aku terdiam. Air yang menampung di pelupuk mataku semakin memberat. Tiba-tiba rasa perih menenggelamkan ingatanku jauh pada masa yang silam. Sepuluh tahun yang lalu, saat kau meninggalkanku.

Seandainya, kau tidak menghilang terlalu lama waktu itu, ketika kedua orang tuamu mendesakku untuk segera menikah, lantaran mereka tidak kuat menahan malu bila anaknya menjadi perawan tua. Apalagi ditambah gunjingan para tetangga yang membuat telinga keluargaku panas, saat aku menolak setiap lamaran yang datang. Gunjingan yang menjadi kebiasaan di kampungku.

Tentu, akan lebih mudah berkelit dari mulut nyinyir para tetangga, jika kau ada bersamaku waktu itu. Aku juga tidak perlu kabur dari rumah untuk mencarimu, hingga menambah malu keluarga.

Duh, kau tahu sendiri orang kampung semisal kedua orang tuaku. Malu mendarah daging bila anaknya menjadi perawan tua. Tidur tak nyenyak, makan pun tak nyaman, keluar rumah hanya menambah berat kepala ketika mendengar orang-orang bergunjing seperti tanpa dosa.

“Kau sudah banyak menolak lelaki. Padahal umurmu terus bertambah. Jika kau sudah keriput, siapa yang mau melirikmu.”

“Seusiamu sudah pantas punya anak.”
“Kapan kau mau menikah?”
“Jangan sok jual mahal.”
“Kau mau cari calon suami yang seperti apa? Anak petani masih milah-milih.”

Sungguh. Aku semakin sedih. Gunjingan-gunjingan orang membuatku gelisah dan serba salah. Sementara kabar tentangmu tak pernah sampai padaku.

***
Hari berganti hari. Hingga minggu dan bulan berlalu aku tetap menunggumu. Tapi, kau tak kunjung datang. Selembar surat yang sangat kuharapkan tentang kabarmu pun tak ada. Namun, aku yakin kau pergi bukan tanpa alasan.

Aku tahu, kau lelaki yang sangat bertanggungjawab. Aku percaya kau akan kembali. Aku percaya kaulah jodohku. Itulah sebabnya, aku masih menyimpan cintamu selama bertahun-tahun. Aku juga menyimpan barang-barang yang kau berikan kepadaku: surat-surat cinta, sapu tangan dan selembar kerudung. Sungguh, aku sangat tidak terima saat kau dibilang pengecut.

“Kalau dia bukan pengecut, pasti dia tidak akan menghilang begitu saja,” kenangku akan perkataan bapak tentangmu.

“Aku mencintainya, Pak. Dia berjanji akan menikahiku. Lagipula, apakah aku bisa hidup bahagia dengan orang yang tidak kucintai?” ujarku lirih sembari berurai airmata.

“Ah, Nur! Tidak butuh cinta untuk menikah,” tukas Bapak ringan. Nada suaranya semakin ditekan, hingga membuat jantungku kian bergemuruh. Aku tertunduk. Satu per satu air mataku menggelinding. Sementara ibu terdiam di pojokan, menahan tangis.

“Apakah kau tidak melihat si Rahmah, Rihah, Hasanah dan Malihah? Mereka semua teman sepermainanmu. Mereka sudah menikah dengan pilihan kedua orang tuanya sewaktu mereka masih anak-anak. Buktinya, anak mereka banyak. Mereka bahagia dengan keluarganya,” tambah Bapak. Kudengar nada suaranya semakin meninggi. Urat-urat di lehernya semakin terlihat.

“Orang tuamu ini sudah tua, Nak. Sudah tidak kuat lagi berkerja,” imbuh Ibu dengan suara paraunya.

Aku tidak bisa menjawab. Kuperhatikan raut keriput kedua orang tuaku, seperti penuh kemelut. Sesekali tubuhnya terguncang-guncang lantaran batuk. Oh Tuhan, apa yang harus kuperbuat? Rintih batinku sesekali.

Esok harinya, dengan hati hancur dan terpaksa, aku terima lamaran lelaki pilihan kedua orang tuaku. Dialah Mahmud. Orangnya baik dan sopan. Dia tak pernah berkata kasar kepadaku sejak pertama kali bertemu, sampai kami menikah. Dia juga tak pernah menuntut haknya sebagai suami, ketika aku belum bisa menerimanya. Hingga, sebuah petaka menimpa keluargaku. Kedua orang tuaku meninggal dalam sebuah kecelakan. Dan Mahmud tak henti-hentinya menguatkan hatiku.

Lama-kelamaan hatiku luluh oleh kebaikannya. Ada rasa yang perlahan tumbuh di hatiku. Aku mencoba menerima keadaan ini. Aku menjadikan Mahmud sebagai pegangan dalam hidupku.

Selama ini, dia menjadi suami yang baik, hingga Hany, anakku yang pertama lahir. Sungguh, rasanya tak mungkin aku menjadi seperti saat sekarang, jika bukan hasil dari kerja kerasnya. Gelang, anting, kalung, mobil dan barang-barang berharga milikku lainnya, dialah yang membelikannya. Dia seorang guru di sebuah pesantren. Tetapi, di luar rutinitasnya sebagai seorang guru, dia juga menjalankan usaha batik di Kota Pamekasan.

Setahun-dua tahun, hingga tahun-tahun berikutnya keluargaku tercukupi, bahkan lebih. Lalu Haidar, anakku yang kedua menambah keceriaan dan kebahagiaan keluargaku. Dari hasil tabungannya, suamiku membeli sebidang tanah untuk membangun toko batik di Sumenep, kota kami sekarang. Ya, keluarga yang kubangun dari desakan kedua orang tua, nyaris tanpa hambatan. Tapi, diam-diam aku masih menyimpan cintamu, serta kenangan-kenangan itu.

Sampai datang hari durhaka itu, aku bertemu denganmu dalam sebuah reuni pondok pesantren tempat kita menimba ilmu, setelah sepuluh tahun tak ada kabar tentangmu. Sungguh, jantung ini seperti hendak copot saat tak sengaja menatapmu di antara riuh kawan-kawan kita yang asyik bernostalgia.

Tiba-tiba kau berjalan ke arahku, lalu mengajak duduk di sebuah bangku. Kau menatap mataku yang perlahan berkaca-kaca. Dan aku mencoba merahasiakan kegugupan waktu kau meraih tanganku. Lirih kudengar kata-katamu seperti tersendat. Kau meminta maaf karena pergi tanpa pamit dan memberi kabar. Kau juga bilang sempat depresi beberapa tahun lamanya ketika mendengar kabar tentangku yang menikah dengan orang lain.

Baru tiga tahun terakhir ini, kau memutuskan untuk beristri, namun pikiran dan hatimu masih tertambat padaku. Mengenai kepergianmu, tebakanku tidak meleset. Kau pergi lantaran sindiran kedua orang tuaku yang tak setuju dengan hubungan kita, karena kau tidak punya apa-apa, bahkan orang tuamu menjadi buruh tani. Lalu kau pergi mencari pekerjaan ke kota Jiran.

Aku terkejut dan merasa iba. Rasa senang dan sedih pun tumpang tindih, berebut tempat di hatiku: senang karena kau sudah kembali dan masih menaruh hati padaku, tapi aku juga merasa sedih bila mengingat keadaanku sebagai seorang ibu dan istri. Aku mengerti bagaimana penderitaanmu selama ini. Sebab, aku mengalami perasaan yang sama. Tetapi, pernikahanku dengan Mahmud berjalan baik dengan dua anak yang sekarang menempuh pendidikan di MTs. dan SD.

Ya, merekalah yang selalu menghentikan langkahku untuk memilih hidup besamamu. Tapi, cintamu yang diam-diam kusimpan bersama kenangan-kenangan di lemari kayu di kamarku, semakin membuatku gelisah.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, aku selalu memikirkanmu. Aku sengaja mengambil alih semua pekerjaan pembantu rumahku. Aku ingin menyibukkan diri dengan mencuci semua perabotan dapur agar tidak selalu memikirkanmu. Tetapi, wajahmu seperti menempel di mana-mana: di piring, di sendok, di garpu, di mata-pisau, di gelas, di bak mandi, di cermin, di dinding, di bantal. Wajahmu seperti menempel di langit-langit kamarku.

Keadaan seperti ini membuat pikiranku gusar dan hatiku semakin remuk. Apalagi ketika kubuka lemari dan kubaca kembali surat-suratmu yang kusimpan rapi itu. Pesan pendekmu yang diam-diam kusimpan dan kubaca berulang-ulang, membuat dadaku sesak. Buru-buru kucari tempat yang sepi untuk sekedar menangis.

Sungguh. Akhir-akhir ini, pikiran buruk itu selalu menghantuiku. Niatku untuk bercerai dan menjalani hidup baru denganmu seperti mendapat jalan. Tetapi, bagaimana dengan Hany dan Haidar? Bagaimana pula dengan Mahmud, suami yang pandai mengendalikan marahnya padaku? Apalagi, Mahmud seperti mulai mencium gelagat tidak baikku. Akhir-akhir ini, dia lebih sering pulang malam dan menjadi sangat pendiam.

***
“Nur, apa yang kau pikirkan?” tanyamu. Seketika lamunanku buyar. Aku mengangkat wajah, memberanikan diri untuk menatapmu kembali.

Pelan kau meraih tanganku yang gemetar. Aku tak berkutik. Air mataku seperti memberat. Kau mencium kening dan memelukku. Pelukanmu masih sehangat dulu. Perlahan air mataku menggelinding satu per satu. Tetapi, aku segera melepaskan diri dari pelukanmu.

“Hamid, apakah jalan cerai untuk hidup bersamamu adalah yang terbaik buat keluargaku? Begitu juga bagi keluargamu? Dalam hidup, bukankah kita harus mencoba untuk tidak egois?” ujarku lirih, mencoba untuk tetap tegar.

Kuperhatikan tatapanmu yang menjadi gusar. Senyummu pun padam seketika. Pelan kau meraih tanganku kembali. Tapi aku cepat menghindar.

“Nur, apakah itu berarti kau tidak mau menjalani hidup ini denganku?” tanyamu lirih. Matamu terlihat berkaca-kaca.

“Banyak yang akan menjadi korban karena keegoisan ini. Aku mencintaimu, tetapi aku menyayangi anak-anak dan suamiku. Sebagai perempuan, aku juga dapat merasakan bagaimana hancurnya hati istrimu, jika kau meninggalkannya,” jawabku pelan seraya tertahan.

Kau diam. Perlahan angin senja berembus. Daun-daun mahoni gugur. Senja semakin samar. Siang dan malam akan berpisah kembali layaknya pertemuan ini.

“Baiklah, jika itu keputusanmu. Sebagai permintaan terakhir, aku ingin memelukmu, meski sebentar.”

Melihat matamu yang berkaca-kaca, aku tak bisa menolaknya. Pelan kau memelukku erat. Penuh perasaan. Sungguh, jika boleh jujur aku masih sangat menyayangimu. Sebab, kaulah cinta pertamaku.

Perlahan kau melepas pelukanmu. Tiba-tiba, ada rasa perih yang tak bisa tertangguhkan lagi di dadaku. Dan kau beranjak dari bangku tua, pergi meninggalkanku. Sementara aku bergegas pulang.

Sesampainya di rumah malam terasa sunyi sekali. Detak jarum jam seperti menikam. Aku langsung menuju ke kamar Mahmud. Kulihat ia sedang mendongeng dan Haidar hampir lelap di pelukannya. Pelan aku berbaring di sampingnya.

***
Hari masih pagi benar. Tiba-tiba raung ambulan di halaman memecah sunyi. Kulihat dari jendela kamar beberapa orang keluar dari ambulan itu, sembari mengusung mayat seorang perempuan. Aku segera keluar dan menghampiri Mahmud.

“Siapa yang meninggal?” tanyaku pada Mahmud.

Ia diam. Matanya berkaca-kaca.

“Nur, aku tidak menyangka kau akan begitu cepat meninggalkan kami,” Mahmud berkata lirih. Air matanya mengucur. Sementara Haidar digendong oleh ibu mertuaku. Dan Hany menangis di sisi Mahmud.

Sungguh. Aku terkejut bukan main ketika kulihat mayat itu. Kudapati tubuhku terbujur kaku. Lalu aku mencoba mengingat kembali detik-detik terakhir kebersamaanku dengan Hamid.

Sebelum Hamid meninggalkanku pulang, dia memelukku erat. Kemudian dia melepaskan pelukannya. Tiba-tiba dadaku terasa perih. Bukan karena rasa takut akan kehilangannya, melainkan ada benda tajam yang merobek dadaku, menembus jantungku. (met)

Yogyakarta, 2013

Faruqi Umar, Lahir di Sumenep Madura. Sekarang tercatat sebagai mahasiswa Sosiologi Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Terkait

Cerpen Lainnya

SantriNews Network