Palu Godam bagi Kami
Oleh: Wahyudi Kaha
DI SUDUT rumah, Bapak kami yang pendiam memainkan rokoknya di sela-sela jari tangan. Kerutan-kerutan hitam di dahi Bapak yang saban hari bekerja sebagai buruh tani sekaligus penarik becak kian hari kian tebal. Setebal keinginannya memberikan yang terbaik buat keluarga.
Setiap kali Bapak pulang kerja, kami selalu menyambutnya dengan suka cita. Meski bapak jarang bicara, bahkan tak segan-segan melayangkan sandalnya bila aku dan Sanah kurang ajar, kami yakin kasih sayang Bapak pada keluarga amatlah besar. Dan itu sudah Bapak buktikan.
Menurut cerita Ibu, biaya yang Bapak keluarkan untuk proses kelahiranku tidaklah sedikit. Meski tentu saja, masih lebih besar pengorbanan Ibu yang mempertaruhkan nyawanya. Ibu harus menjalani operasi karena posisiku yang nyungsang. Uang sepuluh juta itu Bapak dapatkan dari mengutang pada Haji Sanhaji. Padahal semua orang di kampung kami tahu betapa celakanya mengutang pada Haji Sanhaji.
Bunga hutangan tidak akan sanggup Bapak bayar meski dengan hasil menarik becak dua minggu tanpa istirahat. Keputusan pahit itu tetap saja Bapak ambil. Demi nyawa Ibu, juga keselamatanku. Maka aku setuju saat Ibu bilang, “Bapak seperti pelita yang senantiasa menerangi keluarga. Bapak tidak pernah menuntut balasan walau sudah banyak berkorban.”
Dua puluh tahun sudah usiaku, tapi hutang keluarga pada Haji Sanhaji tak kunjung terbayar. Alih-alih lunas, biaya merawat-menginap Sanah di rumah sakit dua bulan lalu menambah bengkak catatan hutang keluarga. Lagi-lagi keputusan tegas Bapak telah menyelamatkan Sanah dari serangan penyakit demam berdarah yang ganas.
Enam hari Sanah mesti dirawat inap di rumah sakit, hari ketujuh sudah boleh dibawa pulang. Bapak tersenyum –senyum yang jarang sekali kami lihat− melihat Sanah bisa kembali sehat.
Sebantar saja senyum Bapak bisa kami lihat. Kedatangan Haji Sanhaji ke rumah di hari berikutnya merenggut kembali senyuman itu. Tidak hanya Bapak, wajah ceria Ibu juga mendadak terlihat memucat. Haji Sanhaji menarik piutang dan bunganya segera. Haji Sanhaji butuh banyak uang untuk biaya pendaftaran PNS anaknya.
“Tidak ada cara lain, Kak. Kita harus terima tawaran dari Kak Maksan di Malaysia. Ada pekerjaan nyaman buat kita berdua katanya. Gaji hariannya juga jauh lebih mahal daripada kerja jadi buruh tani di sini.”
“Tapi bagaimana dengan nasib anak-anak, Minah?”
“Anak-anak kita titipkan dulu sama Bapak dan Ibu. Biar saya nanti yang meminta beliau ke sini. Merawat Muna dan Sanah.”
“Tapi, Minah…”
“Sudahlah, Kak. Tidak ada pilihan lain. Kak Mad sendiri kan yang menyerahkan sertifikat tanah kita sebagai jaminan? Kalau dalam waktu dua tahun kita tidak bisa melunasi hutang, Haji Sanhaji berhak atas tanah kita. Itu artinya kita harus angkat kaki dari rumah kita sendiri.”
“Kenapa harus jauh-jauh ke Malaysia? Apa tak ada pekerjaan yang gajinya juga mahal di sini?”
“Kalaupun ada, pekerjaan itu bukan untuk kita, Kak. Kita sama-sama tak punya ijazah.”
Dari beranda yang juga berfungsi sebagai ruang tamu, kami berdua hanya bisa memandang tanpa ikutan berkomentar. Bapak masih memutar-mutar rokoknya di sela-sela jari tangan. Songkok hitamnya dilepas seolah hendak melepas beban pikiran.
Ibu segera tahu apa yang harus Ibu lakukan. Tanpa diminta Ibu segera ke dapur untuk membuatkan kopi kesukaan Bapak. Tapi Bapak justru mencegah langkah Ibu, “Tidak usah, Minah. Aku sedang tak ingin minum kopi. Kamu duduk saja di sini.”
Ibu urung membuatkan Bapak kopi. Seturut permintaan Bapak, Ibu duduk di sisi kami. Sanah yang belum mengerti banyak langsung duduk di pangkuan Ibu.
“Kata Kak Maksan kapan kita harus berangkat ke Malaysia, Minah?”
“Kak Maksan sudah berjanji besok mau nelpon lagi. Saya juga sudah bilang Hossinah besok mau pinjam handphone-nya. Kira-kira jam satu Kak Maksan akan nelpon. Waktu telponan kemarin, kata Kak Maksan, kalau kita memang berminat kita akan diberangkatkan dua minggu lagi. Urusan ongkos Kak Maksan yang bakal menalangi.”
“Sampaikan salamku pada Kak Maksan besok. Kita terima tawarannya, Minah.”
Aku menangkap nada datar dari perkataan Bapak. Juga dari anggukan Ibu yang lemah. Selain air mata yang menganak sungai di pipi, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Segera aku menghambur dalam pelukan Ibu, lalu kucium tangan Bapak berkali-berkali.
****
Sebuah almanak lusuh tertempel di dinding. Dari alamanak yang tak henti menghitung laju waktu itu, tercacat dua tahun sudah Bapak dan Ibu bekerja di Malaysia. Tidak secarik kertas pun kami terima sebagai jawab atas kekhawatiran kami akan kabar mereka.
Tapi kami maklum, sebab Bapak dan Ibu sama-sama tidak bisa menulis dan membaca. Hossinah juga bilang tidak pernah ada telpon lagi dari Malaysia. Kami sempat minta Hossinah menelponkan kami pada Wak Maksan di Malaysia, tapi Hossinah bilang nomer Wak Maksan sudah tidak aktif lagi. Kami hanya bisa berdoa semoga Bapak dan Ibu baik-baik saja di sana.
Semenjak Bapak dan Ibu bekerja ke Malaysia, Haji Sanhaji tidak pernah datang lagi ke rumah. Tentu saja, buat apa lagi Haji Sanhaji ke rumah? Kalau Bapak dan Ibu sudah mengirimkan gajinya langsung pada Haji Sanhaji untuk melunasi hutang, Haji Sanhaji akan merasa tidak punya urusan apa-apa lagi dengan kami.
Orang sekampung juga sudah tahu semua bagaimana watak Haji Sanhaji. Kalau tidak benar-benar perlu Haji Sanhaji sangat enggan bertegur sapa dengan orang-orang.
Tapi kenapa Haji Sanhaji belum menyerahkan sertifikat tanah yang dulu Bapak jadikan jaminan? Kalau memang hutang keluarga sudah lunas terbayar, kenapa pula Bapak dan Ibu tak cepat-cepat pulang? Ah, kami bahkan tak berdaya menghadapi pertanyaan kami sendiri. Mendadak kekhawatiran mulai melumuri hari-hari kami.
****
Selama dua tahun kepergian Bapak, Kakeklah yang menggantikan Bapak menjadi pelita dalam keluarga kami. Kakek tidak membiarkan begitu saja becak peninggalan Bapak menganggur. Setiap hari, pagi-pagi sekali Kakek akan mengayuh becak tua kami ke Pasar. Dan Nenek akan menggantikan tugas yang biasa Ibu selesaikan di dapur.
Sebagai anak yang paling tua aku memang memegang peranan ganda. Kadangkala aku membantu Kakek bekerja mencari nafkah keluarga, dan lebih sering pula aku membantu Nenek menyelesaikan perkara dapur. Kalau ada tetangga sedang membutuhkan tenaga pencuci, akulah orang yang akan mereka cari.
Ya, aku membantu Kakek dengan menjadi tukang cuci keliling di kampung. Itu pun tidak setiap hari aku mendapat panggilan mencuci. Upah hasil mencuci juga tidak seberapa, hanya cukup untuk membeli lauk selama dua hari. Jadilah Kakek tetap satu-satunya sandaran hidup keluarga.
Sebulan setelah Bapak dan Ibu pergi, aku memutuskan untuk berhenti sekolah hanya sampai Aliyah kelas dua. Aku sadar, Kakek akan kewalahan bila harus menanggung biaya sekolahku dan Sanah sekaligus.
Maka kupustakan saja, biarlah Sanah yang melanjutkan sekolah. Kukira aku sudah cukup menjadi anak seperti yang Ibu harapkan: bisa menulis dan membaca.
Usai sholat subuh berjamaah pagi tadi, Kakek buru-buru melepas sarungnya. Celana komprang yang digantung di sampayan* cepat Kakek pakai. Baju takwa putih digantungkannya begitu saja di sampayan, lalu digantinya dengan kaus hijau lengan panjang. Menyusul juga topi cokelat telah Kakek kenakan supaya nanti tidak terlalu kepanasan di jalan. Kalau sudah berpakaian seperti itu, kami pun segera tahu, Kakek bakal mengayuh becak tuanya lagi ke Pasar.
“Jangan buru-buru, Kek. Ini kopinya diminum dulu…”
Nenek yang tidak ikutan sholat subuh berjamaah bersama kami tadi keluar sambil membawa secangkir kopi.
“Nanti saja, Nek, sekarang pasaran Sabtu. Orang-orang pasti sudah ramai di Pasar.” Jawab Kakek sambil terus ngeloyor pergi.
Nenek meletakkan secangkir kopi di atas meja sambil geleng-geleng tak mengerti. Ini memang baru pertama kalinya kami lihat Kakek terburu-buru pergi. Bahkan Kakek yang selalu mengingatkan kami untuk jangan lupa berdoa sebelum keluar rumah sepertinya mulai lupa pada wejangannya sendiri.
Sampai adzan dhuhur berkumandang, Kakek belum juga pulang. Kami samasekali tidak khawatir, karena seperti biasanya Kakek akan datang masih satu jam lagi. Kami bertiga sudah siap menunggu kedatangan Kakek di beranda rumah.
Secangkir kopi yang Nenek buatkan untuk Kakek pagi tadi masih utuh di atas meja. Sengaja kami tidak menyantuhnya, walau kami yakin kopi itu sudah dingin sekarang.
Ketika dari jauh Hossinah lari tergopoh-gopoh ke arah rumah kami, kekhawatiran itu mulai menemukan tempatnya.
“Innalillah. Kakek, Muna… Kakek!” suara Hossinah terputus-putus oleh deru napasnya yang naik turun.
“Kenapa dengan Kakek, Hossinah?”
“Ditabrak! Di pertigaan depan.”
Sontak kami berlari ke pertigaan depan. Benar, orang-orang telah banyak berkerumun. Air mata kami memuncak melihat becak tua Kakek telah ringsek di tepi jalan. Kami terlambat, Kakek sudah tidak ada dalam kerumunan orang.
“Bagaimana dengan Kakek saya, Paman?”
“Insyaallah menuju surga.”
Deg! Seperti palu godam, jawaban itu menghunjam ke dasar hati. Hati kami remuk redam.[*]
Pakamban, Februari 2013
*Sampayan: Tempat menggantung pakaian. Terbuat dari pintalan nilon.
Wahyudi Kaha, lahir di Sumenep, 29 Januari 1993. Santri kalong yang juga bergiat di Masyarakat Bawah Pohon (MBP) ini masih tercatat sebagai mahasiswa Aqidah dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.