MPR: Palu Arit di Eropa Jadi Souvenir, Bukan Ideologi Lagi

Ketua MPR RI Zulkifli Hasan memberi sambutan pada acara bedah buku "Selebritisasi Politik" karya Dr Sufyanto, di Graha Pena Surabaya, Kamis 12 Mei 2016 (santrinews.com/viva)
Surabaya – Ketua MPR Zulkifli Hasan menegaskan bahwa “palu arit” sebagai lambang komunis di tanah kelahiran ideologi itu di Eropa Timur sudah menjadi suvenir (cinderamata).
“Di negara aslinya sudah jadi suvenir, bukan ideologi lagi, karena kaos atau barang-barang berlogo palu arit itu sudah langka,” katanya dalam Dialog Empat Pilar Kebangsaan di Aula Garuda Mukti, Unair Surabaya, Kamis, 12 Mei 2016.
Oleh karena itu, ia berharap masyarakat untuk tidak bersikap reaktif menyikapi kasus “palu arit” akhir-akhir ini, karena “palu arit” sebagai ideologi sudah ditinggalkan di Eropa Timur.
“Jangan berlebihan, karena urusan kita juga banyak, kesejahteraan masyarakat, korupsi, darurat narkoba,” katanya dalam dialog yang juga menampilkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Rektor Unair Prof. Dr. Moh. Nasih, SE., MT., Ak., sebagai narasumber.
Dalam acara yang dihadiri ratusan mahasiswa, Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan, dan sejumlah anggota MPR Dapil Jawa Timur, seperti Eko Patrio, itu, ia mengingatkan kemungkinan ideologi komunis bangkit kembali perlu diwaspadai dengan penerapan Pancasila dalam kehidupan.
“Tahun 1960-an, Bung Karno sudah berpidato di hadapan Sidang Umum PBB. Beliau menyatakan kami tidak ikut ideologi Barat (kapitalimes/liberalisme) dan Timur (sosialisme/komunisme), kami mempunyai ideologi negara sendiri yakni Pancasila,” katanya.
Setiba di Tanah Air, Bung Karno ditanya tentang Pancasila itu. “Kalau disimpulkan dalam satu kata, Pancasila adalah kasih sayang. Kalau dirinci dalam beberapa kata, Pancasila adalah kasih sayang, kekeluargaan, gotong rotong, dan musyawarah untuk mufakat,” katanya, mengutip pernyataan Bung Karno.
Ketua Umum DPP PAN itu mencontohkan musyawarah mufakat dalam peresmian jembatan oleh Bupati Bojonegoro pada beberapa waktu lalu yang merupakan salah satu hasil musyawah mufakat.
“Dengan musyawarah mufakat, penduduk yang memiliki tanah pada dua daerah yang dihubungkan jembatan secara sukarela menyerahkan tanahnya, tanpa minta ganti rugi. Kenapa itu bisa terjadi? Itu karena musyawarah mufakat itu memang asli Indonesia,” katanya. (rus/ant)