Sebait Shalawat Sang Kiai

“Terik matahari yang menyinari dunia ini akan menjadi semangat selama mawar masih mekar. Gemericik hujan bagai kehidupan yang akan kita lalui, pelangi yang indah bagaikan hari yang telah terlewati dan akan menjadi panutan di kemudian hari.”
•••
Dia adalah sosok anak laki-laki yang dilahirkan dari keluarga yang tak mampu, belum sampai membahagiakan orang tuanya, mereka telah meninggal dunia karena melawan sekumpulan orang kejam yang membawa sebuah misi kejahatan.

Dia bagai bunga bangkai yang tak bisa berbuat apa-apa dan dia sering dihina oleh teman sebayanya, karena dia telah menjadi yatim piatu yang tak mempunyai orangtua dan tak bisa membaca serta menghafal Al-Quran. Dia malu diperlakukan seperti itu, akhirnya dia berjalan keluar kampung untuk mecari sebuah pondok pesantren. Setelah lama mencari, dia pun menemui pondok pesantren untuk mendalami ilmu agama.

Pondok Pesantren Roudlatun Nasyiin. “RONAS” sebutan familiar di mata masyarakat luar di daerahnya. Pesantren tradisional yang penuh dengan kesederhanaan di dalamnya. Pesantren itu peninggalan KH Arief Hasan, seorang pejuang Islam kala masa penjajahan ratusan tahun lalu. Alasan utamanya untuk memilih pesantren itu karena dia ingin menjalankan wasiat orang tuanya kepadanya sebelum meninggal dunia.

Saat dia melewati gerbang masuk, ada seorang santri laki-laki yang menghampirinya. “Assalamu’alaikum, anda siapa ya, kok belum pernah lihat di pesantren ini?” sapa santri itu.

“Wa’alaikumsalam, saya memang bukan santri sini, saya datang untuk memperdalam ilmu agama,” jawab dia dengan mata sayup.

“Ohh, jadi begitu ya, kalau memang kamu mau mondok, mari ikuti saya untuk menghadap kepada sang Kiai,” lanjut santri itu.

“Iya saya mau,” jawab dia sambil mengikuti santri itu.

Setelah berjalan lama menuju ruangan Kiai, mereka pun sampai di depan ruangan Kiai. Jantungnya berdebar kencang dan keringat mengucur di tubuhnya.

“Assalamu’alaikum…” ucap santri itu sambil mengetuk pintu ruangan Kiai itu.

“Wa’alaikumsalam..” Jawab sang Kiai dari dalam sambil membukakan pintu.

“Ada apa? Kok tumben sore-sore begini manggil mbah,” (panggilan akrab untuk Romo Kiai) kata sang Kiai.

“Ini mbah ada yang mau mondok di sini,” jawab santri itu dengan sopan.

“Jadi begitu, silakan masuk dulu,” lanjut Kiai sambil senyum.

Dia bertambah gemetaran setelah masuk ruangan itu, baunya wangi minyak kasturi khas seorang Kiai. Selanjutnya dia dipersilakan untuk duduk.

“Apakah kamu yang mau mondok disini?” Ucap Kiai itu dengan nada lembut.

“Iya Yai, saya mau mondok untuk mendalami ilmu agama saya,” jawab dia dengan menundukan kepala.

“Apa alasan kamu ingin mendalami ilmu agama?” lanjut sang Kiai.

“Saya ingin menjadi muslim yang benar-benar mengerti tentang agama,Yai,” jawabnya.

“Jadi begitu ya, baiklah kamu saya terima menjadi santri disini,” sahut Kiai dengan tersenyum.

“Alhamdulillah, terima kasih, Yai,” jawab dia sambil mencium tangan sang Kiai.

“Sama-sama nak,” kata Kiai sambil mengusap rambut dia.

•••
Waktu berjalan begitu cepat dan dia pun mejadi santri RONAS. Berhari-hari dia belajar membaca Al-Quran, tapi dia tidak kunjung bisa. Sang Kiai terus bersabar dalam mengajarinya, walaupun belum ada perubahan sama sekali. Setiap selesai sholat, dia terus berdo’a supaya bisa membaca dan menghafal Al-Quran.

“Bismillahirrahirahmanirahim, Ya Allah tolong bantulah hamba-Mu ini agar bisa membaca serta menghafal ayat-ayat suci Al-Quran, hamba-Mu ini telah bersabar dalam belajar, tapi kenapa hamba tak kunjung bisa…! Kulantunkan doa dalam sujud, inginku membahagiakan orang tuaku yang sekarang berada di surga-Mu,” do’anya saat selesai shslat.

Sang Kiai pun sudah tidak sabar dalam mengajari membaca Al-Quran, malah dia disuruh untuk merawat seekor sapi. Dan dia menurut apa kata sang Kiai, karna baginya, hal itu adalah titipan penting dari sang Kiai.

“Yai, tolong ajari saya membaca Al-Quran lagi,” ucapnya dengan wajah lesu.

“Maaf nak, yai sudah tidak sabar untuk mengajari kamu, sudah hampir dua bulan kamu belajar, tapi huruf hijaiyah pun tak kunjung hafal,” jawab sang Kiai.

“Tolong Yai, saya ingin bisa membaca Al-Quran,” jawab dia sambil memelas.

“Tidak bisa nak, lebih baik kamu memandikan sapi, yang Yai kasih ke kamu,” sahut sang Kiai.

“Baik Yai..” Jawab dia sambil meninggalkan sang Kiai.

•••
Dua bulan telah berlalu…
Di balik kerjaanya merawat sapi itu, dia menghafal sebuah shalawat, yang tak lain shalawat tersebut adalah shalawat Mahalul Qiyam. Dan ternyata di benaknya, dia mempunyai keinginan untuk menjadi seorang prajurit TNI, untuk menjaga keutuhan negara, serta ingin mempunyai keberanian seperti kedua orang tuanya saat melawan penjajah. Karena ayahnya adalah seorang TNI.

“Yai, ajari saya membaca Al-Quran,” ungkap dia sambil meneteskan air mata.

“Sudah saya bilang kamu tidak akan bisa nak, kamu terlalu bodoh nak! Lebih baik kamu merawat sapi itu lagi,” jawab sang Kiai dengan murkanya.

“Baiklah, Yai,” jawab dia sambil meninggalkan Kiai itu dengan perasaan yang sedih.

Setelah beberapa hari, dia berpamitan kepada sang Kiai untuk mendaftarkan diri sebagai prajurit TNI.

“Assalamualaikum, Yai,” sapa dia kepada sang Kiai.

“Wa’alaikumsalam, ada apa lagi?,” jawab Kiai itu.

“Saya hanya ingin berpamitan Yai, saya mau mendaftarkan diri untuk menjadi prajurit TNI,” sahutnya dengan air mata yang berlinang di pipinya.

“Subhanallah nak, semoga kamu bisa selamat di medan perang, jangan lupakan Yai ya nak,” jawab Kiai dengan air mata yang jatuh.

“Iya Yai, saya tidak akan melupakan Yai,” jawabnya.

“Saya dengar kamu mencoba menghafal Shalawat Mahallul Qiyam ya nak, apakah benar?,” tanya Kiai dengan tersenyum walau air mata masih menetes.

“Alhamdulillah, iya Yai..” sahutnya dengan tersenyum.

“Ingat dan selalu bacalah sholawat itu nak, sholawat itu adalah salah satu sholawat yang Kyai Amalkan,” jawab kiai dan air matanya semakin deras.

“Iya yai, pasti akan saya ingat selalu sholawat tersebut,” sahutnya dengan tersenyum.

“Ya sudah Yai, saya berangkat dulu, Assalamualaikum..” Salam perpisahan dari beliau.

“Wa’alaikumsalam nak,” jawab Yai itu sambil mengikuti dia sampai keluar gerbang pondok pesantren.

•••
Saat yang dia tunggu telah tiba, dia lolos untuk menjadi prajurit TNI. Di markas TNI dia dididik dan digembleng dengan keras. Sebenarnya dia pernah putus asa, tapi saat dia ingat tentang pengorbanan orang tuanya, semangatnya kembali membara untuk menjadi prajurit TNI.

Berbulan-bulan dia telah menjalani pendidikan Akmil, setelah itu dia lulus dan mendapatkan pangkat bintang dua.

Seminggu kemudian dia dikirim untuk mengikuti perang, baju loreng serta senapan mesin menjadi tamengnya.

Setelah sampai di medan perang, dia membaca basmalah sebelum melawan para penjajah. Banyak temannya yang gugur di medan perang, dan tersisa empat orang, yaitu dia dan tiga temanya. Dua temanya telah tertembak lagi, kini tinggal dia dan satu temanya yang masih bertahan. Sudah dua belas jam mereka berperang dan bertahan hidup, tangan kiri temanya telah tertembak timah panas, tapi alhamdulillah mereka berdua menang dan dia tidak terluka sedikitpun.

“Kamu kok bisa tidak terluka seperti ini?,” tanya temanya.

“Aku seperti ini, karena dalam hatiku saat berperang, aku membaca shalawat Mahallul Qiyam yang aku tujukan kepada kiaiku,” jawabnya dengan tegas.

“Ternyata kamu sangat cinta dan patuh kepada Kiaimu ya,” dahut temanya.

“Iya, karena beliau lah yang telah mendidik ku hingga seperti ini,” awabnya dengan meneteskan air mata.

•••
Setelah kembali dari medan perang, dia kembali ke pondoknya. Ternyata Kiai yang dulu sehat, sekarang telah sakit keras di atas tempat tidur karena penyakit stroke yang mendera.

“Assalamu“alaikum, apakah Yai baik-baik saja?,” tanya dia kepada salah satu santri.

“Wa’alaikumsalam, beliau sekarang terbaring lemah karena sakitnya yang bertambah parah,” jawab santri itu.

“Sekarang Yai di mana?,” tanya dia lagi kepada santri itu.

“Beliau di kamarnya,” jawab santri itu.

Setelah dapat kabar seperti itu, dia segera lari menuju kamar sang Yai, ternyata di sana telah banyak para santri di sekeliling Kiai yang lemah di atas tempat tidur.

“Yai, kenapa kiai bisa seperti ini?,” ucapnya sambil memeluk sang Kiai.

“Jangan tinggalkan aku Yai, aku masih butuh bimbinganmu,” lanjutnya sambil derasnya air mata yang jatuh dari matanya.

Setelah itu dia membacakan Shalawat Mahallul Qiyam untuk sang Kiai yang kini terbaring lemah dan berjuang untuk hidup di atas sakitnya yang parah.

“Yai dengarkanlah shslawat ini, sholalawat ini akan menenangkan hati Yai.. Ya nabi salam alaika, Ya rossul salam alaika, Ya habib salam alaika, shalawatullah alaika, Asyrokol badru alaina, Fah tafat minhul buduuru, Mitsla husni maa roaina, Qothu ya wajhas sururi..” Dia membacakan shalawat untuk kiainya, dengan terisak-isak karena menangis melihat keadaan sang Kiai.

Belum selesai dia membacakan shalawat tersebut, sang Kiai menghembuskan nafas terakhirnya. Para santri menangis tersedu sedu melihat beliau meninggal dunia, seketika itu awan mulai mendung dan tumbuhan-tumbuhan seakan menjadi layu karena kepergian sang Kiai.

“Yai… Jangan tinggalkan kami! Kami masih butuh bimbingan dari Yai..” Teriaknya dengan keras sambil tak henti-hentinya air mata itu menetes. (*)

Terkait

Cerpen Lainnya

SantriNews Network