Sisi Lain Mbah Hasyim, Sang Kiai Revolusioner (1)
Peranan kaum sarungan yakni santri dalam era revoulusi kemerdekaan merupakan fakta sejarah yang tak bisa dibantah oleh siapapun. Tak bisa dibantah pula bahwa spirit nasionalisme atau kebangsaan Indonesia turut dibangun oleh komunitas yang berasal dari bilik rombeng pesantren salafiyah tersebut.
Siapa sangka, kita hari ini yang sebagian besar terlahir pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia merasa kaget ketika mendengar atau bahkan membaca bahwa tokoh sentral pertempuran 10 November adalah seorang Kiai Kharismatik. Beliau adalah Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari yang dikalangan santri dan masyarakat sekitar menyebutnya dengan sebutan Mbah Hasyim, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur sekaligus pendiri organisasi terbesar di Indonesia atau bahkan di dunia yakni Nahdlatul Ulama pada tahun 1926.
Pada tahun 1945 saat tentara sekutu mendarat di berbagai wilayah Nusantara atau yang sekarang disebut Negara Indonesia, sejatinya untuk melucuti tentara Jepang serta membebaskan tentara sekutu yang waktu itu ditawan oleh Jepang, malah membelot dan kemudian ingin kembali memaksa menjajah Indonesia kembali. Hal ini diketahui oleh Mbah Hasyim yang sering merasa galau akibat memikirkan kondisi bangsa ini, sehingga beliau membentuk Barisan Laskar Hizbullah yang terdiri santri dan rakyat.
Sangat sulit menemukan sosok Kiai Kharismatik yang dengan penuh pengorbanan memikirkan Bangsa dan Negara dengan komposisi penduduk tidak hanya orang Islam, melainkan terdiri dari beberapa elemen Agama, Suku, Budaya yang berbeda. Inilah Mbah Hasyim, sosok sederhana yang berhasil menelurkan fatwa tentang Jihad membela Bangsa dan Negara yang kemudan diikuti oleh sebagian Rakyat Jawa Timur untuk mengusir penjajah dalam berbagai pertempuran di Surabaya Oktober-November 1945.
Sebelumnya, utusan Bung Karno dari Jakarta sowan ke Mbah Hasyim untuk mempertanyakan hukum membela tanah air Indonesia, bukan membela Agama atau Islam. Kemudian Mbah Hasyim mengatakan dengan fatwa bahwa membela Negara hukumnya adalah fardhu “˜ain. Inilah yang membuat semangat arek-arek Surabaya membara untuk segera mengusir penjajah yang kembali merongrong kemerdekaan pasca proklamasi yang dibacakan oleh Bung Karno sebelumnya.
Pasca pertemuan dengan utusan Bung Karno, beliau juga disowani oleh Bung Tomo untuk diminta pendapat atau fatwa perihal pidato atau orasi yang akan disampaikan saat arek-arek Surabaya bertempur melawan penjajah. Mbah Hasyim menfatwakan untuk mengakhiri kalimat “˜Allahu Akbar’ pada akhir orasi. Akhirnya dengan semangat gagah berani Bung Tomo berbicara di mimbar dan berhasil memekikan kata “˜Merdeka’ dan “˜Allahu Akbar’ diakhir kalimat orasinya, sehingga rakyat dengan segala upaya berhasil melancarkan perlawanan yang sebagian kecil akibatnya dua Jendral besar Inggris tewas.
Taufik Hidayat, Kader PR PMII Fakultas Syariah Komisariat UIN SMH Banten Presiden HMJ Hukum Tata Negara KBM UIN SMH Banten Masa Khidmat 2016