Heroisme Demo Para Kiai Jelang Pelengseran Gus Dur
KH Ahmad Fahrur Rozi (penulis) saat mendampingi Alm. KH Mas Subadar (santrinews.com/istimewa)
Saya ingin menuliskan kenangan mendampingi para kiai dalam berbagai kegiatan demo damai untuk mempertahankan Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di awal 2001 dari koalisi lawan politiknya di parlemen.
Sejak DPR RI mengeluarkan Memorandum 1 pada Februari 2001 para kiai sudah aktif berusaha ikut melakukan perlawanan tradisional dalam bentuk istighotsah di berbagai tempat, hingga puncaknya dilakukan istighotsah kubro pada 29 April di lapangan parkir timur Senayan yang dilanjutkan dengan longmarch pawai massa bubaran istighotsah berjalan kaki sampai ke bundaran HI. Saat itu saya ikut menemani alm. KH Fawaid As’ad naik ke atas truk terbuka yang cukup viral di media massa.
Di luar itu, rombongan para kiai dari Jawa Timur juga mendatangi semua pimpinan fraksi di DPR meminta agar Memorandum 1 tidak dilanjutkan ke arah makar. Saya masih ingat KH Asep Saifuddin yang memimpin delegasi kiai Jawa Timur dengan berapi-api berbicara di depan Ketua DPR RI Akbar Tanjung dan AM Fatwa tentang hukum Bughot: menggulingkan pemerintahan yang sah adalah haram dan wajib ditumpas.
Namun ternyata memorandum 1 terus berlanjut, meski demo berkali-kali sudah dilakukan, hingga menjelang Sidang Paripurna DPR RI di akhir Mei 2001, saya menemani para kiai berkumpul mengadakan pertemuan dengan Presiden Gus Dur di rumah Haji Masnuh di Jalan Irian Jakarta.
Baca juga: Kiai-Kiai Khos di Belakang Dekrit Presiden Gus Dur
Saat itu saya mendampingi alm. KH Mas Soebadar, KH Mutawakkil Alallah, KH Fawaid As’ad dan alm KH Fuad Amien Imron Bangkalan. Saat itu, Kiai Fuad Amin adalah anggota DPR RI dari PKB.
Para kiai ini merasa risau dengan situasi politik yang kian panas dan rencana sidang paripurna DPR yang mengagendakan sidang istimewa untuk melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenan.
Kiai Fuad ngotot meminta diizinkan agar ada pengerahan massa ke Jakarta melakukan demo. Malu katanya jika saat sidang paripurna nanti Jakarta dikuasai massa pihak anti Gus Dur tanpa perlawanan. Para kiai pun bersepakat untuk bergerak mengerahkan massa ke Jakarta untuk menyuarakan penolakan sidang istimewa kepada DPR RI yang akan menjatuhkan Gus Dur sebagai presiden yang sah.
Selanjutnya dibagi tugas diantara kita yang hadir untuk melakukan koordinasi pengerahan massa sesuai zona. Kiai Fawaid di zona Timur dan Tapal Kuda, Kiai Mutawakkil di area Surabaya-Madura, Kiai Mas Subadar di zona Tengah, dan saya diperintahkan mengkordinir untuk zona Barat dan Mataraman.
Sepulang dari Jakarta kita langsung melakukan pertemuan di Hotel Utami Surabaya dengan Cak Anam (Choirul Anam) —Ketua DPW PKB Jatim saat itu— dan Bapak Fathurrosyid (Ketua DPRD Jawa Timur), untuk kordinasi lebih lanjut dengan berbagai elemen gerakan pemuda nahdliyyin yang ada di Jawa Timur.
Singkat cerita, koordinasi berjalan cepat. Dalam beberapa hari saja bergeraklah puluhan ribu massa pendukung Gus Dur dari Jatim dengan berbagai sarana angkutan darat dan udara menuju Jakarta secara rapi dan cepat.
Baca juga: Gus Dur dan Kisah Mahasiswa Nakal
Di Jakarta pada 30 Mei 2001, massa kita sudah berkumpul di Monas, sebagian di Asrama Haji Pondok Gede dan Batuceper. Dari sana kemudian esoknya tepat pukul 12.00 WIB berkumpul di Monas dan bergerak melakukan longmarch menuju Senayan.
Gerakan ini diatur sedemikian rupa dengan komando dari Kiai di Hotel Indonesia agar berhenti di beberapa titik untuk melakukan orasi menolak sidang istimewa dan bubarkan antek Orba. Gerakan massa ini dikomando oleh Gus Mujib Imron – kini Wakil Bupati Pasuruan.
Saya dan para kiai memegang komando gerakan massa secara online dari sebuah kamar di Hotel Indonesia. Dari kamar hotel itu kita memantau gerakan massa yang diliput siaran langsung Metro TV sambil melakukan koordinasi ke dalam gedung DPR untuk mengatur ritme gerak massa dengan kawan-kawan anggota DPR dari PKB yang mengikuti agenda persidangan dengan skenario ketika massa kita sudah berada di depan gedung DPR kita minta sidang diskors untuk menerima perwakilan massa demo.
Akhirnya, ketika sore hari menjelang maghrib massa demo benar-benar telah sampai di depan pagar gedung DPR dan secara heroik mampu menjebol pagar pengaman gedung DPR memasuki zona keamanan ring satu yang dijaga ketat pasukan pengamanan.
Saat itu saya menelepon Kiai Fuad Amin agar sidang segera diskors karena massa sudah di halaman DPR, dan saya masih ingat menjadi jengkel dan tertawa karena Kiai Fuad menjawab telepon saya sambil terus berteriak: gempur, gempur…!
Perwakilan massa demo akhirnya diijinkan masuk masuk dipimpin Gus Mujib dan Kiai Asep Saifuddin. Suasana sangat menegangkan. Ketika itu massa sudah berhadapan langsung dengan aparat bersenjata lengkap dari jarak dekat.
Kita yang berada di dalam kamar di Hotel Indonesia sangat cemas, khawatir mereka ditembak, dan sejenak kemudian telepon Kiai Mas Subadar berdering beberapa kali. Karena nomor tidak dikenal maka HP beliau diangkat oleh Kiai Mutawakkil.
Saya masih ingat percakapan telepon saat itu. Penelepon menanyakan Kiai Subadar dan dijawab sekenanya oleh Kiai Mutawakkil bahwa Kiai Subadar ada di kantor PBNU. Tapi penelepon itu berkata: kiai, kami dari kepolisian sudah berada di depan pintu kamar bapak.
Sontak kita kaget bukan kepalang. Kiai Mutawakkil meminta saya menengok ke pintu lewat lubang pengintai dan ternyata benar: puluhan petugas kepolisian sudah berada di depan pintu.
Secepat kilat Kiai Mutawakkil mengatur skenario. Kiai Subadar diminta masuk kamar mandi, dia berlagak menerima telepon dan saya yang disuruh membukakan pintu.
Saya pun membuka pintu dan menerima beberapa petugas berpangkat melati tiga di pundak yang memperkenalkan diri sebagai pejabat dari Polda Metro Jaya, meminta kita ikut diajak bersama mereka ke gedung DPR untuk menarik mundur massa pendemo atau terpaksa mereka akan ditembak jika melewati pukul 18.00 WIB atas perintah Kapolri.
Singkat kata, kita ikut dibawa mobil petugas menuju gedung DPR. Kiai Fawaid As’ad usul untuk diperbolehkan membawa mobil sendiri tapi ditolak. Kita berempat bergerak menuju gedung DPR RI dari arah belakang dengan pengawalan ketat.
Setibanya di gedung DPR saya melihat pasukan pengamanan sangat kuat luar biasa dan tidak mungkin ditembus pendemo. Saya melihat puluhan tank panser yang sudah dinyalakan mesinnya. Ada satuan pasukan berkuda yang dilapis depannya dikelilingi satuan pasukan anjing yang terlihat besar dan galak, aparat bersenjata lengkap berlapis-lapis dalam kondisi siaga penuh.
Saat itu saya berinisiatif meminta negosiasi kepada Bapak Wakapolda Metro Jaya yang kebetulan mantan Kapolres Malang, agar pendemo diberi kesempatan wudlu sejenak dan shalat maghrib sebelum bergerak keluar dan puluhan pendemo dari Madura yang sehari sebelumnya ditangkap di stasiun karena karena membawa sajam dilepaskan, dan alhamdulillah beliau mau menerima usulan yang kita ajukan.
Pendemo diizinkan wudlu di kolam depan dan melakukan shalat. Saya berkomunikasi dengan para korlap agar mereka mau bergerak mundur meninggalkan gedung DPR, namun mereka bersikeras bertahan dan teriakan takbir terus bergema bersahutan membahana. Mereka tidak mau mundur dan sudah siap bertaruh nyawa membela kebenaran.
Saya kesulitan mencari alasan agar mereka mau mundur, dan akhirnya ditemukan ide yang tepat: pendemo diminta kiai supaya mundur bergerak ke Istana untuk melindungi Gus Dur.
Barulah mereka mau mundur dan bus digerakkan masuk ke Senayan untuk mengangkut mereka kembali ke Monas dan Asrama Haji Pondok Gede.
Demo saat itu sangat heroik dan menegangkan. Massa pecinta Gus Dur berduyun- duyun datang dengan tulus ikhlas turun jalan, tidur di lapangan demi membela yang benar melawan koalisi parlemen yang akan melakukan kudeta kepemimpinan yang sah, meskipun akhirnya sidang paripurna tetap saja mengagendakan sidang istimewa secara inkonstitusional.
Beberapa tahun kemudian, Gus Mujib sang pemimpin demo saat itu terpilih menjadi anggota DPD RI ke Senayan. Rupanya satpam gedung itu masih mengingat wajahnya ketika dia demo dulu dan bertanya heran: Pak, apakah bapak dulu yang demo dan mandi di kolam depan? Gus Mujib pun tertawa. (*)
Dr KH Ahmad Fahrur Rozi, Pengasuh Pondok Pesantren Annur 1 Bululawang Malang, Wakil Ketua PWNU Jawa Timur.