Diutus Gus Dur Mencari Wali
KH Ahmad Fahrur Rozi (kiri), Sayyid Idris, KH Mas Subadar (belakang), dan KH Idris Marzuki (kanan). (santrinews.com/istimewa)
Suatu sore di awal April 2003, saya didatangi Kiai Haji Mas Soebadar sepulang beliau dari pengajian di Turen, Malang. Beliau adalah salah satu kiai khos forum langitan dari Pasuruan.
Beliau dawuh bahwa diminta Gus Dur untuk mencari wali atau tabib ampuh dalam rangka ikhtiar agar Gus Dur ditakdir bisa melihat lagi sebagai salah satu syarat ikut Pilpres 2004.
Saya ditanyai beliau: “wonten pundi gus enten wali sak niki?” (dimana ada wali di zaman ini?)
Saya jawab: “Wali yang bagaimana, Yai?”
Beliau: “Ya yang seperti alm. Habib Soleh Tanggul Jember. Ketika ada orang lumpuh datang minta doa lalu ditepuk oleh beliau dan spontan bisa berdiri.”
Saya bingung dan setengah bercanda menjawab: “Mungkin ada di negara maghrib (Maroko), Yai.”
Baca juga: Gus Dur dan Kisah Mahasiswa Nakal
Selang waktu beberapa hari kemudian Kiai Subadar telepon saya: “Monggo Gus bidal ten maghrib. Niki sampun diparingi arta kalian Gus Dur.” (Mari gus segera berangkat ke Maroko, ini sudah diberi uang oleh Gus Dur).
Saya kaget bukan kepalang.
Saya segera sowan konsultasi kepada Kiai Haji Maftuh Said, pengasuh Pondok Pesantren Almunawwariyah Malang yang sudah pernah pergi ke Maroko. Beliau mengarahkan agar sowan kepada Sayyid Idris, ulama sepuh yang termasyhur di kota Fez Maroko.
Saat itu kebetulan Kiai Maftuh ada rencana pergi kesana minggu depannya.
Kita bersepakat berangkat bareng. Karena memang negara Maroko bebas visa maka tidak butuh persiapan administrasi.
Saya segera telepon ngaturi Kiai Idris Marzuki Lirboyo. Beliau menyambut antusias dan segera kita bersiap berangkat pada 17 April 2003 ke Maroko untuk sowan Sayyid Idris di kota Fez dan dilanjutkan sowan Syeikh Muhammad Ibn Sulaiman Aljazuli, shohib kitab Dalail Khairat di kota Marakesh.
Setiba di Casablanca Maroko setelah melalui transit di Dubai, kita segera menuju kota Fez untuk sowan kepada Sayyid Idris. Beliau adalah muqoddam Thoriqoh Tijani yang sudah sangat sepuh dan masih menyimpan rambut Rasulullah SAW secara turun temurun.
Kiai Subadar menyampaikan maksud dan tujuan kita dari Indonesia. Beliau berkenan menyuruh kita kembali esok harinya.
Esoknya, setelah ziarah ke makam Syeikh Ahmad Tijani kita kembali sowan ke rumah Sayyid Idris. Beliau memberikan semacam azimat untuk ditaruh di bawah bantal Gus Dur dan beberapa ijazah yang saya lupa mencatatnya.
Perjalanan kita dilanjutkan ke kota Marakesh yang indah, dimana terdapat makam tujuh wali yang masyhur dan diziarahi banyak orang. Di antaranya adalah makam Qodli Iyadl pengarang kitab Assyifa dan Imam Sulaiman Aljazuli, penyusun shalawat Dalail Khairat yang sangat terkenal di dunia.
Di sana alhamdulillah saya sempat bertabarruk ijazah sanad Dalail di depan makam beliau kepada Mbah Idris sambil dilanjutkan bersama membacanya.
Perjalanan ke Maroko ini begitu mendadak sehingga Mbah Kiai Idris Lirboyo belum sempat menukar uang rupiah. Beliau membawa satu tas uang rupiah tunai yang ketika itu saya hitung sejumlah sekitar 80 juta rupiah.
Selama di Maroko saya setiap hari membawakan tas berisi uang itu dan mencari money changer yang mau menerima, tapi tidak berhasil menemukan satupun money changer yang mau menerima uang rupiah di berbagai kota di sana hingga kita pulang.
Saking capeknya saya sempat bercanda: “Waduh kiai, ternyata masih di dunia dan belum di akhirat, uang memang sudah tidak laku.” (*)
Dr H Ahmad Fahrur Rozi, Khadim Pondok Pesantren Annur 1 Bululawang Malang, Wakil Ketua PWNU Jawa Timur.