Mencari Ketenangan: Dari Lembah Natrun hingga Bukit Mega Mendung

Biara Kristen Koptik Ortodoks di Lembah Natrun, Mesir (santrinews.com/istimewa)
Oleh: Qaris Tajudin
DI tahun terakhir kuliah di Al-Azhar, Kairo, Mesir, saya mendatangi sejumlah Biara Kristen Koptik Ortodoks yang terletak di tengah gurun pasir, berada jauh dari kota. Biara-biara itu terletak di Lembah Natrun, tersembunyi di balik bukit-bukit pasir dan batu. Tempatnya memang terpencil.
Sengaja dipilih yang sulit dijangkau, karena di abad-abad pertama Masehi, para rohaniawan ini menyelamatkan diri dari kejaran penguasa Romawi yang saat itu belum memeluk Kristiani.
Tradisi tinggal di biara-biara itu ada hingga sekarang. Kini, tentu alasan mereka tinggal di sana bukan keamanan, tapi kesunyian. “Ini adalah tempat yang sempurna untuk mencari ketenangan,” kata Abuna Shedraq (abu: bapak, na: kami) yang menemani saya.
Menjelang senja dia mengajak saya ke atap biara dan melihat samudera pasir yang sangat luas. Kami benar-benar terkurung di sini. Tak ada suara apapun, kecuali angin yang menggeser buliran pasir.
Rohaniawan dengan jubah dan penutup kepala hitam itu mengatakan bahwa di biara ini mereka sama sekali terisolasi dari dunia luar. Tidak mendengar radio, tidak membaca koran, tidak berkirim surat. Televisi, apalagi. Saat itu belum ada smartphone, tapi saya yakin sampai saat ini mereka tidak punya akun di media sosial.
Apa tidak bosan? tanya saya.
Dia menjawab dengan pertanyaan juga: “Apakah kalian tidak bosan hidup di luar sana dengan ketidaktenangan?”
Di era digital seperti sekarang ini, ketika dunia begitu bising, pikiran melompat-lompat, emosi seperti naik roller coaster, saya kerap ingat Abuna Shedraq dan teman-temannya. Betapa nyaman hidup mereka, betapa tenang dan sterilnya kehidupan mereka dari keriuhan dunia maya dan dunia nyata.
Meski tampak menyenangkan, mungkin itu bukan kehidupan yang bisa saya pilih. Kita tidak bisa mengisolasi diri, kita tetap membutuhkan interaksi dengan dunia nyata, bersentuhan dengan kebisingan, dan berdialog dengan orang lain. Karena memang kita hidup di dunia yang semakin riuh. Membayangkan memiliki ketenangan dan bebas dari kemelekatan dunia tampaknya suatu yang mustahil.
Beberapa tahun sebelumnya, saya diajak oleh seorang teman untuk menelusuri jalan-jalan sempit di Pasar Attabah, Kairo. Di sela-sela lorong pasar yang sumpek itu kami mengetuk sebuah pintu. Di dalamnya, di flat yang sederhana, duduk seorang sufi tuna netra. Lampu dimatikan, dan kami larut dalam keheningan.
Sang sufi adalah juga dosen saya dalam mata pelajaran filsafat. Dia tidak mengurung diri dalam flat itu. Dia hanya sesekali datang ke sana untuk menenangkan hati dan pikiran. Di tengah keriuhan pasar itu, dia mendapatkan ketenangan.
Dua puluh tahun setelah berkunjung ke Lembah Natrun, di atas bukit permai nan hijau di Mega Mendung, Bogor, saya menemui rohaniawan lain. Dinaungi pohon-pohon damar dan cemara, dia berbicara tentang ketenangan juga. Karena orang Indonesia dan bukan orang Mesir, ia tidak dipanggil abuna, tapi romo. Romo Johanes Sudrijanta. Ia meluncurkan buku spiritual kelimanya: “Mukjizat Setiap Saat: Keindahan Hidup Hening”.
Berbeda dengan Abuna Shedraq yang mencari keheningan di tempat sepi, Romo Sudri tidak ingin mengasingkan diri. Apa yang dia lakukan mirip dengan sang sufi di tengah pasar itu. “Kita bisa mencontoh bumi. Dia terus berputar, tapi saat hidup di atasnya, kita tidak merasakan putaran itu, kita merasakan ketenangan,” kata Romo Sudri.
Saat dia mengatakan itu, di sebelah kanannya ada poster kecil berukuran 20 cm x 20 cm yang mengutip pernyataan Buddha: Peace. It does not mean to be in a place where there is no noise, trouble or hard work. It means to be in the midst of those things and still be calm in your heart.
Bukunya bukan buku rohani Kristiani. Romo Sudri menjelaskan ketenangan dan keheningan berdasarkan pengalaman spiritualnya (terlepas dari dogma agamanya), juga mengutip banyak orang dari berbagai latar belakang keyakinan, mulai dari zen master, aktor Ashton Kutcher, sampai filsuf Friedrich Nietzsche.
Romo Sudri yakin, mereka yang menjalani laku spiritual tidak akan kehilangan akar tradisi dari mana mereka berasal. “Yang Islam akan menjadi lebih Islami, yang Katolik akan menjadi lebih Katolik, yang Buddhis akan menjadi semakin Buddha,” tulisnya dalam buku itu. Tapi di saat yang sama itu tidak berarti “menjadi terkotak-kotak dalam sekat-sekat agama dan tradisi.”
Praktik spiritual yang penuh kesadaran inilah yang bisa saya rasakan. Kesadaran spiritual dengan mencari keheningan dalam diri itu mampu membuat saya shalat jauh lebih khusyuk, menggerakkan saya untuk mengaji (lagi) Al-Quran setiap hari dan mencoba mendalami isinya, membuka lagi buku-buku tafsir yang sudah berdebu, belajar dari banyak ustaz.
Dan yang lebih penting, tentunya, saya mendapatkan ketenangan diri. Ketenangan yang mampu membuat tingkat stres dan kemarahan dalam diri saya berkurang drastis. Membuat lambung saya tak lagi bergolak karena asam yang luber. Di jalan saya tidak marah-marah karena macet, di rumah menjadi jauh lebih mencintai istri dan anak-anak. Di sosmed, saya tidak lagi nyampah dan terpancing. Tentu saja, kadang masih terpancing, tapi biasanya segera saya sadari kekhilafan itu.
Inti dari keheningan yang disampaikan oleh Romo Sudri di buku ini adalah menimba sendiri kekuatan spiritual dari dalam diri kita. Ya, dari dalam diri sendiri. Membebaskan diri dari kebencian dan kemarahan, berdamai dengan penderitaan, dan yang terpenting adalah melepaskan diri dari kemelekatan (attachment).
Tentang attachment saya teringat konsep Floating Man yang digagas oleh Avicenna/Ibnu Sina (Abu Ali al-Husayn ibn Abdillah ibn al-Hasan ibn Ali ibn Sina). Dalam eksperimen filosofinya, Ibnu Sina menggambarkan bahwa kemelekatan fisik duniawi akan mempengaruhi jiwa. Karenanya, pelepasan pada kemelekatan (digambarkan sebagai tubuh yang melayang di tempat yang kedap udara), akan membuat jiwa terbebas dari pengaruh.
Tentu saja, ini hanya eksperimen dalam pikiran, bukan dalam kenyataan karena belum ada kendaraan yang bisa mengantar orang ke luar angkasa di zaman Ibnu Sina hidup, sekian abad yang lalu.
Penimbaan yang saya lakukan sendiri menghantarkan saya pada kenyataan bahwa ketenangan adalah juga hal yang kita ingin capai. Jiwa yang tenang atau dalam istilah Al-Quran an-nafs-almuthmainnah adalah kondisi paripurna, yang memungkinkan kita untuk mencapai surga. Hanya jiwa yang tenang yang disambut Tuhan saat Ia berkata: “Kembalilah wahai jiwa yang tenang ke Tuhanmu (QS: Al-Fajr 27-30). (*)