Ikhlas Kunci Utama Ketenangan Hidup
Ilustrasi - Membantu sesama saat kesulitan (santrinews.com/istimewa)
Dikisahkan, suatu hari Umar bin Abdul Aziz melihat seseorang sedang mabuk. Umar pun bermaksud menghukumnya. Namun orang yang mabuk itu justru mencaci-maki kepadanya.
Ketika orang yang mabuk itu selesai mencaci-maki, Umar kembali tidak jadi menghukumnya. Lalu ada seseorang yang bertanya kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin, kenapa ketika ia mencaci-maki kamu, justru kamu meninggalkannya?.”
Umar menjawab: “Karena ia memarahi aku, dimana seandainya aku menghukumnya, niscaya aku dalam keadaan marah, dan aku tidak suka memukul seorang Muslim untuk membela diriku sendiri.”
Baca juga: Gus Dur, Kiai As‘ad, dan Nabi Khidir
Diantara kita, ada orang yang cepat marah, tetapi cepat hilang, ini masih seimbang, dan ada orang yang lambat marah dan lambat hilangnya, ini juga masih seimbang. Orang yang paling baik adalah orang yang lambat marah, tetapi cepat hilangnya, dan paling jelek adalah orang yang cepat marah, tetapi lambat hilangnya.
Dzun Nun Al-Mishri ditanya: “Kapankah seseorang itu bisa diketahui bahwa ia termasuk pilihan Allah SWT yang telah dilih oleh-Nya?.”
Ia menjawab: “Ia bisa diketahui dengan empat hal, yaitu: apabila ia meninggalkan waktu untuk istirahat, ia memberikan apa yang ada, ia menyukai derajat (duniawi) yang rendah, ia sama baik antara saat dipuji maupun saat dicela.”
Ikhlas merupakan kunci utama dalam mengendalikan marah dan juga sebagai keberhasilan seseorang dalam memperoleh ketenangan dan kedamaian hidup.
Ikhlas merupakan sebuah pilihan, karena ikhlas bisa membuat pikiran dan perasaan menjadi positif, dengan melepaskan semua emosi negatif —marah, kecewa, frustasi, tersinggung, penyesalan, pesimis, dll— yang melekat pada pikiran dan perasaan seseorang.
Orang yang ikhlas itu mau mengakui segala keterbatasan dan kelemahannya sebagai hamba-Nya. Karena hanya Dia-lah Yang Maha Sempurna.
Baca juga: Ketika Gus Dur “Dimarahi” oleh Kiai Misbah
Untuk memperoleh kualitas ikhlas yang baik, harus menumbuhkan keyakinan dulu pada dirinya. Sebab keyakinan merupakan kunci dari keikhlasan tersebut. Orang yang yakin itu mampu menciptakan kekhusyukan dalam menjalankan segala perbuatannya.
Segala kesulitan dan kesenangan itu sama di mata orang yang memiliki keyakinan. Orang yang yakin, ibarat karang yang kuat dan kokoh, walau diterpa ombak dan badai yang besar dan ganas, ia akan tetap kokoh berdiri. Ia akan hanya fokus menatap dan mengharap ridha Allah SWT semata. Ia yakin bahwa Gusti Allah SWT-lah yang selalu memberinya kenikmatan, kekuatan, kemenangan, kemudahan dan pertolongan dimanapun ia berada.
Hanya orang yang memiliki keyakinan yang bisa merasakan keikhlasan yang sesungguhnya. Ia bisa mengambil hikmah atau pelajaran dari segala masalah yang ia hadapi. Ia bisa mengoreksi dan membenahi diri dan bisa selalu menjadi orang yang optimis. Sebab yang ia lakukan adalah hanya berusaha, sedangkan yang menentukan hasilnya hanya Allah SWT semata.
Kita harus yakin dan husnudzan kepada Allah SWT, bahwa akan datang kemudahan setelah kesulitan. Kehidupan di dunia ini bagaikan bola yang terus menggelinding, ada kalanya berada diatas dan terkadang berada pula di paling bawah.
Kenyataan hidup di dunia ini adalah adanya keterbatasan dan kelemahan, yang bisa menyimpan potensi yang berbeda, ada suka ada duka, ada siang ada malam, ada baik ada buruk, ada sebab ada akibat, ada cinta ada benci, ada sakit ada sembuh, ada kalah ada menang, dan lain sebagainya. Semua potensi ini bersifat semu dan sementara.
Janji Allah SWT sangat jelas, bahwa setelah kesulitan pasti datang kemudahan, seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (Qs Al-Insyirah: 94/6)
Ini motivasi yang luar biasa untuk menghadapi kesulitan berupa apapun, untuk bisa menahan segala marah dan emosi, menuju kekhlasan dalam menerima iradat-Nya.
Baca juga: KH Hasyim Muzadi: Ikhlas itu Ruh Perjuangan NU
Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Tahu dan Maha Adil, yang akan memberikan masalah pada makhluk-Nya disesuaikan dengan kadar dan kemampuannya, sebagaimana firman-Nya:
“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapatkan pahala (kebajikan) yang diusahakan, dan Ia mendapatkan siksa (dari kejahatan) yang dikerjakan…” (QS Al-Baqarah: 2/286).
Daikui atau tidak, menahan marah dan menumbuhkan ikhlas pada diri kita, memang mudah diucapkan, tapi sulit dilkasanakan.
Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1441 Hijriah. Semoga sehat, sejahtera, istiqamah dan bahagia selalu bersama orang-orang tercinta. Barakallah. Amin! (*)
Hj Durahtul Mahnunin, Ketua 1 PC Muslimat NU Tulungagung.