Sutardji Mencari Tuhan

Ada cerita menarik tentang Sutardji Calzoum Bachri. Saya tidak tahu apakah Tardji memang benar punya tato, dan saya juga tidak tahu apakah ini ada hubungannya dengan pemahaman sufisme atau tidak, meski, jika merujuk kepada sajak-sajaknya, kecenderungan ke arah itu memang banyak ditemukan. Ceritanya kurang lebih demikian.

Ketika kesadaran bahwa salat merupakan salah satu pokok ajaran Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap orang yang mengaku dirinya Muslim kembali dimiliki Tardji, maka penyair yang dulu pernah mendamik dada memproklamirkan diri sebagai Presiden Penyair Indonesia ini pun mulai rajin salat.

Bahkan konon kabarnya, seiring berjalannya waktu, salat itu telah menjadi semacam hobi yang tak terpisahkan dalam keseharian Tardji. Namun, sebagaimana lazimnya upaya menjalani jalan kebajikan, namanya godaan adalah keniscayaan yang sudah barang tentu tidak dapat ditampik, sekalipun oleh seorang Tardji yang sanggup “membebaskan kata dan mengembalikannya kepada mantra – seperti yang ia maklumatkan dalam kredo puisinya di tahun 1973.

Dengan bekal kepenyairan yang “sampai ke puncak memetik bulan,” terbukti segala macam godaan itu memang bisa ia lalui. Akan tetapi anehnya, berhadapan dengan godaan yang satu ini, mantra Tardji seakan tumpul kehilangan tuah. Dan kata-kata yang ia klaim telah bebas dari kungkungan sempit penjara makna itu, ternyata masih dibelenggu kedangkalan bahasa.

Padahal, menurut hemat saya, godaan ini tak lebih dari canda kawan-kawannya yang jauh dari pretensi olok-olok, apalagi memgolok-olok kesadaran Tardji untuk konsisten menjalankan kewajiban agama.

“Ji, ngapain kau salat segala. Kau kan punya tato. Orang yang punya tato wudunya nggak sah. Kalau wudunya nggak sah, mana mungkin salatnya diterima Tuhan.”

Tardji yang telah terusik dan menjadi gelisah, lalu mengadu kepada penyair-pelukis, Amang Rahman, di Surabaya, lewat telepon. Tapi Amang, walau cukup mumpuni dalam pengetahuan agama, ternyata tidak berkenan memberi jawab. Amang hanya menyarankan agar Tardji menanyakannya kepada penyair Mustafa Bisri (Gus Mus), di Rembang.

“Kau kan punya kawan kiai, Ji, Gus Mus. Tanya aja ke dia. Pasti kau akan dapat jawaban yang lebih memuaskan dari Gus Mus,” begitu saran Amang kepada Tardji.

Tanpa menunggu waktu lama, Tardji pun menelpon Gus Mus dan menceritakan persoalannya. Bagaimana jawaban Gus Mus? Begini katanya.

“Kau pikir Tuhan kurang kerjaan ya, Ji, sampai mau-maunya ngurusi tatomu. Urusan tatomu sangatlah kecil buat Tuhan. Nggak bakalan Tuhan mau ngurusi soal begituan. Nggak penting! Teruskan saja salatmu, dan jangan kau hiraukan omongan kawan-kawanmu itu.”

Mendengar jawaban Gus Mus, Tardji akhirnya sadar, bahwa selama ini ia belumlah “sampai ke puncak,” apalagi “memetik bulan.” [*]

Terkait

Esai Lainnya

SantriNews Network